Peluang Lembaga Keagamaan Bermain Tambang:
PHDI Tidak Punya Kompetensi Mengelola Tambang

Jro Mangku Ageng Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP

Oleh : JM Ageng Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP *)

Pengantar

Pemerintah sangat dermawan kepada Lembaga Keagamaan saat ini, dengan memberikan prioritas dalam mengelola Pertambangan Mineral dan Batubara, di wilayah usaha pertambangan prioritas. Tentunya ini sebuah peluang yang bagus untuk menambah pundi-pundi organisasi. Kas yang cukup dalam sebuah organisasi akan dapat membiayai tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga keagamaan dalam kegiatan keumataan sesuai ajaran agama masing-masing. Apa iya, lembaga keagamaan kompeten dalam mengelola tambang?

Guna maksud mendukung maksud baik tersebut Pemerintah telah menerbitkan aspek legalitasnya, yaitu mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2023, yang pada intinya mengatur tata kelola Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini merupakan penjabaran dari Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Jadi sudah sangat formal dan legal. Lalu bagaimana sikap Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dilihat dari perspektif ajaran Hindu?

Pemikiran Filosofis Pertambangan dalam konteks ajaran Veda

Pustaka Suci Nitisastra dan Arthasastra

Apakah mengelola pertambangan dalam ajaran Hindu dilarang? Jawabannya: tidak, asalkan pertambangan mineral itu dalam sekala kecil untuk kepentingan pertahanan negara dalam memperkuat persenjataan dalam negeri (Canakya Niti Sastra). Pustaka Suci Nitisastra adalah pustaka Hindu yang mengajarkan tentang pemerintahan.

Dalam Pustaka Suci Nitisastra dan Arthasastra yang ditulis oleh Rsi Kautilya Canakya bahwa untuk mempertahankan negara dari serangan musuh, negara harus memiliki pabrik senjata dan pertambangan mineral nikel (baja asli). Nitisastra menyebutkan sumber bahan baku senjata tidak boleh tergantung pada negara lain.

Negara tidak perlu menambang mineral untuk ditukar dengan negara lain. Karena lama-kelamaan negera pembeli akan kuat karena persenjataannya kuat. Pertambangan pada masa lalu dilakukan dengan sangat hati-hati dan dirahasiakan lokasinya. Tambang nikel dan emas merupakan tambang yang sangat dirahasiakan. Berdasarkan temuan arkeologi, teknologi penambangan di masa lalu telah mampu membuat tanur peleburan bijih nikel sangat maju dan ramah lingkungan, yang bahkan tidak terpikirkan oleh insinyur pertambangan modern.

Pertambangan modern secara konvensional dengan cara membuka lapisan bumi, yang dilakukan diberbagai belahan bumi termasuk di Indonesia telah terbukti menimbulkan dampak negatif lingkungan hidup yang serius. Orientasi penambangan bukan saja ditujukan untuk upaya pertahanan negara terkait dengan kedauatan dari serangan musuh tetapi untuk memperoleh devisa negara. Kemudian berkembang, di Indonesia, untuk tujuan keadilan yaitu membangun kesejahteraan warga Indonesia sehingga kemudian dikenal Wilayah Izin Usaha Pertambangan Prioritas. Prioritas dimaksukan adalah IUP yang sudah jadi, tinggal dikelola oleh Lembaga Keagamaan.

Kebijakan ini telah menimbulkan pro-kotra di kalangan masyarakat, yang ujungnya ada permohonan Uji Materi terhadap UU Pertambangan Minerba, yang sedang dalam proses persidangan ini, dan mendengarkan keterangan lembaga keagamaan.

Tri Hita Karana

Umat Hindu mendasarkan pada Ajaran Tri Hita Karana terkait dengan pengelolaan ruang yang berdampak pada daya dukung lingkungan hidup. Dalam Ajaran Tri Hita Karana terdapat tiga faktor utama yaitu : 1. Parhyangan; 2. Pawongan; dan 3 Palemahan.

  1. Parhyangan adalah faktor pada keyakinan manusia terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa Umat Hindu meyakini segala hal harus selalu dikaitkan dengan ke-Esaan Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, termasuk dalam mengelola lingkungan hidup dalam hal ini pertambangan mineral dan batubara.
  2. Pawongan, adalah faktor manusianya sendiri, yang bersifat individu dan makhluk sosial, sehingga memerlukan hubungan antar-manusia. Bahwa perubahan lingkungan atau seluruh aspek kegiatan manusia (kayika, wacika, manacika) ditentukan oleh manusia itu sendiri. Baik atau buruk dampak lingkungan pertambangan tergantung manusia.
  3. Palemahan, adalah lingkungan (tata ruang) dalam arti yang luas, sebagai tempat manusia tinggal (hidup) dan berkembang sesuai dengan kodratnya, termasuk sarwa prani (segala bentuk kehidupan) yang memberikan sumber makan yang mendukung hidup yang di dalamnya terkandung tiga komponen lingkungan, yaitu: abiotik, biotik dan culture (kebudayaan) (ABC).

Bahwa dengan Ajaran Tri Hita Karana, umat Hindu dengan kelembagaannya memandang pentingnya hubungan harmonis antara Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos) untuk membangun harmoni kehidupan di jagad raya ini, yang menjadi tujuan hidup umat Hindu, yaitu: Moshartam Jagaditha Ya Ca Iti Dharmah” atau “Kehiduapan yang Bahagia di Dunia dan Kehidupan yang Abadi di alam Baka”.

Ketimpangan hubungan Tri Hita Karana dapat menimbulkan bencana besar maupun kecil yang membahayakan kehidupan manusia. Setiap hari manusia makan dan hidup dari hasil pengelolaan lingkungan (Palemahan) yang benar berupa makanan yang bersumber dari sumber-sumber makanan yang bervariasi yang tumbuh dalam kandungan ibu pertiwi. Berupa tanah yang subur, air yang mengalir, udara yang segar dan cahaya matahari yang cukup yang merupakan tempat hidup berbagai tumbuhan dan hewan serta makhluk lainnya (sarwa prani). Kesalahan dalam mengelola lingkungan (palemahan) sudah dapat kita saksikan bersama berupa bencana banjir, longsor, polusi yang mengakibatkan terganggunya proses produksi pertanian yang pada ujungnya akan dapat menimbulkan bencana lanjutan berupa kelaparan dan kemiskinan.

Ketimpangan hubungan Tri Hita Karana berikutnya lebih menyulitkan yaitu terkait dengan manusia (Pawongan) sebagai subyek dan obyek pembangunan yang berada di kawasan pelemahan, yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan budaya yang “dilakoni” oleh manusia. Kearifan manusia dalam mengelola lingkungan hidup akan memberikan dampak positif kepada kesejahteraan manusia akibat hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan (pawonganpalemahan). Tanaman dan hewan akan hidup dengan baik sesuai ketersediaan ekosistem dan habitat yang sesuai, yang dikelola oleh manusia.

Ketimpangan berikutnya adalah menyangkut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Para penganut Agama, termasuk umat Hindu meyakini kebaradaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai yang MAHA. Agama mengajarkan agar manusia menyadari keberadaan Tuhan, dengan berbagai Keesaan-Nya. Oleh karena itu umat Hindu berperilaku dan melaksanakan kehidupannya dalam segala aspek senantiasa menyertakan Tuhan di dalamnya. Sikap ini pastinya membentuk kepribadian religius Umat Hindu yang damai dan menghargai satu sama-lain bukan saja manusia tetapi juga makhluk lain (biotik-abiotik) yang hidup di jagad raya (sarwa prani). Bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan segala sesuatu untuk tujuan kehidupan yang seimbang dan harmonis. Manusia karena memiliki pikiran (budi, manah) berkewajiban untuk mengendalikan, mengawasi, mengayomi, memelihara dan menuntun kehidupan yang lain dalam keseimbangan, bukan merusaknya tetapi menjaga kelestarian daya dukungnya.

Eksploatasi terhadap alam, melalui penambangan mineral dan batubara di perut bumi, yang berlebihan oleh manusia menimbulkan kepincangan keseimbangan telah menyebabkan malapetaka yang besar bagi manusia. Terjadinya banjir, tanah-longsor, yang menyebabkan kematian manusia, makhluk lainnya dan kerugian materi yang tidak sedikit.

Dalam ajaran Hindu, lingkungan hidup dikaitkan dengan konsep Bhuana Agung, yaitu alam semesta, dan Bhuana Alit, yaitu manusia. Berdasarkan konsep yang menjadi inti ajaran Tri Hita Karana, umat Hindu diajarkan untuk menjaga kelestarian daya dukung lingkungan hidup alam semesta, yang disebut dengan “memayu hayuning bawana” dengan cara:

  • Menjaga dan menata kelestarian daya dukung lingkungan hidup agar bersih, indah, dan nyaman,
  • Tidak membuang libah, sampah sembarangan,
  • Menanam pohon rindang sebagai pelindung alam,
  • Melindungi satwa agar tidak punah, dan
  • mengasihi dan menyayangi semua makhluk ciptaan Tuhan, yang disebut dengan ahimsa, Tatwam-Asi dan Vasudewa Kutumbakam.

Pustaka Suci Bhagawad Gita

Penciptaan manusia dan kehidupannya di jagad raya adalah untuk mengembangkan kehidupan yang seimbang dan sejahtera untuk semua makhluk (sarwa prani), sebagaimana disebutkan dalam Pustaka suci Bhagawad Gita III: 10, sebagai berikut:

Saha-yajn͂āḥ prajāḥ sṛṣṭvā

Purovāca prajāpatiḥ,

Anena prasaviṣyadhvam

eṣa vo ‘stv iṣṭa-kāma-dhuk.

Terjemahannya: Pada jaman dahulu kala, Hyang Widhi (Prajapati) menciptakan manusia dengan jalan yadnya dan bersabda: dengan ini (yadnya) engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan (kamadhuk) sesuai dengan keinginanmu.

Makna dari sloka tersebut adalah menganjurkan kepada manusia dalam segala tindak tanduknya dalam pekerjaannya setiap hari, agar selalu mendasarkan dengan rasa pengorbanan yang tulus dan iklas (yajna). Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk perkembangan hidup manusia, karena akan membersihkan jiwa-raga, yang merupakan tindakan spiriritual bernilai tinggi.

Berdasarkan Sloka Pustaka Suci Bhagawad Gita tersebut, manusialah yang harus melakukan secara aktif falsafah hidup dengan keharmonisan yang disebut Tri Hita Karana itu. Karena manusialah yang paling utama dan pertama mendapatkan manfaat kalau Tri Hita Karana itu terwujud dengan berhasil. Dengan demikian berhasil dan gagalnya ajaran Tri Hita Karana itu sangat tergantung dari manusia sebagai pelaku. Kedamaian manusia akan mendorong keyakinan yang semakin dalam pada Tuhan Yang Maha Esa.

Kehidupan di alam raya ini dalam keyakinan Hindu bersumber dari Ida Sang Widhi Wasa, yang bukan saja menciptakan manusia dan budayanya tetapi juga makhluk lain: hewan, pohon, iklim, hujan, panas, dingin, musim yang merupakan komponen lingkungan hidup abiotik dan biotik serta kebudayaannya. Keyakinan ini didasarkan pada Sloka Pustaka Suci Bhagawadgita, III,14: berikut:

Ananād bhūvānti bhutani

parjanyād anna sambhavan,

Yajñād bhavanti parjayo

yajñaḥ karma- samudbhavaḥ.

Terjemahannya : Dari makanan terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan terbentuklah makanan, hujan terbentuk dari yajna atau pengorbanan, dan pengorbanan lahir dari aksi (karma).

Makna sloka tersebut di atas adalah bahwa terdapat ketergantungan yang dalam antara buana alit (karang awak, mikrokosmos) dan buana agung (makrokosmos, karang agung, semesta) yang wajib menjadi landasan dalam mengelola lingkungan hidup dalam ajaran Tri Hita Karana.

Terkait dengan karakter manusia, dengan manis lontar Kala Tattwa menjelaskan bahwa Manusia adalah Dewa, Manusia juga adalah Iblis (manusa ya, dewa ya). Karakter manusia inilah yang menentukan keberhasilan atau kegagalan menata pertambangan minerba. Untuk mengembalikan ke sifat dewa, dilaksanakanlah upacara Bhuta Yajna. Bhuta Yajña tidak saja melaksanakan Mecaru, tetapi yang paling utama adalah bagaimana menjaga lingkungan dan memaanfaatkannya. Manusia tidak boleh semena-mena terhadap lingkungan, walau manusia memiliki kelebihan manah dari makhluk lain. Sudah menjadi kewajiban manusia mengolah lingkungan untuk kepentingan hidup dengan secara baik, sehingga terwujud keserasian dan keseimbangan. Timbulnya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, itu akibat ulah manusia yang terlalu mengeksplorasi lingkungan.

Reg Weda dan Yajur Weda.

Pustaka Suci Reg Weda, III.51.5 menguraikan: “Indraya dyava osadhir utapo rayim raksanti jirayo vanani”. Terjemahannya: “lindungilah sumber-sumber kekayaan alam seperti: atmosfer, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, sungai-sungai, sumber air dan hutan-hutan belantara”.  Berdasarkan sloka Reg Weda tersebut dan memperhatikan kondisi alam semesta yang semakin memperihatinkan, akibat kegiatan manusia (baca: pertambangan mineral dan batubara) seperti keberadaan hutan-hutan yang mulai digunduli, sungai dicemari sampah dan kotoran. Udara semakin tidak sehat karena asap kendaraan dan pabrik, terjadi alih fungsi lahan baik itu perkebunan dan persawahan secara besar-besaran menjadi bangunan beton. Kerusakan alam dan dampak yang ditimbulkan merupakan hasil dari ketidaksadaran manusia terhadap pentingnya menjaga alam.

Alam semesta (lingkungan hidup) dalam pandangan Hindu adalah sesuatu yang sangat mulia. Agama Hindu bahkan mengaitkan alam semesta dengan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pustaka Suci Yajurveda XXX. 1, disebutkan: Isvasyam idam sarvam jagat. Terjemahannya: “seluruh alam semesta ini adalah sthana Tuhan”.

Makna sloka tersebut : tidak ada bagian dari alam ini tanpa kehadiran Tuhan.” Mantra Yajurveda ini juga diulang dalam mantra Isoupanisad I.1.” Bahwa bagian mana pun alam semesta ini adalah “tempat tinggal” Tuhan. Karenanya, pengelolaan tanah dalam hal ini pertembangan minerba harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan melalui pustaka suci.

Kompetensi Parisada

Sebagai Lembaga Keagamaan, Parisada memiliki kompetensi pada pembinaan umat Hindu sesuai dengan ajaran Hindu untuk mencapai tujuan hidup yaitu: Moshartam Jagaditha Ya Ca Iti Dharmah. Secara sekala Parisada membimbing dan membina umat Hindu agar menerapkan ajaran Tri Hita Karana dalam menata lingkungan hidupnya, dan secara niskala melaksanakan Bhuta Yajna agar Panca Mahabhuta berada dalam keseimbangan untuk membangun harmoni buana agung dan buana alit (makrokosmos-mikrokosmos). Parisada sebagaimana telah dijelaskan terkait dengan ajaran Tri Hita Karana dan Pustaka Suci lainnya (Nitisastra, Arthasastra, Rg Weda, Yayur Veda) tidak memiliki kompetensi dalam melakukan pertambangan mineral dan batubara, baik secara administrasi maupun teknis. Parisada tidak pada posisi untuk memberikan pembinaan pada aspek dharma negara dalam hal menganjurkan melakukan perusakan terhadap bentang muka bumi yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Tri Hita Karana.

Penutup

Pertambangan mineral dan batubara (minerba), sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan telah terbukti memberikan pendapatan yang cukup besar kepada negara. Ekploitasi bentang alam akibat pertambangan, telah diyakini  berdampak negatif dalam upaya menjaga kelestarian daya dukung lingkungan. Kegiatan pertambangan adalah kegiatan membuka “kulit” bumi dan menggali “perut” bumi yang mengandung mineral atau batubara. Kegiatan ini tentunya tidak terlepas dari dampak negatif terhadap keseimbangan buana agung dan buana alit, yang tidak sejalan dengan semangat Ajaran Hindu terutama ajaran Tri Hita Karana. Karena kenyataannya, penambangan mineral dan batubara adalah penambangan berskala besar yang berorientasi untuk meningkatkan pendapatan negara, bukan skala kecil yang hanya untuk kebutuhan dalam negeri untuk membangun persenjataan (Nitisastra, Arthasastra). Karena itu, Parisada hendaknya fokus pada kompetensi pembinaan umat Hindu untuk mencapai tujuan ajaran Agama Hindu (* Penulis adalah Tokoh Hindu di Sulawesi Tenggara).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email