Pernyataan Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur (yang berbentuk video berdurasi 2 menit 50 detik dan telah viral di media sosial), serangkaian Paruman Pembentukan Formatur Sabha Pemangku se-Bali, terus mendapat tanggapan berbagai pihak. Panitia Paruman adalah bentukan PHDI versi MLB (Parisada Hindu Dhrarma Indonesia Mahasabha Luar Biasa), dimana Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet adalah Dharma Kertha PHDI MLB yang saat ini mengarah menjadi PHDI Pemurnian. Sebelumnya, Pemangku Pura Agung Besakih, Jro Mangku Jana, dan Bendesa Adat Besakih, Mangku Widhiarta, membantah dan tidak berkenan dilibatkan sebagai Formatur Sabha Pemangku, agar bisa fokus melayani umat Hindu.
Setelah munculnya protes tokoh dan organisasi Hindu terhadap narasi Ida Pangelingsir Sukahet itu, kini LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Paiketan Krama Bali, sangat menyayangkan narasi yang diucapkan oleh Ida Pangelingsir Sukahet, apalagi diucapkan di area suci Pura Ulun Danu Batur, yang dihadiri oleh Sulinggih, Pemangku, Pemedek dan Prajuru.
‘’Setelah kami simak videonya, ‘’Kata-kata beliau, bukan hanya kurang layak diucapkan di lingkungan kahyangan yang disucikan. Ini juga bisa menjadi masalah hukum yang bisa berpotensi menjadi tindak pidana dalam KUHP, Putusan MK telah mengubah delik Penghasutan dari Delik Formil menjadi delik Materiil sehingga apabila dengan hasutan ini timbul suatu peristiwa hukum dan terpenuhinya unsur unsur pasal 160 KUHP maka penghasutan tersebut dapat dilaporkan ke penegak hukum dan bisa diproses berdasarkan pasal 160 KUHP,’’ kata Ketua LBH Paiketan Krama Bali, I Wayan Gede Mardika, S.H., M.H, Sekretaris LBH Paiketan, I Ketut Dody Arta Kariawan, S.H,M.H dan Anggotanya, I Made Dwi Dinaya, S.H, M.H.
Ada pun ucapan Ida Pangelingsir Sukahet yang videonya viral di media dan group antara lain sebagai berikut :…. ‘’Saya setuju, dengan dana demarkasi ini, kita identifikasi, mana orang-orang yang penganut sampradaya asing, mana yang ajeg Hindu Dresta Bali, harus colek pamorin, begitu dia atau mereka ke pura, tanya, apakah akan kembali ke dresta Bali, ataukah tetap Sampradaya asing, karena kalau mereka kembali; inggih tityang matur sisip, ngaturang Guru Piduka, Upasaksi. Karena tujuan kita, bukan membenci, tapi menyadarkan dan membina, tapi kalau tidak bisa disadarkan dan dibina, keluar dari Bali…..dst’’.
Mardika mengatakan, bahwa esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut. Isi dari hasutannya adalah tindakan untuk ‘’mengidentifikasi, memberi colek pamor, meminta keluar Bali,….pagi pemedek yang tidak bisa disadarkan dan tidak bisa dibina….’’.
Imbuh Mardika, karena yang mengucapkan adalah Ida Pangelingsir Sukahet, dan beliau tidak punya wewenang untuk meminta ‘’colek pamor, identifikasi, meminta keluar Bali’’, maka itu merupakan tindakan yang melanggar hukum, melanggar hak asasi manusia (HAM).
Menurut Mardika, bahwa Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika:
(a) ada perbuatan menghasut, yang sudah jelas menghasut adalah narasi Sukahet agar orang mengidentifikasi, memberi colek pamor…meminta keluar Bali, bagi yang tidak bisa disadarkan dan dibina.
(b) yang dilakukan dengan sengaja, adalah ucapan Ida Sukahet tanggal 5 Juni 2022 di Pura Ulun Danu Batur itu jelas disengaja, karena acaranya dipersiapkan dengan serius, ada surat undangan dari panitia, ada lambang yang mirip lambang PHDI dalam kop surat, selanjutnya ada rekaman videonya yang diedarkan kepada publik.
(c) dilakukan di depan umum, juga terpenuhi, karena Ida Sukahet mengucapkan narasi-narasi itu di hadapan umum, sejumlan Sulinggih, Pemangku, Prajuru, Pemedek.
(d) orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum,…ini memang masih perlu diinventarisasi dan dilihat ke depan, dalam tindakan orang-orang yang memberi ‘’colek pamor, identifikasi, meminta keluar dari Bali, mereka yang tidak bisa dibina dan disadarkan….’’
Selaku Pengurus LBH Paiketan, Mardika, Dody Arta dan Dwi Dinaya menegaskan, Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan amat dari Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pasal 1 ayat (3), proses hukum adalah sesuatu yang sah di negara hukum. Menuru Mardika, jauh lebih baik bila polemik ini disudahi dengan pengakuan yang legawa, meluruskan narasi Ida Pangelingsir Sukahet yang kurang pas itu, dan kembali menjalankan SKB PHDI-MDA tertanggal 16 Desember 2020 tentang pembatasan pengembanan ajaran sampradaya asing non-dresta Bali, melaksanakan Rekomendasi Komnas HAM RI tertanggal 27 Agustus 2021, dan keputusan-keputusan lain dari PHDI Bali maupun PHDI Pusat, terkait polemik Sampradaya Hare Krishna/ISKCON. ‘’Upaya hukum hendaknya benar-benar merupakan upaya terakhir, sesuai asas ultimum remedium dalam penegakan hukum,’’ ujar Mardika, Dody Arta dan Dwi Dinaya (*).