Oleh : I Nengah Maharta, Lampung *)
Ajaran Tri Kaya Parisudha sudah sangat populer di kalangan umat Hindu, mulai dari anak-anak , orang remaja, orang dewasa, bahkan sampai ke orang tua tidak asing lagi dengan kalimat ini. Tetapi, kenyataannya kalimat itu tidak mampu ditepati oleh kebanyakan umat Hindu. Mulai dari berfikir mesti benar, berucap mesti benar, dan berbuat juga mesti benar. Kenyataannya sekarang di mana-mana terjadi keributan, pertengkaran, saling hujat-mengujat, baik sesama saudara kandung, sepupu, mindom, maupun terhadap orang lain. Jadi kalimat Tri Kaya Parisudha itu hanyalah khayalan tidak pernah dijadilkan kontrol hidup. Orang-orang semaunya berkata-kata, tidak pernah berpikir apakah kata-kata yang saya ucapkan ini menyinggung dan menyakiti perasaani orang lain atau tidak?. Begitu juga terhadap perbuatannya tidak pernah dikontrol oleh ajaran yang sangat adhi luhung ini. Orang semaunya berbuat apa saja, padahal apa yang mereka lakukan itu sudah tidak sesuai lagi dengan etika oang Hindu. Akibat tidak ada kontrol menyebabkan banyak orang kita kebablasan berbuat melanggar Dharma.
Mengapa bisa terjadi seperti ini?. Jawabannya adalah karena kebodohan. Dalam susastra Hindu disebutkan, orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan walaupun mereka telah berbuat tergolong bodoh. Artinya praktek tanpa ilmu pengetahuan adalah kebodohan. Begitu juga orang memiliki ilmu pengetahuan, tetapi tanpa dipraktekan langsung, maka tergolong sia-sia. Artinya ilmu pengetahuan tanpa praktek menjadi sia-sia. Kita memerlukan gabungan antara ilmu pengetahuan dan tindakan. Kalau kita menginginkan hidup bermanfaat, maka mesti memiliki ilmu pengetahuan dan mempraktekan langsung ilmu itu di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Dewasa ini banyak kita jumpai orang pintar karena ilmunya, tetapi tidak bijaksana. Ini artinya pengetahuan tanpa kualitas kemuliaan dan kebaikan melalui tindakan hanya akan menjadi pengetahuan buku yang tidak berguna untuk masyarakat.
Sekarang kita tidak mampu menjaga nilai-nilai kemanusiaan, tidak mampu menjaga kata-kata (Words), tidak mampu menjaga tindakan (Action), tidak mampu menjaga pikiran (Thoughts), tidak mampu menjaga karakter (Character), dan tidak mampu menjaga hati (Heart). Semua itu kalau dsingkat menjadi WATCH. Artinya ketika kita mampu menjaga kata-kata, tindakan, pikiran, karakter, dan hati, berarti kita telah mampu merawat arloji yang ada di tanganmu (WATCH). Semua nilai-nilai kemanusian ini saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Berpikir akan menentukan ucapan, ucapan akan menentukan tindakan, tindakan akan menentukan kebiasaan, kebiasaan menentukan karakter, dan karakter akan menentukan nasib. Jadi nasib seseorang akan ditentukan mulai dari cara berfikir. Oleh karena itu nilai-nilai ini mestinya dijaga dengan baik karena akan menentukan nasib kita saat hidup di dunia ini, sekaligus menentukan kehidupan setelah mati.
Bagaimana cara mejaga nilai-nilai kemanusian ini?
Menjaga Pikiran
Dalam kitab suci “Sarasamuccaya, 79” tersurat :
Manasā nicayam krtva tato vaca vidhiyate, kriyate
karmanā paṣcāt pradhānam vai manastatah
Arti : Maka kesimpulannya pikiranlah yang merupakan unsur yang menentukan, jika penentuan perasaan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata, atau melakukan perbuatan. Oleh karena itu, pikirkanlah yang menjadi pokok sumbernya.
Sloka ini menyatakan bahwa penentuan kata-kata dan tindakan pangkal sumbernya dimulai dari pikiran. Jadi pikiran merupakan pengendali kata-kata dan tindakan. Hal ini dapat kita samakan seperti mengendalikan “delman/kereta”, yang sangat bergantung dari kusir dan tali temalinya. Seperti tersurat dalam Pustaka Veda Katha Upanisad, 1-3, 3-4
Atmanam rathinam vidhi sariram ratham eva ca
buddhim tu sarathim vidhhi manah pragraham eva ca
indriyani hayanahur visamyas tesu go caran
atmendriya-mano-yuktam bhoktety ahur manisinah
Arti : Atman yang individual adalah penumpang di dalam kereta badan jasmani dan kecerdasan (buddhi) adalah kusir, pikiran adalah alat (tali-temali) untuk mengemudikannya, dan indria-indria (keinginan) adalah kuda. Seperti itulah sang Atman menikmati atau menderita berhubungan dengan pikiran dan indria-indria. Demikianlah pemikiran para pemikir yang mulia.
Atman akan selamat, bila buddhi mampu mengendalikan pikiran, dan pikiran mampu mengendalikan indria-indria (keinginan/nafsu). Bukan sebaliknya, pikiran mengendalikan buddhi. Demikian juga untuk penumpang kereta, penumpang akan selamat, bila kusir pandai mengendalikan tali-temalinya, agar kudanya tidak nyeruduk ke sana-sini.
Mengendalikan pikiran sangatlah sulit, pikiran sifatnya sangat liar, kadang pikiran menguasai buddhi, yang seharusnya pikiran takluk pada buddhi. Seperti halnya infeksi yang gawat dapat mengalahkan kemanjuran obat. Para orang suci menganjurkan untuk pikiran yang sulit diarahkan seharusnya dikendalikan melalui latihan yoga (meditasi), dengan selalu melakukan meditasi akan mudah membuat pikiran menjadi fokus. Hal lain juga dapat mempermudah memfokuskan pikiran yaitu dengan mengurangi mengkonsumsi makanan yang bersifat rajas dan tamas. Selain itu, dengan selalu melakukan sesuatu secara benar, akan dapat menyucikan pikiran. Hal ini tersurat dalam kitab suci Manava Dharmaśastra, V.109, bahwa pikiran dapat disucikan dengan kebenaran (manah satyena śuddhyati).
Pikiran juga sangat berdampak terhadap perjalanan Sang Atman di Alam Kematian (Mrityun Loka). Bila semasih hidup di dunia maya ini kita tidak terbiasa mengendalikan pikiran, maka di alam kematian pun kita akan seperti itu. Semakin liar pikiran semasa hidupnya, maka semakin liarlah perjalanan Atman di Alam Kematian. Bebasnya pikiran di Alam Kematian ini menyebabkan Atman terombang-ambing. Pikiran yang terombang-ambing ini akan mudah sekali dipancing dengan suara dari orang-orang yang dicintainya oleh makhluk gaib Alam Bawah, sehingga Atman bergerak ke arah itu, lalu dijerumuskan ke Alam Bawah (Alam Kegelapan) untuk dijadikan budak.
Menjaga Kata-Kata
Dalam Nitisastra,V.3 tersurat:
wasita nimittanta manemu laksmi,
wasita nimittanta manemu pati kapangguh,
wasita nimittanta manemu dukha,
wasita nimittanta menemu mitra.
Artinya : Karena kata-kata engkau akan mendapatkan kebahagiaan, karena kata-kata engkau akan menemui ajalmu, karena kata-kata engkau akan menemui nestapa, dan karena kata-kata engkau akan mendapatkan teman. Jadi pilihan kata-kata dalam bentuk ucapapan sangat penting sekali dikendalikan, agar tidak menimbulkan masalah terhadap orang lain.
Menjaga Perbuatan
Dalam susatra Hindu, ada tiga jenis perbuatan yaitu:
- Dush karma yaitu perbuatan yang penuh dengan sifat sad ripu akan membentuk Manusia Bhuta (Danava).
- Sat karma yaitu perbuatan yang dipengaruhi oleh panca pilar agama yaitu kebenaran (dharma), kejujuran (satya), cinta kasih (prema), tidak menyakiti (ahimsa), dan damai (santi), akan membentuk Manusia Dewa (Madhava).
- Mirsa karma yaitu campuran dari kedua karma di atas, akan membentuk Manusia biasa pada umumnya (Manava).
Sekarang bergantung dari seseorang, kalau menginginkan menjadi manusia dewa (Madhava) tentu lima pilar agama dijadikan penuntun hidup agar kita bisa selamat di bumi dan selamat di alam kematian.
Menjaga Hati (Bhudi)
Manava Dharmaśastra, V.109: Hati (Bhudi) disucikan dengan ilmu pengetuan yang benar (vidyātapobhyāṁ bhūtātma budhir jñanena śuddhyati). Ada dua jenis ilmu pengetahuan yang mesti dimiliki oleh seseorang, kalau menginginkan hidup bahagia dan damai di bumi dan di alam kematian, yaitu ilmu pengetahuan duniawi dan ilmu pengetahuan spiritual. Ibarat sayap seekor burung, sayap kiri adalah ilmu pengetahuan duniawai dan sayap kanan adalah ilmu pengetahuan spiritual. Dengan memiliki dua sayap yang seimbang, maka burung akan bisa terbang tinggi untuk menuju tujuannya. Begitu juga kita dengan memiliki dua ilmu pengetahuan itu, kita akan bisa mencapai tujuan tertinggi yaitu untuk mencapai kebahagian dan kedamaian. Ilmu pengetahuan duniawi diperoleh dengan rajin belajar, sedangkan ilmu pengetahuan spiritual dapat diperoleh dengan terlebih dahulu diri sendiri sebagai pelaku (to be) dan melakukan praktek langsung (to do). Setelah diri kita sebagai pelaku dan telah mempraktekan langsung baru disampaikan ke orang lain (to tell), agar ilmu pengetahuan spiritual ini ada yang diwariskan kepada generasi. Ilmu pengethuian duniawi akan menyentuh intlektual, sedangkan ilmu pengetahuan spiritual akan menyentuh Sradha, Bhakti dan Atman..
Menjaga Karakter
Berpikir, berkata, dan berbuat akan dapat dilakukan secara baik dan benar, apabila memiliki hati (bhudi) yang bersih. Artinya hanya seseorang yang memiliki hati bersih karena ilmu pengetahuan sucinya akan mampu menjadi orang arif dalam berpikir dan berkata, dan menjadi orang bijaksana dalam berbuat. Oleh karena itu, kita tidak bisa berharap banyak kepada seseorang agar menjadi arif dan bijaksana, Apalagi tidak mau mendengar orang lain berbicara kebajikan, tidak mau membaca, tidak mau mencontoh dari orang lain, sudah dapat dipastikan tidak mampu menjadi arif dan bijaksana. Karakter dapat diperloleh dengan mencontoh dari orang-orang yang memiliki sifat arif dan bijaksana. Karakter berkaitan langsung dengan integritas yaitu kebenaran, kejujuran, dewasa dan mandiri, menerima orang lain apa adanya, tanggung jawab, etos kerja, teladan, dan lain-lain. Kesimpulannya, pikiran akan menentukan ucapaan, ucapan akan menentukan tindakan, tindakan akan menentukan kebiasaan, kebiasaan akan membentuk karakter, dan karakter akan menentukan nasib. (* penulis adalah tokoh Hindu di Lampung, dosen STAH Lampung dan anggota Sabha Walaka PHDI Pusat).