Akibat Keserakahan Manusia, Keseimbangan Alam Terganggu
Blabar Agung Melanda Sejumlah Lokasi di Bali

Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S ingatkan Pemimpin Bali mesti lakukan moratorium penebangan hutan dan alih fungsi lahan

DENPASAR-Bencana alam banjir bandang (Blabar Agung) yang melanda sejumlah titik lokasi di Bali Minggu (16/10/2022) hingga Senin (17/10/2022) diyakini bukan peristiwa tiba-tiba yang tanpa sebab. Banjir bandang itu terjadi akibat penebangan pohon secara liar, alih fungsi lahan secara terus-menerus di daerah hulu. Curah hujan tinggi secara terus-menerus langsung menghantam bumi karena berkurangnya hutan dan pepohonan sehingga air hujan menggerus tanah dan mengakibatkan longsor di mana-mana. Data menunjukkan, Bali saat ini hanya memiliki tutupan lahan 16,8 % (pohon) di kawasan hutan. Jumlah ini sudah diambang kritis bagi keberlangsungan bentang alam Bali. Padahal sejak 20 an tahun lalu, sejumlah aktivis dan pakar lingkungan sudah mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai kawasan hijau sekaligus kawasan penyangga air hujan.

Banjir bandang merusak pemukiman penduduk

Aktivis lingkungan dan Pertanian Organik, Dr. Ir. Ni Lih Kartini, M.S mengatakan hal itu Senin (17/10/2022) kemarin menanggapi bencana alam banjir bandang di sejumlah titik di Bali akibat curah hujan yang sangat tinggi. Menurut dosen Fakultas Pertanian Unud ini, pihaknya sudah sering mengingatkan pemerintah dan semua pihak agar jangan sekali-kali mengubah bentang alam Bali yang sudah bagus ini namun tidak direspon. “Jangan pernah mengubah bentang alam, justru harusnya pelihara yang sudah kita warisi saat ini. Apa pun kondisinya, bukit, lembah, kemiringan semuanya mesti dipelihara apa adanya. Alam Bali ini sudah bagus, jangan diutak-atik lagi” ujarnya kepada redaksi media ini.

Ia mengatakan, justru kalau orang Bali ingin merawat bumi menjaga keseimbangan alam, mestinya beraktivitaslah sesuai kehendak alam, jangan malah sebaliknya, merusak alam. “Ketika manusia sama sekali tidak berbhakti kepada alam dan terus-menerus mengganggu keseimbangannya, maka alam punya cara untuk menyelesaikan semua. Kami sebagai warga masyarakat cuma bisa mengingatkan kita semua terutama pemerintah Bali yang memegang policy.

Bhisama Leluhur Bali

Tetua Bali jaman dahulu sudah mewariskan kearifan lokal bagaimana orang Bali memelihara alam dengan berbagai kegiatan kasat mata dan tak kasat mata (sekala-niskala). Menurutnya, tetua Bali melaksanakan upacara/upakara sesuai dengan bhisama leluhur yang termuat di dalam prasasti-prasasti dan prekempa. Ia mencontohkan bagaimana para petani Bali memiliki berbagai jenis upacara untuk melestarikan alam Bali seperti Tumpek Uduh (Pengatag), Upacara Mapag Toya, Ngusaba Nini di Pura Subak, Ngusaba Desa dan Sarin Tahun di Pura Bale Agung  dan sebagainya sebagai simbol penghormatan kepada alam yang telah memberikan rejeki, hasil bumi untuk kesejahteraan manusia.

Ia menambahkan, dalam beberapa bhisama tinggalan leluhur disebutkan bahwa barang siapa yang lalai menjalankan bhisama dengan sengaja atau tak sengaja merusak alam Bali, bila ia seorang pemimpin, ia akan kena kutuk hingga 11 (sebelas) generasi.  Yang lebih berbahaya adalah Laknat Jagat Upadrawa yang tercantum di dalam Prasasti Bulian B. Prasasti ini mengurai sistem pengelolaan wilayah Kawista (Kubutambahan) yang terkait dengan Prasasti Bulian A soal menjaga tatanan menjaga Bulian. Disebutkan bahwa  Kubutambahan dan Bulian merupakan satu kesatuan wilayah yang tak bisa dipisahkan secara sekala-niskala karena wilayah ini merupakan (1) Benteng pertahanan; (2) Tempat persembunyian para raja Pandita Bali Kuno dari serangan musuh dan (3) Tempat pemungutan Cukai yang disetor ke Pusat Kerajaaan yang kala itu diyakini berpusat di Cintamani (sekarang Kintamani).  Disebutkan bahwa barang siapa berani melanggarnya, ia akan akan kena kutuk 100 kali kutukan bhisama.  Kutukan ini kerap disebut sebagai Buta Siu. Para tetua Bali sangat takut dengan  kutukan ini. “Intinya ketika para pemimpin kita tidak mendengarkan aspirasi masyarakat, suara-suara dari para aktivis dan lalai menjalankan bhisama, maka saat itulah alam akan bereaksi dengan caranya sendiri” papar Ni Luh Kartini.

Sawah dengan terasering yang indah, sistem pertanian yang bersahabat dengan alam

Kembali ke soal upacara/upakara, setiap upacara/upakara yang dilakukan oleh orang Bali memiliki maknanya sendiri. Ia memberi contoh Mecaru dengan menggunakan arak-berem. Secara ilmiah arak-berem itu adalah bahan cair yang sudah difermentasi. Jika telah menetes di tanah, maka akan terjadi reaksi dengan tanah dan ini adalah proses pemupukan yang menyuburkan tanah. Bali memiliki warisan budaya pertanian yang disebut dengan agriculture. Budaya pertanian lekat dengan kearifan lokal yang dilandasi dengan keyakinan atau ajaran Hindu. Itulah kenapa tetua Bali selalu mengawali, merawat dan memanen hasil pertanian dengan upacara. Saat memulai menanam bibit (Mewinih) para petani Bali menggelar upacara Mewinih, Saat menanam (Nandur) ada upacaranya, lalu saat pagi bunting ada upacara Mabiyu Kukung, saat padi masuk ke Lumbung ada upacara Ngenteg Dewi Sri.

Terkait dengan pertanian organik, wanita yang kerap dijuluki Ratu Cacing karena terbukti memanfaatkan cacing untuk membuat pupuk organik, Kartini kembali mengajak masyarakat agar memanfaatkan sampah sebagai pupuk. Sampah rumah tangga yang selama ini dibuang begitu saja tapa guna, mestinya dipilah. Harusnya mulai ada kerjasama antarkabupaten di Bali. Sampah organik di perkotaan seperti Badung dan Denpasar bisa dibawa ke Klungkung atau Karangasem, ditebar di lahan-lahan tandus dan lahan kering agar menjadi subur. Sampah itu bisa ditukar secara  dibarter dengan hasil bumi dari Klungkung dan Karangasem seperti kacang dan jagung. Sampah organik di perkotaan di Bali bisa ditebar di kawasan yang kurang subur lalu dibarter dengan hasil bumi. Lama-lama Bali menjadi pulau dengan pertaniannya yang subur sehingga bisa mengurangi ketergantungan hasil bumi dari luar Bali. Kartini mengatakan, pemakaian pupuk kimia telah terbukti menurunkan kualitas tanah sekaligus memutus rantai makanan. Itulah kenapa tingkat kesuburan tanah sawah saat ini sangat rendah. Untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah, ia bersama para aktivis lingkungan dan pertanian sejak 20 puluh tahun lalu memelopori gerakan pertanian organik. Ia memepolori pertanian Organik dengan sistem SaBiCaITaLa (Sapi, Biogas, Cacing, Ikan, Tanaman, Lebah dan Agrowisata). Sistem SaBiCaITaLa ini mengandalkan sumberaya lokal dan teknologi yang ramah lingkungan secara terpadu, tanpa bahan sintetis (buatan) dan benih/bibit transgenik. Sistem ini terbukti mampu menjawab ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan energi, keamanan pangan, serta mendorong ekonomi kreatif berkelanjutan.

Salah satu jembatan putus ddihantam air sungai yang meluap

Moratorium Alih Fungsi Lahan

Penebangan pohon/hutan itu merusak ekosistem bumi. Di dalam ekosistem itu ada rantai makanan. Menurutnya, rantai makanan itu adalah sistem alam yang tidak boleh terputus. Dia mesti selalu tersambung. Rantai makanan menjadi terjadinya siklus kehidupan alam dan inilah yang memberikan kesuburan bagi berbagai tanaman sehingga memberikan hasil yang bisa dinikmati oleh manusia. “Tapi ketika rantai makanan itu terputus, baik karena penebangan liar, alih fungsi lahan, penggunaan pupuk kimia dan ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam, maka itu adalah signal akan terjadinya gangguan alam berupa bencana” paparnya.

Terkait dengan upaya menjaga dan melestarikan bentang alam Bali, sejak Tahun 2015, ia sudah mengusulkan moratorium pembangunan hotel dan fasilitas pariwisata karena Bali sudah jenuh. “Sekarang saya kembali menghimbau kepada pemerintah agar melakukan moratorium dalam segala hal termasuk alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur.  Stop alih fungsi lahan jurang untuk infrastruktur, hotel, villa dan sejenisnya” harapnya.  Ia menambahkan, terasering sawah dan lahan yang dibuat oleh para tetua Bali itu, tujuan utamanya adalah untuk menahan air, agar ada simpanan air di dalam tanah, agar humus dan permukaan tanah itu tidak hanyut. Lalu, para petani bisa bercocok tanah di lahan terasering sehingga hasil yang bagus. Ia menambahkan kita yang telah berpendidikan tinggi, bergelar doktor bahkan professor menganggap orang-orang tua kita bodoh. Padahal, mereka jauh lebih pintar kalau urusan praktek merawat alam dan bercocok tanam (*).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email