Nyepi Mengajarkan Hidup Damai

Pawai Ogoh-ogoh, sehari sebelum Hari Raya Nyepi

Oleh : Aji Kuru Jimbar Kepakisan, Gianyar *)

Semakin hari semakin beragam persoalan hidup yang kita hadapi dan harus dipahami, dilewati serta diselesaikan. Tak ada seorang pun yang hidupnya tanpa persolanan. Apakah persolan keluarga, persoalan di lingkup masyarakat maupun masyarakat dunia. Bahkan saat ini, orang menghadapi persoalan dengan saudara kandung yang bermusuhan, umat seagama bermusuhan, apalagi sesama politikus, satu partai rentan bermusuhan. Pertanyaannya : Mungkinkah kebahagiaan itu akan dicapai di balik begitu banyaknya konflik dan persoalan hidup?

Didalam Sarasamuccaya Smerti Nusantara, 474 (211) “Arthamsca durlabhamlloke klecamsca sulabhamsthatha, dukham caiwa kutumbartham yah pasyati sa musyate”. Dalam bahasa kawi “Lawan ta waneh, ike sang menget ring telu, awaking telu, nyan durlabhaning arta, sulabhaning klesa, duhkaning mangraksa kutumba, nahan tawakning telu, sang yatra ri kalocitanika, sire tika luput kepasa”. Artinya tiga persolan hidup yang perlu diselesaikan yang pertama adalah Durlabaning Artha (persoalan untuk memperoleh harta). Menurut I Ketut Wiana, (2013.142), negara dalam mendanai penyelenggaraan pelayanan pemerintah mengurusi kepentingan publik untuk mengatasi kesulitan mendapatkan uang, maka rumuskanlah hidup ini dengan rational berdasarkan kenyataan. Lebih lanjut dikatakan, hiduplah berdasarkan fungsi, jangan gengsi gede-gedean, agar tak menimbulkan biaya hidup tinggi. Wiana menulis, sangatlah dilarang memperoleh tiga jenis uang yaitu Anyaya Artha, uang hasil kekerasan, Apari Klesa Artha (uang hasil penggelapan) dan Artha Saking Kasembahing Satru yaitu uang hasil sogokan lawan. Yang kedua adalah Sulabhaning Klese (masalah yang mengotori hidup). Yang termasuk mengotori hidup antara lain Panca Klesa di antaranya Awidya yaitu Peteng Pitu, tujuh kegelapan, lemahnya pengetahuan kerohanian/spiritual. Ketiga adalah Duhkaning Mengraksa Kutumba (persoalan hidup dalam persoalan sulitnya menjaga persaudaraan). Jika disimak ketiga persoalan hidup dalam sarsamuccaya tersebut, maka ini termasuk persoalan hidup mendunia yang patut mendapatkan perdamaian.
Perdamaian itu diwujudkan dengan merenungkan pesan-pesan yang terkandung dalam Hari Raya Nyepi. Hari Raya Nyepi memiliki kaitan historis dengan peristiwa perdamaian dunia yang diwujudkan oleh salah seorang maharaja dari Dinasti Kushana. Menurut I Ketut Donder, dkk. dalam bukunya Teologi Sosial (2009), pada setiap Hari Nyepi, umat Hindu di mana pun berada, melakukan napak tilas spiritual melalui perenungan terhadap kebijaksanaan maharajadiraja Kanishka I. Kalimat penting yang digerakkan keseluruh dunia dalam pemerintahan Maharajadiraja Kanishka I adalah “Perdamaian”. Hal ini dibuktikan bahwa Maharajadiraja Kanishka I, sebagai sesepuh pengajaran dan pendidikan. Dalam bukunya Nyoman S. Pendit berjudul Nyepi kebangkitan, toleransi dan kerukunan (2001), sejarah manusia besar seperti Kanishka I membuktikan tindakannya sebagai penguasa sekaligus panutan. Walaupun taat memeluk Agama Hindu, ia tidak menjadikan Agama Hindu sebagai dasar dan falsafah negara.

Aji Kuru Jimbar Kepakisan

Banyak peristiwa terjadi sejak era reformasi 21 Mei 1998 hingga sekarang. Berbagai peristiwa bersejarah terjadi seperti pandemi Covid 19 yang mendunia. Sesuai data pemerintah, penduduk Hubei berusia 55 tahun orang pertama dengan covid-19 pada tanggal 17 Nopember 2019 hingga sekarang belum ada kepastian apa sebab dan penyebab Covid-19 itu melanda dunia. Covid-19 memberi korelasi yang sangat signifikan melumpuhkan pergerakan di segala bidang. Mulai dari Bidang ekonomi yang mempengaruhi seluruh lini yaitu keamanan, sosial, agama, pendidikan, sikap mental, etika, budaya, pariwisata,ras, suku. Ada juga peristiwa ketidakpahaman Rekonsiliasi Politik sehingga dalam pelaksanaannya menyimpang menjadi tidak adanya pemerintah, undang-undang, peraturan atau ketertiban, kekacauan di suatu negara (anarkis). Rekonsiliasi politik seharusnya menciptakan hubungan persahabatan yang harmonis, berperikemanusian sehingga mencipkan perdamaian abadi dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Rekonsiliasi seharusnya menciptakan stabilitas keamanan negara agar tercipta rasa aman dan sejahtera (Raksanam dan Danam). Menyaksikan peristiwa-peristiwa kontroversi yaitu suatu pertentangan perbedaan sikap, yang berupa perdebatan terhadap sebuah masalah yang bertentangan yang memiliki dua sisi yang berlainan yang bisa memicu konflik berkepanjangan tersebut. Oleh karenanya, pesan-pesan moral yang ada di Hari Raya Nyepi menarik dan bagus dipahami dan dilaksanakan. Lebih lanjut menurut Ketut Donder, sejarah yang menguraikan kebijaksanaan maharajadiraja Kanishka I, memiliki kaitan dengan perayaan Nyepi yang berupaya mewujudkan kesadaran teologi setiap orang. Bahwa melalui perayaan Nyepi itu timbul rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena dalam perayaan Nyepi selain ikut sertanya rakyat atau masyarakat sosial juga terkandung maksud untuk terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai luhur yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas craddha (iman) dan bhakti (taqwa).
Dalam Catur Brata Penyepian ada pesan yang sangat dalam (intrinsik). Pertama, Amati Gni, terkandung sifat Triguna yaitu sifat rajas yang menggebu. Sifat panas bagaikan api inilah perlu dikendalikan agar tidak disalahgunakan. Jika salah menggunakan fungsi api, ia bisa membakar seluas luasnya. Demikian pula hati yang panas bisa membakar perasaan orang lain bahkan tubuh sendiri bisa terbakar (sakit). Kedua Amati Karya adalah batas ruang dan waktu beraktivitas bertujuan merenungi arti kehidupan dalam sehari. Introspeksi diri. “Adiyus tekeng we sewai pang satus alah dening amrayascita tekening dama” (mandi dengan air sehari sepuluh kali belum tentu bersih, tetapi lebih bersih jika membersihkan diri dengan mulat sarira (introfeksi diri). Ketiga, amati lelungaan, tidak bepergian ke luar rumah. Saat ini amati lelungaan memiliki arti jauh maju ke depan. Sangat relevan dengan munculnya Covid 19 yang mendunia. Kenapa demikian, karena adanya anjuran pemerintah agar seluruh warga dunia tinggal di rumah membatasi ke luar rumah untuk menjaga kesehatan, gunakan masker, mencuci tangan, jangan ke luar rumah. Karena itulah Hari Raya Nyepi pantas diakui pemerintah sebagai hari libur Nasional. Hari Raya Nyepi memberikan kontribusi terhadap keselamatan dunia dan masyarakat (Ksayan Ikang Papa, Nahan Prayojana). Keempat, Amati Lelanguan, rasa gembira yang berlebihan yang penuh hiburan duniawi, yang terkadang merugikan diri-sendiri dan orang lain atas kekeliruan yang diperbuat. Pada Hari Raya Nyepi, umat Hindu harus berkontemplasi, intropspeksi diri, menyepikan diri agar menjadi hening secara rohani. Selain memenuhi kebutuhan jasmani dengan materi, rohani juga membutuhkan perenungan (spiritual). Proses kehidupan selama setahun menuju pergantian tahun ke tahun baru Caka setiap bulan Maret salah satu harinya disebut Hari Nyepi. Pada hari Nyepi inilah umat Hindu merenungkan proses kehidupan dengan memahami pemerintahan Maharajadiraja Kanishka adalah “Perdamaian”. Disamping pesan-pesan penting Catur Brata Penyepian. Dijelaskan lebih lanjut oleh Nyoman S. Pendit, didalam risalah tradisional Tibet dan Cina, Maharajadiraja Kanishka I dilukiskan sebagai “Monarki” (kerajaan) berasal dari kata Yunani monos yang artinya satu, dan archein yang berarti pemerintah. Jadi pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa atau monarki, sistem pemerintahan kerajaan merupakan sistem tertua di dunia. Keagungan dan kekuasaan serta kemasyuran Maharajadiraja Knishka I tercatat dalam literatur keagamaan. Dia terkenal sampai ke seluruh Asia Barat, Asia Tengah, Tibet dan Asia Timur. Suatu hal yang sangat penting Kanishka I menobatkan era Saka-kala sebagai tahun penanggalan resmi kerajaanya, yang tahun barunya jatuh pada Tilem sasih ke-9 (Kesanga) seperti yang ditradisikan oleh Wangsa Saka sejak tahun 78 SM. Tradisi Sakakala (tahun saka) di Bali jatuh pada bulan Maret (Sasih Kesanga). Kata “Perdamaian” dari Maharajadiraja Kanishka I adalah sebuah misi yang menginspirasi semua umat manusia khususnya umat Hindu yang perlu dicatat dengan tinta emas.
Pesan saya, pada setiap Hari Raya Nyepi, mari kita heningkan jasmani dan rohani sebagaimana saran Kinirdon (1988) tentang ilmu kerohanian “Aji Ning Hening” dengan tokoh-tokoh burung “Kumutang Mahatma Tapa-Tapa Cutul, Suci Cetta-Cetta Ucapan Ring Aji, Aji Ning Hening Hane Heneng ginego, Apawargga Margga Mapageh Gineneng”. Artinya “ terlebih lagi-lagi mereka yang berjiwa besar dan sudah berusia lanjut sengaja menyiapkan diri untuk bertapa (pengendalian diri), berhati suci dan menghayati ajaran agama, melaksanakan ilmu kesucian (Aji Ning Hening) dan berjiwa tenang (heneng) dengan tetap hati melaksanakan ajaran menuju alam kesucian itu. (* Penulis, Aji Kuru Jimbar Kepakisan, pemerhati seni, sosial, budaya).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email