Oleh : I Ketut Puspa Adnyana, Kendari
Om Swastyastu. Om awighnam astu nama siddham. Om Om Sembah kepada Leluhur, Sesuhunan Ida Bhatara, Sembah sujud kepada Hyang Parama Kawi. Puja dan puji kepada para Rsi Agung, para Rsi di masa lampau yang telah meletakkan kehinduan di bumi nusantara dan jagad raya. Nunas pangampura mangde tan keneng dening upradawa. Om Santih lan rahayu.”
Pengantar
Makna kehidupan menurut Ajaran Veda adalah “dharmasya moolan arthah” memperoleh dan mengumpulkan harta kekayaan dengan jalan kebenaran (dharma). Kekayaan itu banyak macamnya, bukan sekadar harta benda berupa emas, permata batu mulia, tanah dan lainnya, juga hasil cipta dan karsa. Karena itu Hindu menganjurkan umat manusia untuk mengumpulkan harta kekayaan agar lebih kuat dalam MELAYANI sesama dan makhluk hidup lainnya, yang dikemas dalam filosofi Tri Hita Karana.
Dalam RgVeda disebutkan “kumpulkan harta kekayaan dengan seratus tangan dan dermakan harta kekayaan dengan seribu tangan”. Karena kita hidup di bumi, Sarasamuscaya menyebutkan: “orang yang mulia adalah orang yang memiliki pengetahuan suci, namun orang yang berharta dan berpengetahuan suci lebih mulia”.
Kedua sesanti tersebut menganjurkan agar umat manusia tekun pada tiga hal, yaitu: (1) mengumpulkan harta (sekala); (2) mempelajari dan tekun melakukan penelitian batin (niskala), dan (3) punia atas pengetahuan dan harta kekayaan kepada yang berhak (sevadharma). Pelaksanaan (1) dan (2) ini dalam ajaran Hindu disebut dengan penerapan Paravidya dan Aparavidya yang hasilnya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan kepentingan spiritual. Hasilnya adalah (3) punia atau PELAYANAN. Pada akhirnya, seseorang ketika “PULANG” pasti membawa hasil-hasil yang bersifat spiritual, sementara semua harta fisik (sekala) ditinggalkan, berapa pun nilainya. Pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan disebutkan sebagai dharma tertinggi (Bhakti Yoga). PELAYANAN yang membekas di dunia ini (sekala) akan dikenang dan menjadi pendorong pada kelahiran berikutnya menjadi lebih baik (dalam konsepsi Ajaran Veda, orang Hindu dapat merencanakan kelahirannya menjadi apa).
Namun demikian, dalam perjalanan hidup beragama, meskipun sudah jelas tuntunannya, selalu ada masalah yang harus diselesaikan untuk tujuan membangun harmoni sosial (sejak adanya peradaban memang begitu). Jadi, masalah, konflik, penyangkalan bahkan kejahatan adalah hal biasa. Karena, itu bukan barang aneh yang dihindari dan sekaligus sebagai penanda kehidupan sedang berjalan.
Lembaga yang diberi wewenang dalam ajaran Veda untuk menyelesaikan masalah keagamaan disebut parisadyam sebagaimana dapat dibaca pada Manawa Dharmasastra Adhyaya XII Sukta 110-114. Parisadyam ini di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia atau “Parisada” saja. Lembaga ini adalah Lembaga Tertinggi Agama Hindu, partner pemerintah dalam pembinaan Agama Hindu dan Umat Hindu. Karena kedudukannya sebagai lembaga tertinggi, maka semua lembaga-lembaga bernafaskan Hindu dibina dan diayomi Parisada, baik tertulis dalam AD/ART, lembaga bernafaskan Hindu atau pun tidak. Sederhananya, seseorang yang identitasnya sebagai pemeluk Agama Hindu berhak dibina dan diayomi oleh Parisada.
Kini Parisada dihadapkan pada upaya “pemurnian” oleh sekelompok umat Hindu yang mencintai perkembangan Hindu. Upaya “pemurnian” ini, karenanya, menimbulkan pro-kontra dan tanda tanya (?). Bulan Oktober 2021 akan dilangsungkan perhelatan besar umat Hindu yaitu Mahasabha Parisada Hindu Dharma Indonesia. Mahasabha telah didahului oleh Pesamuhan Agung (PA) sesuai AD ART, 31 Juli sampai dengan 1 Agustus 2021 lalu.
Ajang perhelatan besar, berkarakter dan bermartabat inilah yang menentukan kemana arah dan masa depan Parisada. Karena itu kelompok mana pun pasti rugi kalau tidak memberikan masukan yang smart seiring cerminan/aspirasi kebutuhan umat. Bila ada kelompok atau individu mangkir, apalagi menurut AD/ART wajib memberikan penilaian dan masukan, tentu saja rugi besar baginya. Adanya tuntutan perbaikan atau istilah mereka “permurnian” dalam ajang inilah tempatnya yang terhormat.
Parisada telah mengeluarkan Surat Pencabutan Pengayoman kepada ISKCON atas perintah Pesamuhan Sabha Pandita. Perlu diperjelas, ini bukan pencabutan Pengayoman Sampradaya. Namun, Pesamuhan SP juga merekomendasikan agar dalam AD/ART nantinya pengayoman sampradaya tidak disebutkan dan digantikan dengan koordinasi kelembagaan (saya usulkan tambahan konsultasi dan asistensi) yang akan dibahas dalam Mahasabha, Oktober 2021 (yang mungkin daring atau luring, bergantung kebijakan pemerintah terkait Pandemi Covid-19).
Filsafat Dalai Lama dan Leonardo Boff
Dalam Ajaran Veda, khususnya menyangkut konsepsi Kalpa, dikenal apa yang disebut Manwantara. Manwantara terdiri atas 71 Mahayuga dan 1 Kalpa terdiri atas 14 Manwantara. Masa sekarang ini adalah Manwantara 7. Sedangkan 6 manwantara sudah lewat dan masih ada 7 manwantara di depan untuk mencapai 1 Kalpa.
Dalam konsepsi Mahayuga dikenal istilah Catur Yuga yang terdiri atas: Satyayuga, Tretayuga, Dwaparayuga dan Kaliyuga. Perputarannya: mulai dari Satyayuga menurun ke ->Tretayuga-> Dwaparayuga->Kaliyuga -> masa penyesuaian terus naik ke -> Dwaparayuga paruh ->Tretayuga -> Satyayuga. Perputaran lengkap mahayuga ini membutuhkan waktu sekitar 12.000 tahun dewa atau 4.320 tahun manusia.
Dalai Lama (DL) spiritualis dan pemimpin Tibet adalah seorang yang berada pada papan atas bila menyebut tentang orang-orang yang telah tercerahkan. Banyak ulasan yang menakjubkan mengenai Dalai Lama, terutama bagi penekun spiritual. Dalai Lama dapat disebut sebagai mewakili masa Satyayuga (kebenaran 100%). Sementara itu Leonardo Boff (LB) adalah seorang dari kelompok “The Theology Of Freedom” dari Brazilia. Tentu saja sebelum berkomunikasi dengan Dalai Lama, Leonardo Boff telah mempunyai cara pandang atau persepsi subyektif sebagaimana pada umumnya manusia: “bahwa setiap pemeluk agama tertentu selalu memandang agamanya yang terbaik”. Leonardo Boff dapat disebut kaum yang mewakili masa Kaliyuga (kebenaran 25%).
Namun Leonardo Boff terperangah, mendapat jawaban Dalai Lama atas pertanyaannya: “Yang Mulia, agama apakah yang terbaik di dunia?”. Leonardo Boff menduga jawaban Dalai Lama: “Agama Buddha dari Tibet”. Sambil tersenyum, Dalai Lama menjawab: “Agama terbaik yaitu agama yang membuat anda menjadi lebih baik”.
Sanatana Dharma yang bersifat universal untuk seluruh umat manusia sebagai ajaran Veda mengajarkan bahwa sangat penting terus memahami dan mengimplementasikan sesanti Vasidewa Kuthumbakam : ”Kitorang besaudara” (kita semua bersaudara). Dalai Lama telah menyebutkannya.
Sungguh sesanti ini bukan saja berlaku untuk Suku Bali yang menganut Drestha Bali, tetapi juga diaspora Suku Bali di mana pun berada dan seluruh PEMELUK HINDU dan umat manusia di muka bumi. Persaudaraan adalah hakikat kehidupan yang merupakan keniscayaan dalam seluruh pergaulan sosial manusia. Dasar pemikiran tentang persaudaraan ini mengantarkan manusia pada hakikatnya, meskipun mereka sudah masuk pada kelompok terakhir Catur Asrama: bhiksuka/sanyasin.
Apanya yang Dimurnikan?
Keputusan tertinggi ada pada Mahasabha PHDI. Pada ajang terhormat yang dilakukan lima tahun sekali tersebut, kinerja Parisada dipertanggungjawabkan oleh Pengurus Harian. Kemudian diterima atau tidak pertanggungjawaban itu, bergantung dari pernyataan “menerima atau menolak” dari Parisada Daerah Provinsi. Indikatornya adalah pelaksanaan “perintah” dari Pesamuhan Agung dan Mahasabha. Tidak disebutkan seberapa besar “perintah” dilaksanakan dikatakan diterima atau ditolak. Selama ini dalam setiap Mahasabha, faktanya, penilaian terhadap kinerja Parisaa dilakukan secara kualitatif dan lebih pada kemakluman. Bahwa para pengurus Parisada melaksanakan pengabdian (ngayah) sehingga tidak elok kalau orang yang sudah bersusah payah “ngayah” dibebani lagi dengan penilaian yang buruk. Hal ini sudah berlangsung sejak adanya Mahasabha.
Itulah sebabnya kalau membicarakan organisasi keagamaan, maka pedomannya adalah kemartabatan yang berasal dari pemahaman dan implementasi tuntunan keagamaan setiap orang. Bila kelak, Parisada telah dikelola berdasarkan Manajemen Modern, tersedia biaya operasional yang memadai, maka indikator kebehasilannya akan jelas yaitu mencapai “Hight Performance Assesment” (Organisasi Berkinerja Tinggi/OBT) sebagaimana dianjurkan para pakar organisasi modern.
Pemurnian Parisada ?
Karena itu, mengapa kemudian ada upaya pemurnian Parisada? Apakah Parisada telah dicemari oleh berbagai “muatan” yang membuatnya tercemar? Dalam negara demokrasi, penyampaian pendapat adalah hak setiap orang berdasarkan koridor ketentuan perundangan-undangan. Namun, dalam kaitannya dengan organisasi Parisada yang merupakan kelembagaan tertinggi agama sesuai yang diamanahkan dalam pustaka Suci Veda, tentu saja usulan dan apa pun bentuknya akan sangat elegan disampaikan di dalam Mahasabha. Bila ada yang “terasa kurang baik” dapat diusulkan melalui perubahan AD/ART. Gerakan “pemurnian” PHDI, dengan demikian, harus berangkat dari AD/ART. Perhelatan agung PHDI yang meliputi Pesamuhan Agung dan Mahasabha harus didukung dan disukseskan oleh seluruh jajaran kepengurusan Parisada dan kelembagaan yang bernafaskan Hindu.
Dewasa ini, Parisada memiliki tiga komponen yaitu: (1) Sabha Pandita (SP); (2) Sabha Walaka (SW) dan (3) Pengurus Harian (PH). Pemimpin dari (1) adalah Dharma Adhyaksa yang memiliki wewenang menegur dan memerintahkan (2) dan (3). Pemimpin (2) adalah Ketua Sabha Walaka sebagai lembaga “think-thanks” yang memberikan pertimbangan kepada (1) dan (3) serta menyiapkan bahan-bahan keputusan dan bhisama (1), dan pemimpin (3) adalah Ketua Umum Pengurus Harian PHDI sebagai lembaga eksekutif yang melaksanakan keputusan-keputusan dalam PA dan Mahasabha.
Terkait dengan apa yang dinarasikan sebelumnya permurnian SDM Parisada harus dikembalikan pada amanat Manawa Dharmasastra Adhyaya XII Sukta 110-114, yang mengatur siapa yang dipersyaratkan duduk sebagai lembaga parisadyam.
Dalam perkembangannya sejak dibentuknya Parisada terdapat kendala-kendala teknis dengan perkembangan organisasi dan pemerintah, tentu saja berkaitan dengan Sesana Kepanditaan. Untuk melaksanakan tugas-tugas seremonial yang terkait dengan hubungan pemerintahan dan kemasyarakatan diperlukan lembaga eksekutif. Parisaa sebagai sebuah organisasi keagamaan tidak mungkin lepas dari aspek-aspek dharma negara yang sangat mungkin pula terkait dengan persoalan hukum (pidana) yang mana seorang pandita sebaiknya tidak berada dalam ruang tersebut.
Jelaslah bahwa berhubungan dengan berbagai hal terkait dengan Parisada, seseorang secara niskala memahami maksud dibentuknya lembaga ini sebagaimana amanah ajaran Veda. Sementara itu secara sekala, setiap masukan yang bermaksud dan berniat memajukan Parisada dapat menempuh dan mengikuti PA dan Mahasabha. Ini artinya, bahwa mekanisme yang ditempuh diluar dari ketentuan tersebut tidak memiliki relevansi yang memadai dan tidak sah.
Penutup
Ajaran Veda menganjurkan dan menuntun agar setiap orang memartabatkan orang lain dan ciptaan Tuhan (sarva prani), intinya PELAYANAN. Seluruh umat Hindu memperoleh manfaat yang besar dari keberadaan Parisada terutama terkait dengan implementasi keagamaan, meskipun secara lahiriah (fisik) lembaga ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengangkat ekonomi umat Hindu karena sesungguhnya tujuannya lebih kepada adalah ke hal-hal yang bersifat keagamaan.
Sungguh dibutuhkan kesadaran yang mendalam untuk menjadikan Lembaga Tertinggi Agama Hindu (Parisada) terus bermartabat dalam melaksanakan tugasnya. Bilamana terjadi kebuntuan komunikasi secara sekala, maka seyogyanya dapat dilakukan pembenahan komunikasi yang lebih baik. Masalah tidak akan pernah selesai jika tidak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Namun, kadangkala dengan mengabaikannya untuk sementara masalah tersebut nampak terselesaikan, namun kelak akan bisa muncul lagi. Semoga Mahasabha PHDI, Oktober 2021 berjalan lancar dan berhasil menyusun program kegiatan yang memenuhi kebutuhan umat Hindu yang dijalankan oleh tokoh tokoh Hindu yang mumpuni pilihan umat Hindu. Om Santih Santih Santih Om (Kdi: 05082021:12.10).