IK Budiasa, S.T, M.M, Jakarta
Sekjen Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia (ICHI)
Dr. Arnold J. Toynbee dalam dialog dengan Daisaku Ikeda mengatakan, Hindu (bersama Buddha) selain berhasil membawa Nusantara kepada puncak kejayaannya selama 14 abad, juga sudah berhasil membangun peradaban yang kuat di Indonesia, sehingga ketika agama yang lebih muda masuk, mau tidak mau harus melakukan kompromi. Dan kompromi itu menghasilkan wajah agama yang jauh lebih toleran.
Apa itu toleransi? Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, ‘tolerare’ yang artinya sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya, yang lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya terhadap perbedaan agama, ideologi, ras.
Kearifan Nusantara itu tidak hanya tentang warna-warni budaya dan ritual yang hidup di Nusantara, juga tentang cara pikir dan laku khas Nusantara. Itulah pola pikir dan laku toleran terhadap berbagai perbedaan. Warisan kearifan itulah yang patut kita jaga, terutama sebagai umat Hindu yang memiliki DNA langsung dari para leluhur Nusantara yang telah membangun kesadaran tersebut, berabad-abad yang lalu. Kearifan tersebut tidak hanya patut kita berikan kepada umat dan suku lain, tetapi juga untuk saudara kita sendiri, umat dan suku yang sama dengan kita. Karena ketika kearifan itu menjadi DNA dalam diri kita, maka ia akan menjadi pola pikir kita, yang selanjutnya memancar melalui sikap keseharian kita, menjadi kebiasaan kita, dan akhirnya yang menentukan “nasib” kita. Ia bukan sikap plin-plan dan pilih-pilih, apalagi ibarat sabit, sikap tajam ke dalam tumpul ke luar.
Kearifan ini diperlukan karena perbedaan akan selalu ada. Apalagi dalam hal keyakinan. Sebuah undang-undang yang dibahas oleh DPR beberapa tahun lalu saja bisa menimbulkan multi tafsir, apalagi ayat kitab suci yang berumur ribuan tahun. Karena itu, dalam Hindu dikenal Sad Dharsana, 6 aliran filsafat yang mengajukan pandangan berbeda atas konsep ketuhanan Weda. Dari Dwaita hingga Adwaita, dari Tuhan yang Nirgunam sampai Tuhan yang Sagunam, semua diakui sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran sesuai level kesadaran dan kecenderungan individu masing-masing. Perdebatan mengenai hal itu sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu oleh Ramanuja, Madhva dan Sankara, tanpa kehilangan rasa hormat, tanpa keinginan untuk menghakimi, apalagi saling menyesatkan. Hindu adalah agama tua yang bijaksana. Ia ibu agama-agama yang bersikap bijak, yang mampu menerima dan merangkul semua. Karena Tuhan terlalu luas untuk dipahami sendiri, dicari melalui satu cara, atau diklaim sebagai milik satu golongan.
Dalam Kena Upanishad dikatakan “yadi manyase suvedeti dabhram evapi nunam tvam vettha brahmano rupam. Yadasya tvam yadasya devasu atha nu mimamsyam eva te, manye vidhitam. Bila engkau merasa bahwa engkau mengerti Brahman dengan baik, itu artinya engkau hanya tahu sedikit, baik mengenai Tuhan didalam dirimu (atman), maupun Tuhan diluar dirimu”. Pada bagian lain, kitab yang sama mengingatkan “yad vaca nabhyuditam yena vag abhyudate. Tad eva brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate. Yan manasa na manute yenahur mano matam. Tad eva Brahma tvam viddhi nedam yad idam upasate. Sesuatu yang tidak dinyatakan melalui wicara tetapi sesuatu yang menyebabkan adanya wicara, ketahuilah itulah sesungguhnya Brahman, bukan seperti yang dipuja orang. Hal itu yang tidak terpikirkan oleh pikiran, tetapi hal itu yang menyebabkan adanya pikiran, ketahuilah itu sesungguhnya adalah Brahman, dan bukan apa yang dipuja oleh orang-orang”. Dalam bahasa pendek, ia disebut Achintya, tak terpikirkan, neti-neti, serba bukan.
Karena Dia serba bukan, maka perbedaan tafsir kitab, praktek keagamaan, perbedaan pilihan idola adalah keniscayaan. Lalu, bagaimana bisa kita menyatakan satu aliran, atau satu paham, atau satu praktek keagamaan sebagai menyimpang atau sesat ? Tidakkah sikap itu justru bertentangan dengan Kearifan Nusantara yang kita warisi dan perjuangkan? Perbedaan itu, sekali lagi, adalah keniscayaan. Ia bagian dari Mahakarya Tuhan. Dan perbedaan sesungguhnya tidak pernah menyebabkan kita terpecah belah. Yang menyebabkan kita terpecah belah, bertengkar bahkan hendak saling menihilkan, adalah respon kita dalam menyikapi perbedaan itu. Bila cara pikir dan sikap kita dalam merespon perbedaan itu tidak diubah, maka sesungguhnya kita hanya sedang menunggu giliran, antara siapa yang menjabat dan siapa yang menghujat. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, bahkan 360 hari setahun tidak akan cukup untuk pertengkaran kita. Bila itu terjadi, dimana kita letakkan Kearifan Nusantara yang kita perjuangkan dan agung-agungkan?
Lalu bagaimana bila dalam pelaksanaan tafsir atau praktek-praktek tersebut ada ujaran-ujaran atau tindakan-tindakan yang mencederai kebhinekaan atau mengandung hinaan? Tahun 2002 terjadi peristiwa Bom Bali 1. Lalu 3 tahun berikutnya, kembali terjadi, Bom Bali 2. Korban total ratusan jiwa melayang. Ekonomi hancur. Ribuan tamu eksodus, jutaan calon pelancong membatalkan tiket, pariwisata sepi, ribuan orang menganggur. Pelakunya jelas termotivasi oleh satu tafsir keagamaan. Ia melakukan itu sambil meneriakkan nama Tuhannya. Tapi bagaimana respon kita? Kita tidak pernah menyalahkan ajaran agamanya. Kita menyerahkan tindakan pelaku untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Agama yang dianut pelaku tetap dihormati sebagai agama yang suci. Tetangga-tetangga kita yang memeluk agama yang sama dengan agama yang dipeluk teroris itu tetap mendapat respek tanpa cela. Bila kita bisa bersikap demikian pada para pelaku peristiwa paling kelam dalam sejarah modern Bali, lalu mengapa kita tidak bisa bersikap sama terhadap saudara-saudara kita sendiri? Sekali lagi, di mana kita letakkan Kearifan Nusantara yang kita perjuangkan dan agung-agungkan? Mari kita renungkan pelan-pelan dan mendalam. Sejarah akan mencatat respon kita (Cibubur, Saniscara Kliwon Landep, 13/2/2021).