Oleh : Wayan Windia, Denpasar
Virus Corona membalikkan keadaan kehidupan manusia, setara dengan arah 180 derajat. Sebelumnya, hidup manusia melambung tinggi, dalam berbagai hura-hura. Namun saat ini, umat-manusia bahkan mulai dididik tentang hal-hal yang sangat elementer. Manusia harus dididik lagi, tentang tatacara mencuci tangan, cara batuk, bersin, bersalaman, memakan makanan yang bergizi, tidur yang cukup, olah raga yang teratur, harus diam di rumah, dll.
Filsafat Orang Bali mengatakan, bahwa hidup ini, hanyalah untuk menjalankan karma, yang berputar seperti roda pedati. Secara pelan, tetapi pasti, kehidupan manusia akan berputar ke bawah, atau ke atas, sesuai karmanya. Itulah sebabnya, para leluhur kita sengaja mencari jalan hidup prihatin atau sunya. Tempatnya, di kawasan hutan belantara raya, melakukan tapa-brata-yoga-samadi, untuk mencari kedamaian.
Dalam era ini, manusia mencari kedamaian di keramaian kota dalam kehidupan yang dimanjakan. Main di café, masuk di karaoke, makan cap-cay, makan sate, main di hotel, main di motel, mencuci pakaian di laundry dll. Untuk itu, manusia harus melakukan eksplorasi dan ekploitasi alam semesta raya, untuk menunjang nafsu kenikmatan duniawinya. Hutan dan bukit dirobohkan, alam disemen dan dibeton. Semuanya untuk menambah kenikmatan hidup manusia.
Saya berdiskusi dengan kalangan spritualis. Bahwa katanya, justru alam pepohonan yang hijau, dan juga debu Ibu Pertiwi, ikut memiliki peran untuk pencegahan serangan korona. Tentang hal ini, mungkin perlu riset lebih lanjut, untuk menentukan tingkat signifikansinya. Tetapi rasanya kok logis juga.
Dalam era keprihatinan ini, muncullah kesadaran manusia untuk berbagi. Kita menyaksikan gelombang manusia yang memberikan sumbangan sosialnya. Termasuk dari kalangan Pembaca Majalah Craddha. Ada juga yang terpanggil menjadi relawan. Atau melayani hidangan makan bagi keluarga penderita serangan corona. Menurut Prof. Mubyarto, (pencetus ide Ekonomi Pancasila), manusia itu memang demikianlah watak dasar sesungguhnya. Tetapi manusia bisa berubah dan bertransformasi karena pengaruh eksternalitas.
Kesadaran sosial manusia akan muncul, ketika sedang ada keprihatinan. Kemudian akan semakin menipis, kalau keadaan sudah semakin nyaman. Oleh karenanya, dalam konsep Ekonomi Pancasila, diharapkan nilai-nilai kesadaran keprihatinan itu, bisa muncul setiap saat. Karena apa? Karena kesadaran itu selalu diharapkan muncul, dalam rangka implementasi dasar negara kita, Pancasila. Jadi, ekonomi itu tidak dibiarkan bebas berkembang liberal dan kapitalistik. Tetapi harus diintervensi dengan kesadaran moral dan etik, sesuai dasar negara.
Serangan virus corona memaksa manusia harus hidup prihatin. Mereka yang kaya, harus berbagi. Mereka yang punya tenaga, bersiap menjadi relawan. Mereka yang spiritualis, melakukan doa-doa. Dan pemerintah mulai memperhatikan kalangan yang sangat miskin. Kalau suasana ini masih berkembang berbulan-bulan yang akan datang, maka diharapkan kesadaran hidup prihatin bisa membudaya. Sehingga para petugas negara, tidak perlu direpotkan lagi untuk menertibkan penduduk yang tidak menyadari keprihatinan. Saya juga heran. Dalam suasana seperti ini, kok masih ada juga masyarakat yang ke café, karaoke, pesta miras, melakukan ritual besar-besaran, dll. Untuk itu petugas harus membubarkannya. Bahkan ada di antara mereka yang ngeyel, sehingga harus diangkut ke kantor polisi.
Kapankah sikap kebersamaan, dalam suasana keprihatinan bisa muncul sebagai suatu kesadaran moral? Menurut Prof. Mubyarto, kalau dalam masyarakat ada pemerataan sosial. Dalam Era Orba, konsep pemerataan diterjemahkan dalam delapan jalur pemerataan. Tetapi tampaknya tidak berjalan dengan sempurna, karena masih ada vested-interest dalam pelaksanaannya. Selanjutnya Bung Hatta memberikan cara konkrit untuk menerapkan konsep pemerataan. Bung Hatta berpendapat, untuk bisa mencapai pemerataan dan keadilan sosial, sistemnya harus mulai dari konsep pengupahan. Upah minimum masyarakat (1950) diusulkan senilai 5 kg beras per hari. Selanjutnya upah bagi karyawan/pegawai golongan tertinggi harus maksimal 20 kali lipat dari upah golongan pegawai/karyawan yang terendah.
Kalau sistemnya sudah dibentuk sesuai konsep Bung Hatta, maka tidak akan ada jurang pendapatan yang terlalu tinggi di Indonesia. Golongan pemimpin “atas” harus juga hidup prihatin, yang analogis dengan keprihatinan kelompok masyarakat bawah. Bila ekonomi semakin bagus, maka pendapatan golongan atas akan naik, dan golongan bawah juga akan naik, dengan jumlah yang sepadan. Tidak perlu ada kebijakan yang muluk-muluk. Langsung saja dilaksanakan konkrit, sesuai pendapat Hatta. Sehingga mungkin tidak perlu lagi ada THR dan Gaji ke-13. Semua menikmati kue pembangunan yang proporsional (sesuai kesepakatan nasional). Mungkin juga nafsu korupsi bisa diminimalkan. Nafsu korup karena manusia ingin hidup glamor. Tetapi sakunya kempes.
Saat ini, eranya sudah berkembang jauh. Orang-orang sudah sedang terlanjur ingin terus menikmati nikmatnya kenikmatan dunia. Secara teoritis, kenikmatan manusia sangat sulit diturunkan secara vertikal. Sangat sulit meminta masyarakat untuk kembali memasak dengan kayu api (padat), atau dengan minyak tanah (cair), karena kini orang-orang sudah memasak di dapur dengan gas. Sangat sulit meminta rakyat untuk memakai lampu penerangan dengan lampu teplok (minyak tanah), karena sudah ada listrik. Demikian seterusnya. Tetapi yang dapat dilakukan adalah secara perlahan sistemnya Bung Hatta diberlakukan.
Contohnya seperti saat ini. THR dan gaji ke-13 hanya diberikan kepada pegawai negeri golongan III ke bawah. Hal ini perlu dijadikan kebiasaan yang berlanjut. Dengan demikian secara perlahan gaji (pendapatan) pegawai negeri golongan bawah akan semakin naik. Sedangkan bagi golongan atas, gajinya stagnan. Saya setuju bahwa gaji/upah diukur dengan ukuran setara beras. Konsep ini juga digunakan oleh Prof. Sayogyo dalam mengukur kemiskinan.
Namun seberapa banyak besaran berasnya, mungkin perlu ada kesepakatan nasional. Lalu berapa jumlah besaran harga berasnya ? Mungkin perlu diukur, agar petani juga harus diuntungkan. Harus sepadan antara gaji/upah minimal, dengan harga gabah/beras. Tampaknya hanya dengan demikian semangat keprihatinan hidup, dapat dijaga manfaat dan keberlanjutannya. Outcomenya adalah bisa memunculkan rasa parsatuan dan kesatuan bangsa yang semakin solid. *) Penulis, adalah Ketua Stispol Wira Bhakti, Denpasar.