Oleh : Wayan Windia *)
Sejak awal Pebruari yang lalu, harga beras mulai menanjak tajam. Kenaikannya hampir mencapai 30 persen. Sebelumnya, harga beras rata-rata sekitar Rp. 9 ribu/kg, lalu naik menjadi Rp. 12 ribu/kg. Presiden, Mendag, Mentan, dan Kabulog, sibuk mengendalikan harga beras, yang mulai merisaukan masyarakat (terutama masyarakat berpenghasilan rendah). Bulog sudah mendrop beras sebanyak 350. 000 ton untuk operasi pasar, tetapi harga beras tetap tidak bergeming. Selanjutnya, seperti biasa, pedagang dan pengusaha yang a-nasionalis, sibuk mengambil keuntungan dari fenomena harga beras itu. Bahkan sampai ada yang ditangkap polisi.
Baru-baru ini Presiden Jokowi dan Mentan membuat pernyataan bahwa, harga beras akan turun setelah panen raya pada Mulan Maret/April mendatang. Apakah arti pernyataan itu? Artinya, bahwa ada jeda ketersediaan beras, rata-rata selama 1-2 bulan sebelum panen raya tiba. Syukurlah kalau panen rayanya bagus. Kalau tiba-tiba ada hama yang mengancam, hasil panen raya bisa berkurang 50%. Dalam situasi seperti itu, maka keadaan kita bisa dianggap gawat. Karena penyakit dari kaum tani adalah resiko dan ketidakpastian. Pengeluarannya pasti, tetapi pendapatannya belum pasti.
Jeda produksi beras selama 1-2 bulan menunjukkan bahwa, luas panen kita berkurang. Di samping itu, produktivitas pertanian juga berkurang. Luas panen berkurang, karena sawah yang harus dimuliakan, malah terus-menerus dihantam dan dihancurkan untuk pembangunan infrastruktur. Hal itu terjadi di Jawa dan juga di Bali. Jalan tol Gilimanuk – Mengwi (Gilimawi), bahkan menghancurkan hampir 500 hektar sawah (menurut data Walhi Bali). Belum lagi, efek domino kalau jalan tol itu jadi dilaksanakan, akan lebih mempercepat kehancuran sawah dan mengancam eksistensi organisasi Subak di Bali.
Selanjutnya, produktivitas padi juga berkurang. Kini, produktivitas padi di Bali, hanya sekitar 6-6,5 ton gabah kering panen (GKP) per hektar. Tercatat sebagai produkvitas yang tertinggi di Indonesia. Produktivitas di Jawa sekitar 5,5 ton GKP per hektar. Di Bangka Belitung hanya 2,5 ton GKP per hektar. Nah, kalau sawah di Jawa dan Bali dihancurkan, maka akan sangat berpengaruh terhadap total produksi padi (beras) di Indonesia. Akibatnya, seperti sekarang inilah, di mana 1-2 bulan menjelang panen raya, harga beras sangat merisaukan masyarakat miskin.
Tercatat dalam informasi di medsos bahwa khabarnya, Jokowi mulai sadar tentang dampak pembangunan infrastrukur yang terlalu ambisius. Setelah sekarang ia harus menerima kenyataan, bahwa harga beras yang menanjak dan inflasi yang juga mulai menanjak. Lalu memberikan instruksi, agar pembangunan infrastruktur dihentikan, kecuali atas instruksinya. Tetapi kata pepatah, bahwa nasi sudah menjadi bubur. Tetapi belum terlambat. Jalan tol Gilimawi, kiranya masih bisa dibatalkan.
Bahwa sawah-sawah yang baik adalah sawah yang berada di kawasan lahan vulkanik, di mana ada gunung api (Mis : Jawa dan Bali). Jelas tidak gampang membuat sawah, seperti yang kita nikmati saat ini di Jawa dan Bali. Diperlukan waktu yang lama (ratusan tahun), agar sawah itu betul-betul establis sebagai sawah. Diperlukan agroklimat yang cocok, ada budaya agraris yang kental, ada sistem irigasi yang mantap, pemasaran yang terjamin dan lainnya.
Sejak jaman Pak Harto, SBY, hingga Jokowi, diprogramkan pelaksanaan rice estate di luar Jawa dan Bali. Apa khabarnya ? Tidak jelas khabarnya, apalagi khabar sukses. Terakhir Jokowi memprogramkan rice estate di Kalimantan seluas 1 juta hektar yang dikomandani Menhan Prabowo. Apa kabarnya ? Belum ada khabar sukses. Kenapa ? Itulah sebabnya, seperti yang terurai dalam penjelasan di atas. Terutama agro klimatnya yang tidak mendukung.
Merusak sawah di Jawa dan Bali, tampaknya sama saja bahwa kita sedang dalam proses bunuh diri. Akibatnya akan diderita oleh generasi Indonesia yang akan datang. Generasi emas tahun 2045, yang diharapkan cerdas (hard skill), harus ditunjang dengan ketersediaan makanan (sawah) dan air yang cukup. Maka itu, ketahanan/kedaulatan pangan dan air, sangat diperlukan. Hal ini perlu dibahas dan dikaji dalam kegiatan world water forum di Indonesia Tahun 2024 mendatang.
Pembangunan infrastruktur yang ambisius dan merusak sawah adalah program pembangunan yang hanya memanjakan konsumen, tetapi membunuh produsen. Manusia-konsumen adalah manusia biasa, yang terdiri dari roh dan badan. Pembangunan infrastruktur yang merusak sawah, hanya akan memuaskan roh. Sementara itu, kepuasan roh tidak akan pernah ada batasnya. Kalau roh terus dilayani kepuasannya, maka badan akan kesakitan dan hancur.
Bila pembangunan infrastruktur yang merusak sawah terus dilanjutkan, maka roh manusia-konsumen, tentu saja terpuaskan. Tetapi di masa depan, maka badan yang kelaparan akan menanti generasi kita. Sama dengan narkoba, merokok, minum arak, bahkan minum kopi, adalah untuk kepuasan roh. Kemudian akan ketagihan. Tetapi badan kita sebetulnya meronta-ronta, kesakitan dan rusak. Maka pada saat badan kita rusak, maka roh itu akan pergi meninggalkan badan alias mati. Ini adalah sebuah analogi, di mana kalau alam (bhuwana agung) dirusak, maka bhuwana alit juga akan menderita. Pembangunan jalan tol yang merusak bahkan menlenyapkan sawah adalah program pembangunan yang merusak alam Bali, budaya Bali dan mengancam eksistensi manusia Bali. *) Penulis, adalah Guru Besar Emeritus di Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti di Denpasar.