Oleh : Wayan Windia, Denpasar *)
Banyak sekali wacana tentang Kaliyuga, yang kini marak diperbincangkan di masyarakat. Ada kaum spiritualis yang menyebutkan bahwa, saat ini Jaman Kaliyuga sudah berakhir. Bahwa sekarang yang sedang terjadi adalah era transisi. Masalahnya, era transisi itu, akan berlangsung seberapa lamakah? Dan kapankah Jaman Kaliyuga akan berakhir? Untuk hal ini, tidak banyak orang yang berani berwacana.
Namun, kapan Kaliyuga mulai, ada catatan yang dikemukakan Sri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun (Sri Bhagawan). Catatan itu, termuat dalam buku : Rekha Sandhi Pranawa (2018). Bahwa Kaliyuga dimulai pada tahun 3108 SM, seusai Perang Barata Yudha. Yakni, pada saat Parikesit menjadi Raja. Pada era itu, Parikesit bertemu dengan Mahapurusa Kali di tepi Sungai Saraswati. Disampaikan kepada Raja Parikesit, bahwa jaman Kali (Kaliyuga) sudah akan dimulai.
Namun Raja Parikesit menolaknya. Ia segera akan menebas leher Mahapurusa Kali, agar Jaman Kali tidak terjadi. Tetapi dengan licik Mahapurusa menyembah Raja Parikesit, agar ia tidak dibunuh. Dan hanya memohon lima tempat tinggal, yakni : tempat mabuk-mabukan, perjudian, rumah potong khewan, rumah pelacuran, dan tempat cadangan tambang bumi. Parikesit “menyerah”.
Sejak saat itu, rakyat dari kerajaan yang dipimpin Parikesit mulai dirasuki oleh Kali. Mereka hidup meninggalkan Dharma, dan hidup dalam Jaman Adharma (Jaman Kali). Mereka hidup berfoya-foya. Untuk memenuhi tuntutan rakyatnya, maka Raja Parikesit memulai peradaban baru, yakni dengan mengeksploitasi perut bumi (pertambangan).
Semakin lama, Raja Parikesit semakin larut untuk memenuhi kehendak rakyatnya, yang terus ingin hidup berfoya-foya. Sampai akhirnya ia dikutuk oleh seorang Raja Pertapa. Bahwa Parikesit akan mati digigit ular Taksaka, tujuh hari setelah kutukan itu diutarakan. Maka sejak saat itu Parikesit mengundurkan diri sebagai Raja, dan menyerahkan kekuasaannya kepada putranya, Janamejaya.
Tidak diceriterakan bagaimana keadaan masyarakat dalam era Raja Janamejaya. Namun, dapat diduga bahwa rakyatnya semakin larut dalam hidup berfoya-foya. Mungkin sebagaimana kita alami saat ini, yakni selama sekitar 5.000 tahun setelah era Raja Parikesit.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita Parikesit itu? Bahwa Takdir tidak bisa dihindari atau dicari. Kalau Tuhan berkehendak akan terjadi, maka akan terjadilah atas kehendak-Nya. Kemudian, watak licik, tipudaya, dan menyembah-nyembah untuk bisa melakukan kelakuan adharma, senantiasa dilakukan. Kalau kita tidak kokoh, maka adharma akan terjadi. Tindakan adharma adalah tindakan yang melakukan hal-hal yang penting, sebagai hal yang tidak penting.
Bahwa sejak lama orang-orang mengatakan, udara adalah benda yang maha penting. Air pun akan berhenti mengalir, kalau di atas permukaan air itu, tidak ada melekat udara. Bayangkanlah, aliran air saja bisa “mati” seketika, kalau tidak ada udara. Apalagi manusia. Namun saat ini, udara kita terus dijejali dengan benda-benda pengotor udara, agar manusia bisa berfoya-foya.
Saat ini, udara telah diperlakukan oleh manusia sebagai benda yang tidak penting. Asap pabrik, asap mesin tenaga listrik, asap mobil/motor, asap pesawat terbang terus-menerus menjejali udara kita, agar manusia bisa hidup sambil bersenang-senang. Manusia akhirnya memakai masker, kena penyakit alergi, kulit, jantung, dan lainnya.
Demikian halnya air. Manusia sebagian besar tubuhnya terdiri dari air. Maka, manusia harus banyak minum air, agar mereka tidak kekurangan air (dehidrasi). Semua orang mengakui bahwa air itu adalah benda yang maha penting. Air tidak saja untuk diminum, tetapi juga untuk membersihkan diri, menyiram tanaman untuk bahan makanan, dan lainnya.
Tetapi air lagi-lagi diperlakukan sebagai hal yang tidak penting. Air dijejali dengan kotoran cair, korotan padat dan plastik. Rumah-rumah dibuat dengan membelakangi air (sungai, got, parit dan sejenisnya). Akhirnya manusia kekurangan air bersih. Meski jumlah air di bumi tidak berkurang, tetapi air yang bersih, yang bisa dimanfaatkan oleh manusia menjadi sangat bekurang. Kemudian manusia menyedot air dari bumi, yang menyebabkan bumi menjadi tidak seimbang lagi.
Bagaimana dengan hutan? Ya, sama saja. Semua orang mengatakan, bahwa hutan maha penting untuk kehidupan. Hutan adalah sumber air bagi manusia. Hutan juga sumber oksigen bagi manusia. Namun hutan diperlakukan sebagai kawasan yang tidak penting. Kawasan hutan dibabat secara illegal, kawasan hutan belantara dikonversi menjadi tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, dan lain-lain). Tentu saja kita kini menerima akibatnya. Selalu terjadi banjir dan longsor di musim hujan.
Di Aceh dan Kalimantan, selalu kena banjir. Padahal sebelumnya, nyaris tidak dikenal adanya banjir di kawasan itu. Kemudian di musim kemarau kawasan hutan dibakar untuk bisa dijadikan lahan perkebunan. Asapnya bisa menyebabkan penyakit. Dunia (negara tetangga) juga protes. Hubungan antar negara menjadi renggang.
Tentu saja masalah pertanian adalah hal yang sangat urgen juga. Setiap manusia yang masih hidup, pasti memerlukan makan dari hasil pertanian. Namun saat ini, pertanian diperlakukan sebagai hal yang tidak penting. Badan dunia FAO meminta agar anggaran untuk pertanian bisa dibuat agar mencapai 10% dari anggaran negara. Namun sekarang anggaran yang dialokasikan untuk pertanian nyaris di bawah dua persen. Ini angka yang menyedihkan.
Jelas, sektor pertanian tidak bisa bergerak tanpa program dan kebijakan serta keberpihakan pemerintah. Namun, pemerintah tetap saja memihak konsumen dibandingkan dengan memihak produsen (petani). Jelas, pertanian tidak bisa berkembang dengan auto-pilot. Karena jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sangat banyak, mereka pada umumnya dalam kategori miskin, asetnya kecil, aksesnya ke eksternal juga kurang dan sempit. Maka sektor pertanian berkembang menjadi sumber kemiskinan struktural.
Lalu, kapankah pemerintah bisa beranggapan bahwa, suatu hal yang penting bagi umat manusia, harus dianggap dan diperlakukan sebagai hal yang penting? Mungkin setelah Jaman Kaliyuga berakhir. Lalu, kapan Jaman Kaliyuga akan berakhir? Kita sama sekali tidak tahu. Lalu, apakah kita akan terus memperlakukan hal yang penting, sebagai hal yang tidak penting? Inilah yang mesti direnungkan oleh pemerinah dan kita semua. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, Salah satu Penasihat Paiketan Krama Bali dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.