Proses hukum terhadap para Ketua LPD yang muncul sejak beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan hangat dalam diskusi publik Widya Sancaya #05 dengan topik “Tata Kelola LPD Perspektif Adat & Hukum Adat”, Selasa, 19 Juli 2022 lalu di Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Kenapa Jaksa Tipikor berani menjerat para Ketua LPD yang terindikasi korupsi walaupun LPD adalah lembaga milik Desa Adat, bukan lembaga keuangan sehingga dikecualikan oleh UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan tidak dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ?
Salah satu narasumber yakni Kasubsi Penyidikan Kejaksaan Negeri Denpasar, I Made Agus Mahendra Iswara, S.H, M.H, dalam materinya berjudul “Penyimpangan Keuangan LPD dari Perspektif Hukum Pidana” (Tindak Pidana Korupsi) menyatakan, sesuai UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), bahwa definisi “Tindak Pidana Korupsi” (Tipikor) adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dapat dipidana penjara…..dst”. Sebagai penegak hukum, pihaknya bekerja berpegang teguh pada Undang-Undang.
Menurutnya, dalam kasus yang melibatkan oknum di LPD, entry point-nya adalah adanya hal yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam Perda No. 3 Tahun 2017 yang mengatur tentang LPD menurut Jaksa kelahiran Denpasar ini, frasa “merugikan negara” memang bersifat debatable, namun demikian, apabila merujuk pada Penjelasan Pasal 9 ayat (3) tentang permodalan LPD huruf “a” menerangkan “Yang dimaksud dengan modal disetor adalah modal dalam bentuk uang yang bersumber dari Desa dan Pemerintah Daerah”. Penjelasan Pasal 9 ayat (3) huruf b menerangkan “Yang dimaksud dengan modal donasi adalah modal dalam bentuk barang yang bersumber dari perseorangan, Desa dan/atau Pemerintah Daerah”. Demikian juga kalau mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Peraturan Gubernur Bali No. 44 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2017 tentang LPD menerangkan “Desa dapat mengajukan permohonan modal kepada Gubernur pada saat pendirian LPD”.
Sedangkan Pasal 33 ayat (2) Peraturan Gubernur Bali No. 44 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2017 tentang LPD, menyatakan “Gubernur dapat memfasilitasi permohonan modal LPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Pasal 33 ayat (3) Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Prov Bali No. 3 Tahun 2017 tentang LPD menerangkan “Pencairan permohonan modal LPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.”
Berdasarkan beberapa pasal dalam Perda Nomor 3 tahun 2017 tersebut ada unsur “negara” (pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur). Agus Mahendra mengutip Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya definisi “Keuangan Negara” yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena, antara lain : berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah; berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Jika dicermati secara seksama, dasar hukum itulah dipakai acuan oleh Jaksa Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat para Ketua LPD yang terindikasi korupsi.
Menurut Agus Mahendra, kalau dilihat dari sisi pembentukan atau proses pendiriannya, LPD dibentuk berdasarkan SK Gubernur Bali, maka LPD bukan termasuk lembaga usaha mikro (LUM). Sedangkan LUM berbentuk badan hukum (Koperasi/PT). Untuk PT min 60 % milik pemerintah. Namun demikian, Agus Mahendra menegaskan, walaupun LPD tidak masuk pada LUM, hal itu tidaklah mereduksionalisasi/membantah modal dari LPD bersumber dari keuangan negara/keuangan daerah (sebagaimana diatur dalam Perda 3 Tahun 2017 Pasal 9 ayat 3, red).
Narasumber lainnya, Prof. Dr. I Wayan Suartana, S.E, Ak, M.Si (dalam makalahnya berjudul “Tata Kelola dan Kebijakan Akutansi”) mengusulkan, untuk penguatan lembaga keuangan desa adat ini agar dibuatkan Perda khusus tentang kebijakan akuntasi LPD sehingga tata kelola LPD lebih akuntabel. Bahkan turunan dari kebijakan tersebut nantinya dapat berupa Perarem LPD Desa Adat Berbasis Resiko. Perda ini diharapkan lebih memperjelas bahwa LPD itu adalah entitas yang 100 % persen dimiliki oleh Desa Adat. Selain itu, menurut Suartana, sebaik apa pun sistem, harus didukung oleh kesiapan SDM yang menglola LPD. Menurutnya, LPD kesulitan dalam mengelola aset karena faktor sempitnya ruang lingkup meskipun dimungkinkan untuk melakukan kerjasama antar-LPD.
Narasumber lainnya, anggota DPR RI Komisi VIII, IGN Alit Kesuma Kelakan, S.T, M.Si (dalam makalahnya berjudul “Peranan LPD dalam Penguatan Usaha Mikro dan Daya Tahan Ekonomi Kerakyatan”) merilis data, per Maret 2022 tercatat sekitar 1.493 LPD di seluruh Bali dengan omzet sekitar 23, 2 triliyun. Hal ini menurutnya merupakan kekuatan serta potensi keuangan besar yang mesti dikelola dengan baik. Seperti diketahui, LPD telah diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Pergub No. 44 Tahun 2017 Tentang Peraturan Pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa, serta Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Menurut Alit Kelakan, LPD harus ditingkatkan baik kapasitas, kapabilitas SDM serta administrasinya.
Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si yang bergabung secara daring menyatakan, ke depan, LPD patut diperkuat dengan kesiapan sumber daya baik SDM maupun software dan hard ware-nya. Menurut Jondra, keberlanjutan LPD sangat penting dalam menjaga roda perekonomian masyarakat Bali.
Diskusi yang moderatori oleh Koordinator Pusat Kajian Desa Adat UNHI Denpasar, I Made Dwija Suastana, S.H, M.H ini digelar untuk merespon dinamika yang saat ini terjadi di Bali dengan mencuatnya kasus hukum terhadap sejumlah Pengurus LPD. Sayang sekali, diskusi (yang sebenarnya penting ini), tidak menghadirkan narasumber ahli hukum adat dan ketiga narasumber tidak satu pun yang membawakan materi sesuai tema yakni “Tata Kelola LPD Perspektif Adat & Hukum Adat” (*).