Menyikapi Fenomena Keberanian Orang Berkomentar Seenaknya di Media Sosial
SADHANA: NGEMARGIANG SWADHARMA:  ENTEG, SELEG, SEKEN

Oleh: Drs. I Ketut Donder, M.Ag, Ph.D

 

Abstraksi

Sejak beberapa tahun silam jika ada Sensus Penduduk dalam rangka untuk Mengelompokkan taraf hidup masyarakat, maka jika ada kolom yang berisi sudah bahagia, maka saya akan mengisi kolom itu dengan kata sudah bahagia. Alasannya adalah walau saya bukan orang kaya secara material, tetapi saya merasa tidak ada kekurangan segala sesuatu, saya memiliki segalanya menurut ukuran saya. Segala doa saya dikabulkan oleh Tuhan, selesai kuliah S1 saya berdoa kehadapan Tuhan semoga Tuhan menganugrahi saya seorang istri walau tidak cantik yang penting merasa PD untuk saya ajak arisan. Ternyata Tuhan menganugerahi saya seorang istri, ya kalau dirias di salon lumayan cantik. Setelah punya istri, kemudian saya berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan menganugerahi saya anak, walaupun hanya satu orang saja, entah laki-laki atau perempuan. Ternyata, Tuhan menganugerahi saya 5 (lima) orang anak, tiga wanita dan dua pria.

Pada awal-mula berkeluarga, alau sudah punya anak dua, tapi masih numpang di rumah orang.  Lalu saya berdoa kehadapan Tuhan, semoga Tuhan menganugerahi rumah kecil RSS (Rumah Sangat Sederhana) dengan dinding setengan batako tanpa plester, setengah papan dengan atap asbes, serta garase kecil untuk tempat parkir sepeda motor. Ternyata, Tuhan mengabulkan doa saya, Tuhan menganugerahi saya rumah permanen ukuran 244 meter persegi walau sudah saya jual karena pindah dari Palu ke Denpasar.

Sewaktu mengajar di STM Negeri Palu, sambil mengabdi menjadi pengurus PHDI Provinsi Sulawesi Tengah, juga menjadi Panitia Pembangunan Pura Wana Kertha Jagat Natha di Palu, sambil bekerja kerap berdoa di depan padmasana, memohon agar dianugerahi kesempatan kuliah S2, ternyata Tuhan mengabulkan saya bisa kuliah S2 di IHDN Denpasar sekaligus dianugerahi mutasi menjadi dosen IHDN, sekarang bernama UHN (Universitas Hindu Negeri) IGB Sugriwa. Setelah satu tahun jadi dosen (2008), dengan pongah (tanpa rasa malu), saya kembali berdoa kehadapan Tuhan di depan Padmasana Pura Saraswati IHDN, saya memohon semoga Tuhan menganugerahi saya kesempatan kuliah S3 ke India. Ternyata pada tahun 2010 Tuhan mengabulkan doa saya untuk kuliah di India dengan beasiswa dari Pemerintah India, walaupun saat itu saya tidak menguasai bahasa Inggris seperti layaknya orang mempersiapkan diri kuliah ke luar negeri. Setelah sampai di India, saya terdaftar di Rabindra Bharati University, Calcutta, West Bengal yang masyarakatnya mayoritas pemuja “Dewi Kali” dan atau “Dewi Durgha”, maka saya berdoa kehadapan Dewi Durgha semoga saya bisa lulus S3 tidak melebihi dari waktu yang ditentukan. Saya akan merasa malu jika saya D.O dari India. Ternyata, Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewi Kali mengabulkan doa saya,  saya bisa lulus dalam waktu 3 tahun dan harus diwisuda setahun setelah dinyatakan lulus ujian, yakni pada 8 Mei 2014. Sekarang ini saya merasa malu, untuk memohon apa-apa lagi, semua doa sudah dikabulkan oleh Tuhan. Betapa rakus dan tidak tahu diri saya, jika kerjanya hanya memohon. Karena itu saya sedang menghayati rasa bersyukur. Apa pun yang saya lakukan dalam rangka penyampaian rasa syukur kehadapan Tuhan, belakangan ini saya lebih banyak diam hingga tidak mengirim tulisan artikel di Majalah Craddha dan media HIndu, semua itu juga bagian dari ungkapan rasa syukur. Silent is God begitu kata orang.

Diskusi Kecil-kecilan

Beberapa tahun lalu, ketika ada call dari seseorang atau ketua perkumpulan suatu organisasi meminta untuk menjadi narasumber seminar atau dharmawacana, baru sebelah telinga mendengar, betapa pun sibuknya pasti saya jawab SIAP !!!. Itu saya lakukan sejak tamat S1 tahun 1986 apalagi setelah tamat S2 tahun 2005, hingga tahun 2010 saya secara spontan merasa selalu siap menjadi narasumber seminar mapun dharmawacana. Merasa selalu PD tampil menjadi narasumber seminar maupun pendharmawacana walaupun pengetahuan tidak seberapa.

Tetapi …, sejak tamat S3 tahun 2014 apalagi sekarang sejak tahun 2020-2021 ini, walaupun saya memiliki 6000-an judul buku yang belum habis semuanya dibaca, saya merasa jika ada Sensus Penduduk untuk mengelompokkan orang-orang bodoh, maka saya mendaftar sebagai orang paling bodoh di dunia. Mungkin ada pertanyaan: “kenapa sejak berapa tahun lalu menyatakan diri sebagai orang paling bahagia, lalu sekarang paling bodoh?” Jawaban saya, kedamaian saya tidak berkurang, yang berkurang dalam diri saya adalah kemampuan untuk menjawab berbagai pernyataan dan pertanyaan yang kacau balau di facebook, youtube, dan media sosial lainnya.

Belakangan ini sedang terjadi suatu trand jaman yang luar biasa anehnya, seperti ada kekuatan Niskala (gaib, metafisik) yang menggerakkan keberanian manusia berbicara seenaknya. Menjelek-jelekkan kawan sendiri yang sebelumnya lengket seperti prangko, kemudian berselisih hingga hancur-hancuran; ada seorang murid yang menghina bahkan menyakiti gurunya yang justru sangat menyayanginya; ada banyak orang penampilannya seperti orang bijaksana, tetapi realitasnya mereka menginjak sana, menginjak sini. Tampaknya, semakin berani dan semakin kasar seseorang ngomong di depan publik, maka ia akan semakin populer dan banyak dapat simpatisan serta pengikut. Sebaliknya, walaupun seseorang sudah berhasil mencapai Realisasi Diri, namun jika ia tidak mau gelur-gelur,  maka tetangga di sebelah rumah pun tidak mengenalnya. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi betul-betul telah menjadi sarana yang dapat membantu sebagian manusia untuk mempublikasikan kehebatan dirinya; di satu sisi kemajuan teknologi informasi menjadi salah satu faktor penyebab kekacauan. Pernyataan saya ini pasti akan dibantah oleh banyak orang seraya mereka menyatakan bahwa “sarana teknologi itu tidak salah, tetapi orang yang menggunakan sarana itu yang salah”. Protes ini mirip dengan pernyataan bahwa “teroris itu bukan agamanya yang salah, tetapi orangnya yang salah”. Secara aksiologis, kedua bantahan itu adalah sikap apologis yang tidak logis; sebab sarana diciptakan untuk tujuan meringankan beban manusia; agama diciptakan untuk dijadikan pedoman mewujudkan kedamaian. Jika  karena menggunakan sarana teknologi justru menimbulkan bahaya bagi sesama, maka semestinya jangan menggunakan sarana teknologi. Jika karena suatu ajaran agama diomongkan dapat menimbulkan kekacauan, mestinya itu jangan diomongkan. Tetapi, cobalah tonton di berbagai chanel youtube, apa yang sudah diobral oleh orang-orang yang dianggap pakar agama? Menyaksikan realitas orang-orang di youtube, saya teringat dengan pernyataan Osho, sbb:

All religions teach the brotherhood of man, but the only create enemies of each other. All religions teach that every man has a potential right to reach God, but practically they say: Only our religion is the true religion” (“Semua agama mengajarkan persaudaraan kepada semua umat manusia, tapi dalam realitasnya, mereka hanya menciptakan musuh antara satu dengan lainnya. Semua agama mengajarkan bahwa setiap orang memiliki potensi dan hak yang sama untuk mencapai Tuhan, tetapi realitasnya mereka mengatakan: Hanya agama kami adalah agama yang benar.”

Apakah generasi manusia pada masa yang akan datang dapat hidup lebih baik daripada saat ini, yaitu menjadi manusia penuh damai, cinta damai, menyebarkan kedamaian, jika realitasnya generasi saat ini sejak TK hingga PT dihujani informasi berupa tradisi yang saling menghujat?  Penggunaan teknologi informasi, facebook, youtube, instagram dan teknologi digital lainnya sudah cukup memprihatinkan. Suatu teknologi yang menjangkau semua ruang dan waktu.

Ajakan Ngemargiang Swadharma : Enteg, Seleg, Seken

Jika seandainya ada umat Hindu (entah tokoh atau bukan tokoh) memiliki keberanian untuk ngomong apa pun, kalau boleh saya sarankan, istirahatlah (berhentilah). Sebab, ajaran Veda mesti disampaikan dengan cara penuh kehati-hatian agar jangan sampai salah paham. Sebagaimana dinyatakan dalam Sarasmuscaya 39, “Weda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya. Sabdanya “wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku”, demikian konon sabdanya, karena takut”. Walaupun sudah memiliki Itihasa dan Purana, saat belajarnya pun harus dituntun oleh seorang guru yang mapan. Sebagaimana dinyatakan dalam Geguritan Sucita, sbb: Reh suksma dagingin sastra lan agama, tan gampang pacang manampi, yan tan paguruwang, makadi yan tan kaswecan, antuk Ida Sang Hyang Widhi, bisa sungsang, kawuhe kaden kangin. Artinya: ‘Karena demikian suci dan rahasianya isi ajaran agama, tidak mudah untuk menerima atau mempelajarinya, jika penjelasannya tidak diperoleh melalui guru, seperti tidak mendapat anugerah, dari Tuhan Yang Maha Kuasa, hal itu dapat membuat pikiran kacau, seperti melihat arah Barat disangka arah Timur (Pupuh Durma Geguritan Sucita I.XII.40). Agar kesucian ajaran Veda tidak dicemari oleh pikiran-pikiran kotor dan kepentingan-kepentingan duniawi, maka Geguritan Dharma Prawerti (karya Ida Pedanda Made Kemenuh) menyarankan agar berhati-hati dalam mencari guru sebab banyak juga guru mirip dalam ceritera Kedis Cangak (Bangau) yang menyamar menjadi manusia suci penolong para ikan yang dikhabarkan kolam tempatnya akan segera kering. Satu per satu ikan diangkutnya dijanjikan akan ditempatkan pada danau yang jernih. Bergiliran ikan-ikan yang ada di kolam itu diterbangkan dan dalam perjalanan ikan itu dimakan hingga semua ikan di kolam habis, kemudian tinggal satu ekor yuyu (kepiting), dibawalah yuyu itu terbang. Melihat gelagat jahat sang bangau itu, maka yuyu mengapi leher sang bangau hingga tewas. Agar tidak bertemu guru berkelakuan bangau seperti cerita itu, Geguritan Dharma Prawerti menulis: Yan kapungkur, saget cening ngalih guru, melahang medasang, waspadayang apang pasti, pang de lacur, ngojog guru mondong loba. Artinya: Jika suatu saat, Anda mencari guru, perhatikan betul-betul, waspadai dan pastikan, agar jangan sial, mendapat guru yang penuh kerakusan (Dharma Prawertti, Pupuh Pucung 2).

Kaliyuga adalah era yang dikuasai oleh kekuatan energi material, sebagaimana dinyatakan oleh Dewi Kali ketika mengutuk Raja Pariksit; bahwa kekuatan kegelapan akan menguasai umat manusia di era Kaliyuga. Dewi Kali menyatakan bahwa energi-energi kegelapan itu akan masuk di mahkota emas para raja; masuk ke dalam kursi-kursi kekuasaan, sehingga karena rebutan kursi kekuasaan, saudara dengan saudara bisa saling bunuh. Dewi Kali juga menyatakan  bahwa energi kegelapan itu akan masuk di tempat-tempat pelacuran, perjudian, dalam minuman keras (alkohol) yang memabukkan. Energi kegelapan itu, akan masuk juga dalam setiap lembar uang, karena itu, memiliki banyak uang menjadi indikator kemuliaan seseorang era Kaliyuga. Karena itu orang-orang yang punya banyak uang menempati kasta tertinggi di era Kaliyuga. Uang menjadi segala-galanya, bahkan uang telah menjadi Tuhan. Di era Kaliyuga,  konsep ketuhanan Monotheism (percaya satu Tuhan) telah berubah menjadi Money-ism (percaya uang). Keadaan yang materialistis telah diprediksi dalam Veda jauh sebelum Kaliyuga datang.              

Pustaka Sarasamuscaya karya Bhagavan Wararuci menyatakan: “Orang yang miskin itu biarpun pandai, tidak diindahkan segala yang dikatakannya; walaupun yang dikatakan itu tepat waktunya, tempatnya dan ucapannya sungguh-sungguh bermanfaat, tetap tidak akan ada yang menghiraukan; apalagi jika si miskin itu bodoh, pasti tidak ada orang yang senang mendengarkan kata-katanya (Sarasamuscaya 282). Selanjutnya sloka lainnya menyatakan: “Sebab yang disebut orang miskin itu, meskipun ia banyak pengetahuannya, tidak terkenal dan tidak sempurna tampak akan kebaikannya, karena kekayaan menyebabkan kebajikan itu menjadi sempurna kebaikannya, seperti halnya matahari menerangi segala yang ada; matahari itulah yang menyebabkan segalanya itu kelihatan (Sarasamuscaya 283). Sloka berikut ini juga menyatakan: “Ada orang miskin yang sangat cerdas, namun tidak berhasil  karena perbuatan baiknya tidak menghasilkan uang, jadi tidak ada dasar untuk memperoleh kesenangan; untuk itu pergi ke hutan adalah solusi, ikhlas meninggalkan rumah tangga, masuk ke dalam hutan (Sarasamuscaya 294). Ketiga sloka di atas telah meramalkan situasi manusia dewasa ini, sekaligus sindiran bagi manusia yang disebut makhluk paling mulia.

Simpulan

Bagaimana pun kacaunya dunia, namun pustaka suci Veda selalu memberi jalan untuk bisa selamat dari kekacauan sosial di era Kaliyuga. Caranya adalah selalu ingat secara sungguh-sungguh kepada Tuhan;  dapat diumpamakan seperti layang-layang enteg (tidak  goyah); dapat diandaikan seperti burung pelatuk yang konsen (seleg) melubangi pohon membuat sarang; dapat diumpamakan seperti burung elang yang mengintai seekor tikus. Artinya, bahwa orang yang melaksanakan swadharma-nya secara serius, maka kekacauan seperti apa pun yang datang tidak akan mengusik kebahagiaannya. Semoga kita adalah layang-layang yang enteg, seperti burung pelatuk yang seleg, dan seperti elang yang selalu serius (seken) melaksanakan swadharma sehingga dapat hidup dengan pancaran kedamaian (*)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email