Oleh : Wayan Windia *)
Mafia adalah orang atau sekelompok orang yang mencari keuntungan untuk kepentingannya sendiri, dan tak peduli dengan kerugian yang diderita oleh pihak lain dan negara. Pada mulanya, istilah mafia dikenal dalam film-film Barat (tempo dulu), dan pemimpinnya disebut Godfather. Mafia bahkan ingin eksis bagaikan sebuah kehidupan sosial suatu negara dalam negara. Konsepnya adalah mereka ingin menggerogoti negara, dan bahkan ingin mengalahkan negara. Negara ingin diaturnya. Mafia “bermain” dan mengatur kebijakan aparatur negara. Jadi, mafia itu ibarat benalu bagi republik ini.
Di negara kita, istilah mafia mulai mencuat dalam dunia peradilan. Ada wacana yang kuat di akar rumput, bahwa kalau ingin menang berperkara, maka kita harus menyediakan sejumlah uang. Mafia akan mengatur, agar bisa memenangkan perkara itu. Karenanya muncul istilah, “keadilan bisa dibeli”, “ada uang habis perkara”.
Kemudian muncul istilah mafia narkoba, mafia bola, mafia BBM. Terbaru, kita mengenal istilah mafia minyak goreng. Gara-gara mafia ini, harga minyak goreng menanjak tajam. Hanya mafia tanah yang kini sedang dikejar-kejar oleh polisi dan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Hadi Tjahyanto. Aduh, sepertinya negeri ini adalah rumah para mafia.
Saya juga curiga bahwa dikuburkannya beras dan bahan makanan lainnya di Depok baru-baru ini (tatkala rakyat sangat memerlukanya), karena ulah bromocorah, para mafia. Kok sampai hati ya. Menguburkan bahan makanan, saat rakyat sedang kelaparan. Pasti mafia itu, ingin negara ini chaos dan ambruk. Mafia memang sungguh-sungguh ibarat benalu bagi republik ini.
Mafia, memang selalu menjengkelkan. Mendengar istilahnya saja, kita sedih dan kesal. Isi otak para mafia, mereka harus “menerima” sesuatu dari republik. Persetan dengan isi perut rakyat atau masa depan republik ini. Dalam situasi negara yang bagaimana pun sulitnya. Mafia, sama sekali tak ada niat untuk “memberi” sesuatu kepada republik ini. Ini bukti bahwa setelah lebih 75 tahun republik ini dibangun, telah terjadi proses transformasi kultural dalam alam pikir manusia-manusia Indonesia. Alam pikir yang sebelumnya yang ikhlas “memberi”, berkorban kepada negara, lalu berubah ke alam pikir yang harus “menerima” dan mengeruk keuntungan dari negara. Mafia tidak mengenal hukum Karma Phala, setiap perbuatan (subha a-subha karma) pasti ada akibatnya/hasilnya (pahalanya). Yang mereka kenal hanyalah untung besar. Mereka juga tak mengenal istilah “ala kinardi ala tinemu, ayu kinardi ayu pinanggih” (baik perbuatan, baik hasilnya, buruk perbuatan, buruk pula akibatnya).
Jika kita ingat sejarah perjuangan bangsa, tatkala para pahlawan kita memulai perang kemerdekaan, kenapa manusia-manusia Indonesia saat itu dengan gagah berani siap maju ke medan perang (ksatria mabela pati) ? Meski resikonya harus mati (mantuk ring rana). Karena harus menghadapi musuh yang sangat hebat dan baru saja memenangkan Perang Dunia Kedua. Hal itu disebabkan karena dalam nuraninya ada niat dan spirit “memberi” dengan tulus ikhlas (lascarya nekeng saking tuas) kepada negaranya. Bahkan dengan tetesan darah, jiwa raga sekali pun. Jaman telah berubah, generasi telah berganti. Niat mulia itu, kini sudah sirna, lenyap ditelan waktu. Yang muncul adalah niat yang sebaliknya yakni pamrih, korupsi, mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi.
Dalam berbagai pidato para veteran pejuang kemerdekaan (di antaranya Ketua DPD LVRI Bali, I Gusti Bagus Saputera, S.H), tercermin kekecewaan. Betapa kecewanya para pejuang itu melihat kondisi negara yang marak korupsi, marak dengan ulah mafia saat ini. Tetapi apa mau dikata? Sistem politik yang muncul paska reformasi, tampaknya telah menjadi biang kerok utama situasi negeri seperti ini. Temuan-temuan KPK telah mengindikasikan, betapa sistem politik kita ternyata memang sangat koruptif, manipulatif dan agitatif. Ditambah lagi dengan tekanan eksternal yang menyebabkan manusia menjadi sangat pragmatis, aji mumpung, mumpung berkuasa, mumpung ada kesempatan. Sehingga muncullah niat dan ulah buruk (a-dharma, a-subha karma) menjadi mafia yang merugikan negara.
Bila tidak ada niat menjadi mafia, “mosok” sampai hati melakukan perbuatan yang kejam : menimbun bahan pangan bantuan sosial di saat harga minyak cenderung meroket. Belum lagi ditambah ulah para pejabat di Kementerian Perdagangan memberikan jatah ekspor kepada kapitalis. Pada saat orang-orang kelaparan dan sangat membutuhkan bansos, bansos-nya malah dikubur di tanah. Pada saat orang-orang memerlukan keadilan, lalu diperas oleh mafia dengan dalih untuk mendapatkan kemenangan. Pada saat orang-orang dengan ikhlas membeli tiket untuk nonton bola, lalu menyeruak ada berita mafia bola. Duh, mungkin manusia-manusia mafia itu sedang sakit jiwa, buta hati nuraninya dan kehilangan wiweka-nya.
Lalu, bagaimana mengatasi ulah para mafia ini? Inilah pertanyaan basi dan klasik. Tetapi harus tetap dipertanyakan, karena setiap ada masalah, memang harus dicarikan jalan keluarnya. Meskipun mencari jalan keluar untuk memberantas mafia memang bukan perkara mudah. Ibarat mencari jarum jatuh di padang pasir. Diperlukan kesadaran di dalam nurani sendiri (bhuana alit), atau menunggu alam semesta/makrokosmos (bhuwana agung) yang harus “murka” ? Kita tunggu saja. Karena memang sangat sulit untuk menggugah kesadaran hati nurani (bhuwana alit), ketika ia sedang keenakan menerima kenikmatan dan kenyamanan duniawi (comfort zone).
Lalu, apakah harus dengan mengubah sistem politik, untuk menghindari politik-uang? Ini juga bukan perkara mudah. Karena masyarakat sudah terlanjur nikmat dalam kebebasan, yang oleh Jokowi sempat disebut demokrasi yang kebablasan. Yang oleh kalangan TNI disebut sebagai kondisi softwar. Dalam buku-buku yang ditulis oleh Prabowo Subianto disebutkan bahwa, visinya memang mengagumi pusaka-pusaka politik yang ditinggalkan oleh para pendiri bangsa ini. Pusaka-pusaka politik itu berupa Pancasila dan UUD 1945 (yang asli). Tetapi ketika Prabowo dan tim koalisinya sempat menguasai parlemen (nasional dan lokal), pihaknya juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk menjalankan visinya. Hal itu terjadi pada era pemerintahan Jokowi periode pertama.
Akhirnya, harapan kita yang terakhir adalah hanyalah kepada kalangan TNI dan Polri agar tetap konsisten dengan sumpah-sumpahnya membela eksistensi NKRI berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Juga harapan kita pada partai-partai politik nasionalis yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Terakhir adalah harapan kita kepada komunitas sosial (termasuk kalangan generasi baru Indonesia). Harapan kita adalah semoga muncul kesadaran, bahwa republik kita ini dahulu dibangun dengan tetesan darah. Agar muncul keteladanan untuk “memberi” dengan ikhlas kepada bangsanya. Bahkan dengan mengorbankan jiwa-raganya. Sekarang, di saat kita telah menghirup udara segar kemerdekaan dan penuh kenikmatan, janganlah semata-mata ingin “menerima” dari negara. Apalagi dalam bentuk mafia-mafia. Sekali lagi, ulah mafia itu ibarat benalu. Mereka adalah pengkhianat bagi republik tercinta ini. Mereka, para mafia inilah yang harus kita berantas sampai tuntas.*) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.