Oleh : I Wayan Jondra
LPD (Lembaga Perkreditan Desa) yang dengan Bahasa Bali diistilahkan sebagai Labda Pacingkreman Desa adalah sebuah organ miliki desa adat. LPD ini melakukan kegiatan simpan-pinjam untuk internal krama adat guna menunjang kegiatan adat dan budaya Krama Adat di Bali. Selisih pendapatan LPD dengan biaya operasional, disiapkan untuk operasional tahun berikutnya dan dikembalikan sepenuhnya oleh LPD kepada Krama Adat dalam bentuk pendanaan kegiatan adat dan budaya krama setempat. Tidak ada uang hasil selisih pendapatan LPD dipergunakan untuk pembelian asset LPD. Seluruh asset sepenuhnya menjadi milik Desa Adat, sehingga LPD sama sekali tidak mencari keuntungan untuk memperkaya LPD. Pembelian peralatan LPD hanya bertujuan untuk operasional, sedangkan Gedung LPD adalah milik Desa Adat. Dengan demikian, LPD tidak layak dijadikan obyek pajak.
LPD adalah sebuah Labda Pacingkreman Desa milik desa adat. Ditinjau dari aspek hukum positif di Indonesia, LPD sebenarnya tidak ada, karena LPD bukan organisasi massa, bukan badan usaha, bukan juga orang perorangan, namun eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat hukum adat yang diakui Negara. Dalam Undang-undang No 28 Tahun 2007 dijelaskan bahwa : Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari difinisi ini sudah jelas, LPD bukanlah badan karena tidak memiliki akta pendirian, dan jelas pula bukan orang pribadi. Dengan pengertian ini, maka LPD bukanlah wajib pajak. Sehingga tidak perlu membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dalam operasionalnya, LPD tidak memiliki asset, walaupun dalam neraca dicatatkan sebagai aktiva, sejatinya aset yang dicatatkan sebagai aktiva LPD adalah milik Krama Desa dalam lingkup Desa Adat tertentu. Operasional LPD hanya semata untuk urusan internal masyarakat/krama Desa adat itu sendiri dan bukan untuk kepentingan orang lain, syarat nasabah LPD adalah krama Desa Adat tertentu dalam wilayah tertentu, dan tidak diperkenankan melayani nasabah selain krama Desa Adat di mana LPD tersebut berada. Hal ini menegaskan keberadaan LPD hanya untuk internal komunitas krama adat.
Bisa dilihat dalam neraca LPD tidak satu pun membukukan tanah milik LPD, sehingga tidak ada itikad untuk mencari kekayaan bagi LPD. Seluruh selisih pendapatan dan biaya operasional dibagi habis kepada Krama adat menjadi : pemupukan modal, pembiayaan sosial, pembiayaan kegiatan adat, dan pembagian langsung kepada Krama Adat. Sebagian selisih pendapatan tersebut digunakan untuk menunjang operasional. Sehingga tidak ada keuntungan bagi LPD. Oleh karena itu, LPD tidak layak dijadikan sebagai wajib pajak. Jika ditjen pajak menginginkan LPD untuk membuat NPWP. Maka keinginan ini harus ditunda dulu dan harus pelajari dasar hukum mana yang digunakan oleh Ditjen Pajak selain Undang-undang No 28 Tahun 2007 (mengutip pendapat Ketua DPRD Provinsi Bali, N. Adi Wiryatama pada saat Audiensi Paiketan Krama Bali tanggal 17 Mei 2022 bertempat di ruang Ketua DPRD Bali).
Keuntungan justru didapatkan oleh krama adat. Sebagai warga negara Indonesia, jika Krama Adat memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sudah sewajarnya membayar pajak. Jika terdapat pegawai LPD yang mendapatkan penghasilan di atas PTKP sudah sewajarnya yang bersangkutan membayar pajak, dan hal tersebut menjadi urusan pribadi mereka dengan petugas pajak. Dengan demikian, karena LPD bukan badan, bukan juga orang perorang, dan juga tidak memiliki penghasilan atau keuntungan karena semua harta yang ada di LPD adalah milik krama Adat, maka sangatlah tidak tepat, jika LPD menjadi wajib pajak.
Pemasalahan niat ditjen pajak ini untuk menjadikan LPD wajib pajak sangat menarik untuk dikaji lebih dalam sehingga tidak mengganggu supply darah untuk eksistensi Desa Adat, yang telah berbuat banyak untuk menghasilkan atraksi budaya yang menarik wisatawan untuk datang ke Bali. Mestinya pemerintah harus memberikan insentif kepada Desa Adat di Bali yang telah menghasilkan pendapatan Triliyunan Rupiah dari sector pariwisata bagi negara, bukan justru menjadikannya sapi perahan baru, terlebih-lebih dalam kondisi sulit di masa pandemi seperti saat ini. (Penulis adalah Dosen PNB dan Ketua Umum Paiketan Krama Bali).