Menghadapi Korona
TNI-POLRI Pelopor dalam Perang dan Pelopor dalam Damai

Oleh : Wayan Windia *)

Judul opini ini saya ambil dari judul buku karya Jenderal TB Simatupang (alm) yang terbit tahun 1954. Beberapa saat setelah buku ini terbit, disahkanlah UU No. 29 tahun 1954, tentang UU Pertahanan Negara RI. Dalam UU itu tidak lagi disebutkan perihal jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Buku Pelopor Dalam Perang dan Pelopor Dalam Damai karya Jenderal TB Simatupang ini dianggap sebagai surat wasiat dari KSAP yang terakhir di Indonesia.

Buku ini menyorot tentang sejarah pembangunan pertahanan negara, peranan tentara dalam negara dan dalam masyarakat, serta mengulas sedikit tentang peranan tentara di masa damai. Disebutkan bahwa peranan tentara yang utama di masa damai adalah mempersiapkan diri, bila sewaktu-waktu terjadi perang.  Tak hanya itu. Peranan tentara diharapkan juga dalam hal mempersiapkan tenaga-tenaga terampil untuk memajukan masyarakat. Tentara tidak harus menjadi kasta tersendiri dalam masyarakat. Tentara dan rakyat harus berada dalam posisi bagaikan ikan dan air.

Barangkali dalam konteks filsafat seperti itulah, maka kita menyaksikan sekarang, bagaimana peranan TNI dan juga Polri dalam masyarakat. Dalam kasus menghadapi serangan korona, saya sangat mengapresiasi peranan TNI dan Polri. Sebagaimana juga saya mengapresiasi peranan TNI-Polri dalam awal era reformasi yang menakjubkan itu. Bila masyarakat sipil tidak mampu mengatasi kondisi negara, maka TNI dan Polri-lah yang maju ke depan.

TNI-Polri yang kini sedang sibuk menghadapi terorisme, sparatisme, dan radikalisme, harus terjun pula “menghadapi” masyarakat yang semakin “angkuh” (Bahasa Bali : Bengkung) menghadapi serangan virus korona. Pemerintah dan juga akademisi, sudah lama wanti-wanti agar masyarakat tidak mudik. Tapi masyarakat, banyak sekali yang mengabaikan dan melawan anjuran pemerintah itu. Di jalanan, petugas pemerintah dilawan, Polri dilawan bahkan ada yang nekat melakukan perlawanan fisik.

Akhirnya, prediksi para akademisi pun terjadi. Saat ini, kasus korona betul-betul meledak. Bahkan dengan variannya baru. Pemerintah melakukan gerakan PPKM darurat. Toh masih ada juga masyarakat yang abai (tidak patuh, tiak disiplin). Petugas di jalanan dilawan. Tampaknya masih ada masyarakat yang semau gue saja. Masyarakat kita memang tidak terlatih hidup prihatin. Juga tak terlatih hidup disiplin seperti masyarakat Jepang. Apa maunya saja dan mau apa saja.

Ketika saya kembali membaca-baca buku karya TB Simatupang tersebut, saya menemukan bahwa, Indonesia ini tampaknya memerlukan kebijakan militer. Bukan bermaksud membudayakan kekerasan, namun ketegasan. Dengan demikian, masyarakat akan mau lebih disiplin dan taat kepada anjuran dan kebijakan pemerintah.

Dalam kasus serangan virus korona, untuk memutus penyebarannya diperlukan 3 M, 3 T dan seterusnya. Tetapi kita lihat masyarakat masih banyak yang tidak menggunakan masker (dengan benar), masih banyak yang melakukan kegiatan yang mengundang kerumunan. Bahkan dilakukan oleh aparat  pemerintah. Masih banyak yang melakukan ritual dan berjoged. Tentu saja petugas di pedesaan dan di lapangan lainnya tak bisa berbuat banyak. Harus muncul kesadaran baru dalam benak masyarakat. Kesadaran diri itu bisa muncul bila ada soft skill kedisplinan.

Inilah pertanda bahwa masyarakat kita tidak siap hidup prihatin. Tidak siap hidup nyunie, dan tepekur di hadapan Tuhan  Yang Mahaesa. Juga tak siap dan tak bisa bersyukur atas nikmat yang dirasakan saat-saat ini. Bangsa ini sudah terlanjur larut dalam arus globalisasi yang melahirkan syahwat materialistik, dan hedonistik. Dalam sistem politik ingin liberalistik dan dalam sistem ekonomi ingin kapitalistik. Untunglah sekarang mulai digaungkan hidup gotong royong, membela usaha mikro kecil menangah (UMKM) dan mulai ada kesadaran tentang pentingnya ketahanan pangan dan pertanian.

Menyambut HUT Kepolisian (Bayangkara) tahun ini, saya hadir dalam sebuah FGD yang diadakan oleh Pokdarkamtibmas Bali. Anggotanya, tampaknya kebanyakan dari kalangan komponen sektor pariwisata. Saya diminta untuk memberikan paparan tentang pertanian dan ketahanan pangan. Lalu saya sampaikan data dan fakta dan data apa adanya. Saya katakana, kondisi sektor pertanian sangat kontras dengan kondisi sektor pariwisata.

Dalam era baru setelah pandemi, sektor pariwisata di Bali harus dikendalikan. Agar antarsektor ekonomi di Bali terjadi harmonisasi. Pariwisata jangan dibiarkan terlalu dominan. Jangan dibiarkan terlalu bebas menjadi pariwisata massal.  Harus dikendalikan. Agar dimasa depan tidak terjadi kasus seperti dampak pandemi ini. Pariwisata bangkrut, ekonomi Bali lumpuh. Yang sangat menyakitkan adalah kita terlanjur menaruh telor yang kita miliki dalam satu keranjang. Demikian istilah yang dikemukakan mantan Menteri Ristek, ketika berbicara di Jayasabha. Bali sebaiknya jangan hanya mengandalkan pariwisata. Sektor pertanian juga sangat penting dikembangkan. Kita lihat saat ini, ketika industri pariwisata lumpuh, sektor pertanian justru tumbuh dan menjadi penyelamat ekonomi Bali.

Namun, apa yang terjadi saat ini ? Tetap saja para pelaku  pariwisata itu tidak sabar menanti kedatangan wisatawan. Mereka tetap ingin agar Bali segera dibuka untuk wisatawan. Alasannya agar ekonomi Bali bangkit kembali. Harapan tersebut sangatlah wajar, karena sektor pariwisata masih menjadi denyut nadi ekonomi Bali. Tapi pertanyaan yang muncul, apakah kita biarkan penularan virus korona itu meledak di Bali ? Bali dibuka sedikit saja untuk wisataan Nusantara, angka serangan korona di Bali terus melonjak tajam.

Bekerja dari Bali (BDB) yang pernah diopinikan oleh Menteri Luhut, kemudian telah dianggap sebagai penyebab menanjaknya korona di Bali saat ini. Apalagi kalau Bali dibuka lebar-lebar untuk wisatawan. Beberapa kasus wisatawan yang ada di Bali saat ini, banyak yang terpapar korona. Mungkin mereka sudah membawanya sejak dari negara asalnya. Sekarang mereka sedang sibuk mencari Ivermectin. Harga yang ditawarkan mencapai Rp. 250 ribu per tablet. Saran saya, sebaiknya, janganlah Bali ini diserahkan semata-mata sebagai obyek pariwisata. Sektor pertanian juga sangat penting dikembangkan.  Inilah tugas pemerintah di Bali dan kita semua. *) Penulis, Guru Besar Fak. Pertanian Univ. Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email