Jakarta — Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya kesadaran spiritual dan ekologis dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan alam semesta. Hal itu disampaikan dalam acara Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, yang digelar di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Kata Menag, Pesamuhan Agung menjadi momentum penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa manusia tidak bisa memandang alam hanya sebagai obyek eksploitasi, tetapi sebagai mitra sejati menjaga keseimbangan kehidupan. “Acara ini sangat penting karena ini mengajak kita untuk sadar betapa pentingnya bersahabat dengan lingkungan di dunia. Jangan hanya menjadikan alam ini hanya sebagai obyek, tapi ini adalah partner kita untuk meningkatkan martabat kita masing-masing. Semakin respek kita kepada alam, maka semakin terjamin kedamaian, keamanan, kesejahteraan kita kan,” ujar Nasaruddin Umar.

Ia menegaskan, konsep ekoteologi atau teologi yang berpihak pada kelestarian bumi memiliki akar kuat dalam ajaran Hindu, khususnya dalam nilai-nilai Tri Hita Karana. Menurutnya, pemikiran ini menjadi landasan penting bagi masyarakat dalam mengembangkan paradigma keagamaan yang ramah lingkungan dan berkeadaban spiritual. Menurtnya, esensi dari ekoteologi telah lama hadir dalam kebudayaan dan spiritualitas Nusantara. Konsep Tri Hita Karana, yang menjadi dasar kehidupan umat Hindu di Bali dan Indonesia, mencerminkan keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan sebagai wujud keseimbangan kosmis yang harus dijaga. “Kita akan mengembangkan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana itu kan ada Pawongan, yang berarti hubungan antara manusia dengan manusia tanpa membedakan agamanya apa pun, etniknya, umurnya berapa pun, jenis kelaminnya apa pun, warga negara apa pun. Yang penting anak manusia itu kita adalah bersaudara,” ujarnya.
Lebih lanjut, Nasaruddin menegaskan pentingnya menjaga hubungan manusia dengan alam atau Palemahan sebagai bagian dari kesadaran spiritual ekologis. Ia mengingatkan bahwa ketika alam tidak dihormati dan disakralkan, maka manusia sesungguhnya mempercepat datangnya bencana bagi dirinya sendiri. “Kita kenal juga apa yang disebut dengan Palemahan, hubungan manusia dengan alam semesta seperti yang disampaikan tadi Pandita kita tadi, bahwa alam yang tidak dihormati, alam yang tidak disakralkan itu pertanda kita sama dengan mengundang kiamat ini akan lebih cepat datang,” ujarnya.
Menag menekankan bahwa keseimbangan antara hubungan manusia dengan manusia, alam, dan Tuhan merupakan satu kesatuan utuh dalam ajaran Tri Hita Karana. “Tidak ada artinya kita berbicara tentang Pawongan, Palemahan tanpa bicara tentang Parahyangan. Parhyangan ini adalah hubungan antara manusia dan Tuhan, alam dengan Tuhan. Jadi triangle ini, segitiga ini memang harus disatukan,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa penerapan ekoteologi, yaitu cara pandang teologis yang selaras dengan alam, sesungguhnya dapat memperkuat nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, dan kerukunan yang telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. “Ketika implementasi ekoteologi baik, kita mungkin tak perlu mendengungkan lagi moderasi beragama, seolah-olah agamanya gak moderat maka perlu dimoderasi. Mungkin tidak perlu kita juga mendengungkan toleransi, seolah-olah kita tidak toleran selama ini. Mungkin tidak perlu juga kita terlalu banyak mendengungkan kerukunan, seolah-olah kita selama ini gak rukun, padahal kenyataannya kan kita sangat rukun. Tapi kalau kita berbicara tentang ekoteologi, itu substansi dari kehidupan beragama,” tegasnya.
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Wakil Kepala BKKBN, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka; Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI, Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si dan Asisten Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta, Ali Maulana Hakim (r).