Oleh: I Ketut Puspa Adnyana
Om Swastyastu. Salam kebajikan
Prambanan dan Borobudur dalam “rasa” saya, sesuatu yang sama, artinya, tidak berbeda aura positifnya. Ini yang dicari oleh setiap orang (yang menjalani laku spiritual). Namun, belakangan kedua candi itu hanya membuat kagum, sementara ketika saya masuk dalam ruang batu Candi Ijo (Hijau) di atas Gunung saya merasa kagum dan juga takjub, yang berhasil membawa diri saya jauh menerawang di depan secarik sisa-sisa sesaji dan potongan dupa. Di sana, ada Sang Hyang Widhi yang saya yakini.
Borobudur dan Prambanan dibuat oleh orang yang sama: Empu Manuku (Panuku) yang mempunyai ambisi besar, yaitu menyatukan tanah Jawa. Mengingatkan pada ambisi Gajah Mada. Jangan-jangan Gajah Mada adalah Mpu Manuku pada jaman yang berbeda. Tidaklah penting untuk mengisahkan berbagai dugaan ini, karena sampai sekarang sejarah ini belum terlalu jelas. Yang menjadi harapan semua umat Hindu di Indonesia sekarang adalah agar Prambanan dapat dijadikan Candi Pemujaan Hindu kembali seperti pada masa abad ke-9. Burobudur, yang bukan dibangun oleh sahabat Buddha, sudah lebih dahulu disetujui pemerintah untuk menjadi Candi Pemujaan bagi Umat Buddha. Karena itu, pemerintah tidak memiliki alasan untuk menolak. Jelas.
Andaikata saya adalah Mpu Manuku, pasti merasa tersinggung. Mengapa hanya Borobudur yang diijinkan pemerintah sedangkan Parambanan, belum. Andaikata saya pemerintah yang memberi ijin: “ Silahkan pakai Prambanan sebagai Candi Pemujaan Umat Hindu. Selesai. Lalu apakah orang-orang Hindu sudah bergerak ke arah sana? Allamualam bhisabab. Enggak ngertilah. Masjid Demak yang berarsitektur Hindu sampai sekarang ya Rumah Ibadah Umat Islam. Demikian juga Gereja di Bali yang dibangun berarsitektur Hindu, ya Rumah Ibadah sahabat Kristiani. Ya! Lalu mengapa Prambanan (saya belum menyebut Candi) dan yang lainnya hampir 1.210 tahun terbengkalai? Ke mana umat Hindu selama itu?

Prambanan bukan Borobudur
Wangsa Saylendera dengan rajanya Samaratungga, memiliki putri cantik nan elok bernama Diah Pramodhawardhani. Mpu Manuku, bila tidak memiliki “kesaktian” pastilah orang gila dari sebuah Desa Pikatan, bila berkehendak menikahi Diah Pramodhawardhani untuk mencapai cita-citanya. Kecerdasan Mpu Manuku, membuatnya merancang sebuah strategi pendekatan yang jitu, mengganti identitasnya menjadi Gunadharma seorang arsitek kenamaan dari tanah Jambudwipa (faktanya memang Mpu Manuku belajar di India, Ahli Arsitek dan Hindu). Terbangunlah Borobudur yang megah menjadi kebanggaan Wangsa Saylendera. Sang raja yang bergelar Sri Maharaja Samaratungga, akhirnya rela menikahkan putrinya dengan Mpu Gunadharma, meskipun Maharaja mengetahui bahwa menantunya sebenarnya Rakai Pikatan (Temanggung sekarang). Setelah Sri Maharaja Samaratungga wafat, Mpu Manuku menggantikan mertuanya dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku. Prambanan dan Borobudur tercipta karena CINTA. Kecintaan umat Hindu sekarang bangkit.
Dalam masa pemerintahannya itu, rakyat dari Wangsa Sanjaya, wangsanya sang raja memberontak dipimpin oleh Mpu Kobhayoni, karena tidak dibangunkan Candi Pemujaan Hindu. Setelah pemberontakan dapat ditumpas, agar pemberontakan tidak terulang lagi, dibangunlah Pemujaan Umat Hindu aliran Siwa yang disebut Siwagraha yang kemudian menjadi Candi Prambanan, terletak di Kecamatan Prambatan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Setelah 1.120 tahun tidak difungsikan sebagai Pemujaan umat Hindu, sekarang umat Hindu sadar harus diperjuangkan agar resmi menjadi Candi Pemujaan Hindu. Meskipun sebenarnya sejak lama diperkenankan. Apa sebenarnya keuntungannya? Dalam pikiran saya, pasti mendapat ijin karena yang satu sudah dijinkan: Borobudur. Marah dong Paduka Mpu Manuku.
Bila diizinkan: Tidak mudah menjaga
Sudah menjadi “kebiasaan” yang merasa paling Hindu di Indonesia adalah suku saya, Suku Bali Hindu, yang sesungguhnya kesah (urban/migrasi) dari Jawa. Karena itu, Prambanan berada di Jawa, biarkanlah sahabat-sahabat kita di Jawa mengelola sesuai dengan kearifannya. Toh ahli-ahli mereka sudah menemukan upacara dan upakara sesuai dengan abad ke-9 lampau. Saya memahami bahwa di mana pun ada organisasi atau orang-orang berkumpul, selalu ada perbedaan pendapat dan persepsi. Apabila diserahkan sepenuhnya kepada sahabat-sahabat kita (Suku Jawa Hindu) di Jawa Tengah khususnya, perbedaan itu lebih sedikit.
Cara yang paling baik memberikan dukungan untuk Candi Prabanan adalah dengan memberi dukungan secara finansial dan doa, sementara manajemen tidak mencampurinya. Lalu, suatu saat kita ramai-ramai ke Candi Prambanan melakukan persembahyangan. Semoga apa yang menjadi harapan bersama terwujud berkat niat baik kita semua. Om Santih Santih Santih Om. (*)