Mencermati Budaya Politik Masyarakat Bali

Dr. I Wayan Gede Suacana, M.Si, akademisi dan Ketua Pusat Kajian Pancasila Universitas Warmadewa, Denpasar

Oleh : I Wayan Gede Suacana *)

***

Pengantar

Dalam budaya politik Indonesia, pemimpin politik sering dianggap sebagai sosok yang menjadi penentu kebijakan politik tanpa memperhatikan sistem yang ada. Selain itu, terjadi pula praktek-praktek tidak sehat seperti politik uang dan nepotisme yang mengutamakan kelompok atau golongan tertentu. Subyektivitas dalam keputusan politik juga tampak dengan tingginya angka golput dalam pemilihan umum mencapai hampir 25 persen bahkan lebih.

Banyak anggota masyarakat yang memilih  tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan pribadi, bukan karena faktor-faktor obyektif seperti kualitas kandidat atau program politik. Hal ini menunjukkan perlunya perubahan budaya politik agar masyarakat lebih aktif dalam politik dan membuat keputusan politik yang obyektif dan berdasarkan fakta. Budaya politik sejatinya meliputi keseluruhan pandangan politik yang dianut oleh masyarakat atau bangsa dan dijadikan pedoman dalam kegiatan politik kenegaraan. Budaya politik biasanya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) individual yang merupakan dasar semua tingkah laku politik masyarakat. Sementara, sistem nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan komponen penting bagi pembentukannya yang merupakan refleksi terhadap orientasi, sikap dan perilaku politik masyarakat dalam merespon setiap obyek dan proses politik yang sedang berjalan.

Budaya politik dalam sebuah masyarakat dipengaruhi beberapa hal, seperti sejarah perkembangan sistem, agama, status sosial, konsep kekuasaan, hingga kepemimpinan. Para ilmuwan politik yang sangat berperanan dalam mengembangkan teori budaya politik (political culture), seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W. Pye telah merintis sebuat riset tentang keterkaitan (interlinkage) antara budaya dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai budaya masyarakat di pihak lain. Budaya politik  merupakan cerminan sikap khas masyarakat terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap terhadap peranan masyarakat di dalam sistem politik. Oleh karenanya, ia tidak lain dari orientasi psikologis terhadap obyek sosial— dalam hal ini sistem politik, yang kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif (pemahaman dan keyakinan), afektif (ikatan emosional/perasaan) dan evaluatif (penilaian). Budaya politik juga merupakan rangkaian kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang berkaitan dengan kehidupan politik. Ia pada hakikatnya merupakan lingkungan psikologis tempat kegiatan-kegiatan politik berlangsung yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima sejumlah nilai dan norma lainnya. Dalam derajat yang tertinggi, budaya politik umumnya akan dapat membentuk aspirasi, obsesi, preferensi dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh perubahan politik. Dengan sikap dan orientasi seperti itu, plus determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius), akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda di berbagai daerah.

Jika kita ikuti tipologi Budaya Politik Almond dan Verba, maka di masyarakat akan kita jumpai setidaknya 3 (tiga) tipe budaya politik, yaitu masyarakat dengan budaya politik parokial (parokhial), kawula (subjective), dan partisipan (participant). Di dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya sangat didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif,  akan membentuk budaya politik parokial. Masyarakat sama sekali tidak menyadari untuk apa mereka melakukan kegiatan politik. Kesadaran koginitif politiknya terbatas pada pengetahuan bahwa kekuasaan politik memang ada dalam masyarakat dan keikutsertaannya lebih banyak karena mobilisasi, solidaritas atau ikut-ikutan (orag Bali bilang milu-milu tuung). Masyarakat yang mempunyai kecenderungan sikap dan orientasi politik dengan karakteristik yang bersifat afektif, akan membentuk budaya politik yang bersifat kawula. Masyarakatnya cenderung bersifat “nrimo” karena merasa tak mampu mengubah tatanan politik yang sudah ada, sehingga tiada jalan lain baginya kecuali patuh, setia dan mengikuti segala instruksi serta anjuran pemimpin politiknya. Sedangkan, masyarakat yang sangat dominan memiliki kompetensi politik yang tinggi,  warga masyarakatnya mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang sedang berjalan, akan membentuk  budaya politik  partisipan. Masyarakat sudah mulai melibatkan diri secara intensif dalam berbagai kegiatan politik. Mereka bisa merupakan anggota aktif ormas atau parpol atau anggota masyarakat biasa yang dapat menilai dengan penuh kesadaran, baik sistem politik sebagai totalitas, masukan atau keluaran kebijakan pemerintah maupun posisi dirinya sendiri dalam berpolitik.

Terbentuknya budaya politik lokal tersebut pada dasarnya melibatkan tahap penyerasian antara budaya politik masyarakat lokal dengan struktur politik nasional. Budaya politik lokal yang sudah kukuh, karena telah ada jauh sebelum masa kemerdekaan, akan diserasikan dengan struktur politik nasional yang baru tumbuh dan berkembang semenjak kemerdekaan. Berbagai wujud budaya politik lokal pada dasarnya cukup mencerminkan hubungan suatu daerah dengan pengaruh dari luar. Budaya politik lokal bisa hard culture atau “berwatak keras” yang melahirkan daerah yang tertutup terhadap pengaruh nilai-nilai dari luar, sekali pun nilai-nilai tersebut belum tentu bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ada. Sebaliknya, budaya politik lokal  bisa bersifat soft culture atau “berwatak lunak” yang lebih bersifat terbuka, karena lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat yang mempunyai nilai yang berbeda.

Budaya Politik Masyarakat Bali

Budaya politik masyarakat Bali, sebagaimana umumnya masyarakat lokal di Indonesia sampai dengan saat ini masih bercorak parokial di satu pihak dan kawula di pihak lain. Sebagian besar masyarakat pedesaan Bali masih tertinggal dalam hak dan kewajiban politiknya akibat pengalaman politik masa lalu seperti imperialisme, feodalisme dan patrimonialisme. Hanya sebagian kecil elit politik dan masyarakat perkotaan yang sudah memiliki budaya politik partisipan, karena ditopang oleh kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Budaya politik tersebut sedikit banyak akan memengaruhi masyarakat Bali dalam kesehariannya memposisikan diri dalam relasi-kuasa negara sebagai basis kekuatan dan kemandiriannya.

Sejatinya mayoritas sifat dan karakter manusia Bali  adalah terbuka, ramah dan luwes, jujur, kreatif dan estetis, kolektif, kosmologis, religius, dan moderat. Namun, masyarakat Bali yang berada di tengah perubahan sosial dan budaya di bawah pergeseran struktur sosial diliputi perkembangan sosial dan budaya yang kurang terkendali dan berhadapan dengan arus global yang deras dan intensif, akan memberikan tantangan dan tekanan yang kuat pada sifat dan karakter orang Bali (Naya Sujana, 1994). Beberapa manifestasi empirik corak budaya politik masyarakat Bali muncul dalam situasi dan kondisi seperti itu, antara lain: Pertama, corak budaya politik masyarakat Bali dalam perspektif diakronik tidak terlepas dari praktek politik dengan nuansa kekerasan. Hal ini tampak pada jejak sejarah  Hak Tawan Karang di masa invasi Belanda ke Bali, pembunuhan massal anggota PKI dalam Tragedi G 30 S/ PKI 1965 (Robinson, 2006), amuk massa disertai pembakaran fasilitas umum akibat kegagalan Megawati Soekarnoputeri meraih kursi Presiden RI tahun 1999, kasus kasepekang (pengucilan) dan peristiwa penutupan beberapa ashram oleh prajuru (pengurus) Desa Adat untuk menghentikan aktivitas kelompok yang dianggap anggota “sampradaya”, beraneka riak-riak konflik internal dalam berbagai kasus adat hingga aksi intimidasi oleh sebuah organisasi masyarakat terhadap acara PWF (The People’s Water Forum) yang digelar sejumlah aktivis di Bali, yang kemudian dianggap sebagai bukti  upaya memberangus kebebasan berpendapat.

Kedua, masyarakat Bali yang cenderung bercorak “soft culture’ telah mewarisi nilai-nilai budaya politik dan demokrasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat seperti: tatas, tetes (kehati-hatian dalam bertindak); tat twam asi (toleransi tanpa menonjolkan perbedaan); paras-paros (saling memberi dan menerima pendapat orang lain); salunglung sabayantaka (bersatu teguh, bercerai runtuh); merakpak danyuh (perbedaan pendapat tidak menghilangkan persahabatan). Namun, masih ada gap antara das sollen dan das sein sehingga aneka konflik laten dan manifest terkadang masih muncul ke permukaan. Konflik antara kelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus misalnya, sampai saat ini masih terjadi. Kelompok homo-aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar kelahiran (keturunan). Di pihak lain, kelompok homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awal dikenal sebagai konflik “kasta” (walaupun secara akademis istilah ini kurang tepat). Begitu juga konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dengan Hindu modern-humanistik. Sudah tampak pertentangan (setidaknya terjadi polemik di media sosial) antara penganut Hindu tradisi/ dresta Bali, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan adat Bali, dengan Hindu modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep ‘back to Veda’ yang dalam bahasa sehari-hari sering dicap sebagai  ‘aliran baru’ atau ‘sampradaya asing’ yang bermuara pada dualisme PHDI Bali yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih, yang kemudian berkembang dengan kristalisasi indikator kontemporer sebagai determinan dualisme PHDI Pusat versi MLB (PHDI Pemurnian) dan PHDI versi WBT yang belum bisa diselesaikan hingga saat ini.

Ketiga, ada pola kontinuitas dari orientasi aliran dalam budaya politik masyarakat Bali (Pramana, 2015:71) yang mendukung Partai Nasional Indonesia (PNI) pada masa pemerintahan Orde Lama, Golongan Karya (Golkar) pada masa pemerintahan Orde Baru, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan pada masa Reformasi. PDI Perjuangan dilihat sebagai inkarnasi PNI pasca hegemonik Golkar pada masa Orde Baru, yakni dengan cara menekankan kedekatan Megawati Soekarnoputri dengan masyarakat Bali. Sebagai putri Proklamator Soekarno, Megawati Soekarnoputeri berhasil mendorong pilihan masyarakat Bali kepada PDI Perjuangan. Meski demikian, pilihan di tingkat lokal menunjukkan pola pilihan di tingkat nasional, sehingga konfigurasi politik lokal Bali kebetulan atau tidak seperti “mengikuti” konfigurasi politik nasional. Isu dan kampanye di tingkat nasional memengaruhi pola pilihan di tingkat lokal. Begitu pula dari hasil beberapa kali penyelenggaraan pemilu ada kecenderungan pilihan politik masyarakat Bali kepada partai politik dengan orientasi nasionalis sekuler. Sebagai masyarakat penganut Agama Hindu yang tergolong kelompok minoritas di Indonesia, masyarakat Bali berkepentingan untuk mendukung partai politik yang akan memperjuangkan aspirasi dan menjamin eksistensi masyarakatnya. Tampaknya masyarakat Bali menyadari urgensi memiliki representasi dalam pemerintahan.

Keempat, budaya politik masyarakat Bali masih bercirikan politik patrimonialisme, yang merupakan peninggalan masa lalu yakni hubungan patron dan klien yang bersifat personalistik, paling tidak dalam relasi pemerintah daerah dan pemerintah atau elit politik pusat. Dalam politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi oleh kedigdayaan sang patron yang karismatik. Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan tak berimbang. Bandul pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron ketimbang sang klien. Pola relasi di antara keduanya bersifat menekan ke arah sang klien, bukan sebaliknya. Pola relasi semacam ini hanya ada dalam tradisi birokrasi tradisional ketimbang birokrasi modern yang mengandaikan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan-akuntabel (Crouch, 1978). Dalam realitanya bargaining position masyarakat dan pemerintah daerah Bali menjadi sangat lemah ketika harus berhadapan dengan pemerintah atau elit politik pusat. Kasus pembatalan penyelenggaraan Piala Dunia U20 dan Bandara Bali Utara bisa menjadi indikasinya. Politik patrimonialisme ini pada gilirannya akan memengaruhi tata kelola pemerintahan yang lebih didasarkan pada hubungan personal sehingga penunjukan pejabat pemerintah dan pemberian hak ditentukan oleh kekuasaan personal yang dalam beberapa kasus lebih didasarkan patronase atau nepotisme ketimbang sistem meritokrasi. Fakta-fakta ini sudah membudaya dan tak  bisa dibantah. Untuk membangun sistem meritokrasi, sangat dibutuhkan literasi politik yang terus-menerus di kalangan masyarakat sampai suatu saat nanti masyarakat benar-benar melek politik dengan munculnya budaya politik partisipan. *) Penulis, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, Magister Administarsi Publik dan Ketua Pusat Kajian Pancasila Universitas Warmadewa, Denpasar.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email