Direktorat Jenderal Bimas Hindu Kementerian Agama RI mendorong visi-misi pemerintah tentang literasi dan moderasi beragama di kalangan umat Hindu di Indonesia guna membangun kehidupan beragama yang harmonis di tengah keberagaman. Literasi dan moderasi beragama ini dipandang sangat strategis dan penting guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tatkala menghadapi gejala intoleransi di Indonesia yang beragam suku, ras, agama dan antar golongan.
Berkenaan dengan itulah Dirjen Bimas Hindu, Dr. Tri Handoko Seto, S.Si, M.Sc mengudang para tokoh Hindu di Indonesia dan para pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI guna menghadiri rapat koordinasi pejabat di lingkungan Ditjen Bimas Hindu dan para tokoh umat Hindu di Jakarta beberapa waktu lalu. Rapat koordinasi tersebut yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Hindu Tri Handoko Seto dan sejumlah tokoh Hindu dari berbagai organisasi seperti Ir. I Ketut Parwata (Parisada Hindu Dharma Indonesia/PHDI); Drs. Agus Wijaya, S.Pd, S.Ag, M.M, M.Si (Ikatan Dosen Hindu Indonesia); KS Arsana, S.Psi (Prajaniti); Ketut Budiasa, S.T, M.M (Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia/ICHI); Pinandita Drs. I Wayan Sudiarsa, M.M (Pinandita Sanggraha Nusantara/PSN); Nani Ludiana Riandika Mastra, S.E (Wanita Hindu Dharma Indonesia/WHDI);; I Putu Yoga Saputra (Kesatuan Mahasiswa Hidu Dharma Indonesia/KMHDI), Supriyanto, S.Pd.H (Majapahid), Dr. Tiwi Susanti (Pandu Nusa) dan Ir. Ketut Darmika (Paiketan Krama Bali) dan Ida Bagus Ketut Susena, S.Kom (Puskor Hindunesia). Rakor tersebut berhasil merumuskan moderasi beragama umat Hindu di Indonesia sebagaimana berikut ini.
RUMUSAN MODERASI BERAGAMA
UMAT HINDU INDONESIA
Indonesia adalah negara dengan suku bangsa, agama, dan kepercayaan yang beragam. Bila keberagaman tersebut tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan konflik di antara warga negara maupun antarkelompok dan pemeluk agama. Gejala intoleransi yang mulai mengemuka perlu mendapat perhatian serius agar tidak merusak semangat persatuan dalam keberagaman. Pengamalan nilai-nilai agama secara baik bagi seluruh umat, yang disertai penghargaan dan penghormatan atas perbedaan, diharapkan dapat menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dilindungi dan dijamin oleh undang-undang. Namun demikian, kebebasan tidaklah bersifat mutlak, melainkan harus ditempatkan dalam koridor penghargaan dan penghormatan atas perbedaan. Karenanya, moderasi beragama adalah kebutuhan kita bersama. Moderasi beragama berarti cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemanfaatan umum – berdasarkan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bangsa. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalankan ajaran agamanya, sehingga tidak timbul potensi melanggar hak beragama dan berkeyakinan dari orang lain.
Bahwa keyakinan beragama adalah hubungan personal antara seseorang dengan Tuhan yang diyakininya. Dengan demikian, ekspresi atau pilihan jalan spiritual seseorang tidak dapat dibatasi. Upaya penyeragaman, pemaksaan tafsir, dan praktik beragama selain bertentangan dengan konstitusi juga bertentangan dengan esensi kebebasan dan jalan spiritual yang diyakininya.
Dalam ajaran Hindu terdapat 6 aliran filsafat (Sad Darśana), satu di antaranya adalah Vedanta Darśana. Vedanta Darśana (filsafat Wedanta) kemudian melahirkan 3 (tiga) aliran yaitu Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita. Ketiga aliran ini telah diperdebatkan oleh filsuf-filsuf utama Hindu seperti Madhva, Ramanuja, dan Sankara. Mereka telah memberi teladan dengan berdebat tanpa kehilangan rasa hormat, apalagi kehendak saling menihilkan. Pengakuan terhadap perbedaan itu justru menjadi ciri khas yang menunjukkan keagungan, kebesaran, dan keindahan Hindu.
Umat Hindu berkewajiban menjaga keseimbangan 3 (tiga) kerangka dasar agama Hindu, yaitu: Tatwa (filsafat/hakikat Kebenaran), Susila (etika dalam sikap dan perilaku), Acara (ritual, praktik keagamaan). Ketiganya merupakan aspek dasar yang merupakan kesatuan integral dan saling terkait. Jika dijalankan secara seimbang akan menemukan Kebenaran (Satyam), menghasilkan perilaku mulia (Siwam), dan diekspresikan ke dalam ritual yang indah (Sundaram).
Kearifan Hindu di Nusantara merupakan keindahan dan sekaligus kekuatan untuk mengokohkan persatuan Hindu. Dengan demikian diharapkan dapat mendorong pemahaman, penghormatan, pelestarian, dan pengembangan kearifan Hindu di Nusantara. Semua individu, organisasi, aliran, dan kelompok mana pun hendaknya menghormati kearifan Hindu di Nusantara baik dalam praktik keagamaan, tradisi, budaya, maupun konsep Ketuhanan. Kearifan Hindu di Nusantara hendaknya juga diaktualisasikan baik dalam praktik ritual, pola pikir maupun perilaku yang terbuka dan toleran.
Bahwa tafsir keagamaan Hindu merupakan wewenang Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu. Seluruh umat Hindu wajib memberi penghargaan tinggi dan menggunakan Ketetapan Mahasabha, Bhisama, Keputusan Pesamuan Agung dan Sabha Pandita serta kebijakan Parisada yang diputuskan bersama sebagai acuan berpikir, berkata, bersikap, dan bertindak.
Agama memberikan inspirasi yang mendorong kehidupan menjadi lebih mulia dan berkualitas baik dari segi kemanusiaan maupun spiritualitas. Kualitas kehidupan beragama niscaya mampu meningkatkan semangat persaudaraan, kerukunan, dan toleransi. Oleh karena itu, dalam hal terdapat perbedaan tafsir keagamaan agar diselesaikan melalui dialog dengan semangat keterbukaan, kekeluargaan, cinta kasih, saling menghormati dan menghargai, dengan dilandasi kerendahan hati.
Umat Hindu sebagai warga negara Indonesia wajib tunduk pada hukum dan konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai wujud Dharma Negara. Dalam hal terjadi pelanggaran dalam praktik kehidupan beragama maka penyelesaian melalui dialog dengan semangat kekeluargaan harus menjadi pilihan pertama dan utama sebelum menempuh jalur hukum. Langkah-langkah penyelesaian konflik hendaknya menghindari kekerasan baik dalam bentuk ujaran maupun tindakan (*).