Oleh : Wayan Windia *)
Saat ini elit masyarakat Bali sedang sibuk perang wacana antara Hare Krishna HK vs Hindu Bali (HB). Bahkan sampai-sampai harus melapor ke polisi. Bila kasus itu harus terjadi, apakah kita tidak malu? Malu kepada publik dan malu kepada bangsa. Tampaknya, semua yang berwacana, inginnya menang dan benar sendiri. Bahkan tidak segan-segan memanfaatkan kekuasaan yang sedang dipegangnya. Mungkin karena saat ini Kaliyuga.
Faktanya, saat ini timbul beda pendapat yang tajam berkait dengan eksistensi HK di Bali. Para elit yang dikenal cerdas seharusnya menerapkan dengan teguh filsafat THK yang sangat kita agung-agungkan. Namun, faktanya masing-masing pihak bersikukuh. Bahkan sudah ada yang melapor kepada yang berwajib. Jika masing-masing pihak ingin agar Bali tetap damai dan kondusif, maka yang ditunggu adalah duduk bersama, berdialog mencari solusi, eling dan menerapkan konsep THK, dan berbagai filsafat lainnya di antaranya Vasudhaiwa Kutumbhakam; Tatwam Asi. Bahwa kita semuanya adalah bersaudara. Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Janganlah filsafat adi luhung itu, hanya baik diucapkan di bibir semata. Bila kita semua sadar bahwa semua filsafat itu adalah sebuah hal yang baik bagi kehidupan, kenapa kita tidak menerapkannya tatkala ada masalah?
Sebagai “orang-subak”, saya juga merenung. Mengapa kita tidak belajar dari demokrasi yang dikembangkan oleh petani dalam organisasi subak? Harus dicatat bahwa petani kita itu tidak sebodoh yang kita duga. Kita bisa belajar dari petani dan subak dalam berdemokrasi dan dalam mengambil keputusan. Subak dikenal sebagai sebuah organisasi yang menerapkan Tri Hita Karana (THK). THK tidak saja diusung sebagai jiwa filosofis subak “di atas langit”, tetapi langsung diterapkannya, “di bumi”. Itulah sebabnya subak diakui oleh WHO sebagai warisan budaya dunia. Judul pengakuannya : subak as implementation of the Tri Hita Karana Philosphy”.
Dalam berdemokrasi, subak menerapkan konsep THK dengan menjalankan konsensus. Mereka duduk bersama, berdialog dan mencari solusi dengan prinsip konsensus. Mengapa bisa ? Karena mereka meyakini memiliki kepentingan yang sama untuk mencapai tujuan organisasi. Konflik tidak akan memecahkan masalah secara abadi. Misalnya, dalam pemilihan Pekaseh/Kelian Subak (Ketua Subak), umumnya dilakukan dengan konsensus. Demokrasinya adalah demokrasi yang berbasis konsensus. Bergantung dari tantangan yang ada dalam subak tersebut. Kalau tantangannya adalah adanya terowongan (aungan) air, maka siapa anggota yang pemberani, dan berani masuk terowongan air untuk melakukan pembersihan sampah misalnya, maka orang itulah yang akan dipilih sebagai Pekaseh. Dipilih secara konsensus.
Kalau di sebuah subak ada tantangan hama dan penyakit. Kemudian ada petani yang pandai dan mampu memilihkan hari-baik untuk bertanam dan memilihkan jenis tanaman, sehingga tanaman terhindar dari penyakit/hama, maka petani itulah yang akan dipilih sebagai pekaseh. Contoh kasus ini terjadi di Subak Sungsang, Tabanan. Pekaseh itu adalah Guru Ketut Subagia.
Demikian pula dalam pelaksanaan distribusi air irigasi. Mereka juga melakukannya dengan konsensus. Saling pinjam air antar-subak dan antar-petani dalam satu subak dilaksanakan dengan konsensus. Dalam pelaksanaan upacara juga dilakukan dengan konsensus. Mengapa kita tak mau belajar dari subak dalam mengambil keputusan?
Demokrasi berbasis konsensus sebagai bagian dari penerapan konsep THK juga diterapkan dalam hal jumlah iuran yang harus dipungut (sebagai sarin tahun) pada petani anggota subak. Demikian juga dalam hal besaran denda untuk setiap pelanggaran terhadap aturan subak (awig-awig subak), dll. Jadi, semuanya serba konsensus.
Saya kira subak di Bali selalu mengadakan parum atau duduk bersama, kalau ada masalah (berat atau ringan). Lalu keputusan diambil dengan konsensus. Dasar keputusannya adalah awig-awig atau perarem. Bila ada masalah yang harus dikerjakan di Parhyangan, misalnya odalan di Pura Subak (Ulun Suwi), maka anggota subak pasti duduk bersama. Membuat konsensus tentang porsi iuran yang harus dibayarkan. Kalau ada pelanggaran, maka oknum yang dianggap melanggar, dipanggil untuk ikut duduk bersama. Kemudian keputusan atas sanksi dll, dengan cara konsensus. Hanya saja, praktek demokrasi berbasis konsensus (demokrasi-konsensus) berbeda untuk setiap subak, karena masing-masing subak bersifat otonom. Setiap subak bebas mengatur rumah tangganya sendiri (bersifat kasuistis).
Demokrasi subak sangat sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Semuanya diambil dengan mufakat/konsensus. Kalau belum tercapai konsensus, maka akan ditunda pengambilan keputusannya. Sangat berbeda dengan demokrasi ala Barat, yang diambil berdasarkan one man one vote. Mungkin karena petani umumnya adalah orang miskin, maka tidak akan pernah ada yang namanya politik uang. Dengan demikian, mungkin kita bisa belajar dari demokrasi subak untuk pelaksanaan demokrasi di Bali dan juga di Indonesia.
Meskipun subak adalah lembaga tradisional, dan demokrasinya kita sebut tradisional, tetapi demokrasi ala subak adalah demokrasi modern. Yakni demokrasi yang berlandaskan harmoni dan kebersamaan. Dapat juga disebut sebagai demokrasi berbasis konsensus atau demokrasi konsensus. Pada Era Orde Baru yang menerapkan Demokrasi Pancasila, Pak Harto menerapkan demokrasi konsensus, seperti demokrasi ala subak. Pak Harto juga menyebut sebagai demokrasi yang bulat. Bukan demokrasi yang lonjong atau bulat telur.
Praktek musyawarah dan mufakat menurut Kutanegara (2014), sudah lama dikenal sebagai praktek demokrasi di berbagai tempat di Indonesia. Musyawarah pada tingkat jorong di Sumatera Barat, atau gampong di Aceh, atau dusun di Jawa menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan polisentris (penulis : polisentris artinya bahwa keputusan diambil dalam berbagai sentra komunitas. Artinya keputusan yang diambil, tidak seragam. Namun mereka melakukan koordinasi dalam pelaksanaan keputusan itu, sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya). Bahwa peranan sang pemimpin (dalam implementasi setiap keputusan) dalam sistem sosial seperti ini, lebih merupakan “wakil” atau representasi dari anggota. Sang pemimpin bukan sebagai penguasa.
Namun di lain pihak, ada catatan dari Hefner (2001) yang mengutip filosuf Barat yang mengatakan bahwa saat ini sedang berkembang suatu kepercayaan pada sebuah sistem sosial, di mana kemerdekaan perorangan modern sedang sangat berkembang dan sedang menular. Mungkin maksudnya bahwa kini sedang berkembang dan sedang menular proses demokratisasi dan HAM yang sangat individualistik. Inilah yang merupakan “saingan” dari demokrasi konsensus (Bali : briuk siu).
Berkait dengan masalah Pawongan di Subak, ada kerjasama antar-petani dalam proses pinjam meminjam air irigasi juga diputuskan dengan konsensus. Konflik yang ada di antara petani, kalau tokh ada pencurian air misalnya, juga diselesaikan dengan konsensus. Bagaimana dengan di Palemahan ? Ya, sama saja. Misalnya, di sebelah mana seorang petani boleh membersihkan pematang, dan lain-lain dipecahkan antar-petani di subak, dengan cara musyawarah mufakat.
Pada prinsipnya, petani selalu ingin memecahkan masalahnya dengan konsensus. Kalau petani dan subak bisa, kenapa kita para elit tidak bisa? Marilah introspeksi diri (mulat sarira). Apa sebetulnya kepentingan yang akan dipertaruhkan. Lalu carilah pemecahan masalah dengan konsensus. Kata orang bijak, bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan, kalau semua sadar bahwa kita ini bersuadara. Marilah kita belajar dari petani dan subak
Kita lihat saja nanti, sistem manakah yang lebih efektif untuk menunjang pembangunan nasional dan untuk mencapai kesejahteraan Bangsa Indonesia termasuk menyelesaikan konflik antara HK vs HB. Apakah demokrasi tradisional ala Subak yang bersifat komunalistik dengan basis konsensus, ataukah demokrasi ala Barat yang bersifat individualistik dengan basis one man one vote atau ngotot-ngototan dengan bahasa pokoke ? Biarlah sejarah yang akan membuktikannya (* Penulis adalah Guru Besar Fak. Pertanian, UNUD dan Ketua STISPOL Wira Bhakti, Denpasar).