Menyongsong Pilkada Serentak 2024
Demokrasi, Pilkada dan  Marhaenisme

I Wayan Gede Suacana

Oleh : I Wayan Gede Suacana

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak tahun 2024 untuk memilih gubernur, bupati, walikota beserta wakilnya akan digelar 27 Nopember 2024. Dalam penyelenggaraan Pilkada 2024, terdapat tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Saat ini, KPU telah melaksanakan tahapan pendaftaran dan pengundian nomor urut dan masuk dalam masa kampanye bagi para pasangan calon di Pilkada 2024 yang berlangsung di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia. Pertanyaannya,  bagaimana Pilkada bisa mewujudkan nilai-nilai ideal demokrasi di berbagai daerah di Indonesia ?

***

 

Demokrasi Prosedural

Salah satu pemahaman tentang demokrasi adalah orientasi pada praktek pelaksanaan demokrasi. Konsep ini sering disebut demokrasi prosedural. Praktek  demokrasi dilihat sebagai kinerja politik yaitu bagaimana nilai-nilai ideal demokrasi dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam demokrasi prosedural, Bingham Powell menyebut paling tidak ada lima nilai demokrasi: Pertama, legitimasi pemerintahan berdasarkan atas klaim pemerintahan tersebut mewakili keinginan rakyat. Artinya, klaim pemerintahan untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat. Kedua,  pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi adalah pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang diatur, dan pemilih dapat memilih di antara beberapa alternatif pasangan calon. Dalam prakteknya, minimal terdapat dua partai politik yang berkompetisi sehingga pilihan tersebut benar-benar signifikan. Ketiga, sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan. Keempat, penduduk memilih secara rahasia dan tanpa ada paksaan. Kelima, masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar seperti: kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik lama maupun baru berusaha untuk meraih dukungan rakyat.

Terkaitan Pilkada, pemahaman indikator nilai-nilai demokrasi tersebut adalah bahwa demokrasi berkaitan erat dengan akuntabilitas, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar pemilih di daerah. Sebagian dari hak-hak tersebut meliputi: adanya kemungkinan rotasi kekuasaan, proses pencalonan yang bersifat terbuka, sistem pemilihannya teratur dan bebas, dan pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan serta keterbukaan yang kritis antarpasangan kandidat.

Sebagai konsekuensi pelaksanaan sistem demokrasi prosedural, semestinya Pilkada dilandasi oleh prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat pemilih (dan bukan elite parpol) yang berdaulat, oleh karenanya mereka berhak terlibat  dalam segala aktivitas politik, termasuk terlibat aktif dalam proses pemilihan kepala daerah/walikota dan wakil-wakilnya.

Pelaksanaan Pilkada

Sejatinya, hal penting terkait persiapan Pilkada  adalah bagaimana berdemokrasi tak hanya sebatas memilih kepala daerah, setelah itu selesai. Idealnya, rakyat bisa berdemokrasi lebih lanjut dalam sebuah pemerintahan daerah yang baru. Ajaran Montesquieu dan Abraham Lincoln mensyaratkan beberapa hal di antaranya: seberapa jauh unsur-unsur kebebasan, keadilan, representasi politik, artikulasi politik, dan mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan di daerah yang bersifat “check and balance” tercermin dalam kehidupan sehari-hari—bukan hanya mencuat menjelang dan dalam rangka Pilkada.

Praktek demokrasi lewat penyelenggaraan Pilkada langsung saat ini yang mencakup segala kegiatan mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, pengundian nomor urut pasangan calon, kampanye, pemberian suara dan penghitungan suara masih bersifat minimalis. Di satu sisi, patut diakui, ia mengajarkan kebebasan dan kemandirian terutama menjelang dan saat Pilkada, tetapi setelah itu rakyat akan kembali ‘diposisikan’ sebagai ‘anak buah’ yang mengalami marjinalisasi dalam pelayanan publik, keadilan, representasi politik, artikulasi politik, dan partisipasi dalam pengawasan terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan di daerah. Kenyataan itu berarti sudah menyimpang  jauh dari cita-cita Bung Karno yakni untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia lewat praktek ajaran Marhaenisme.

Landasan Marhaenisme

Marhaenisme  sendiri sejatinya merupakan azas yang menghendaki susunan masyarakat dan negara, yang di dalam segala halnya, menyelamatkan dan melindungi kaum marhaen. Marhaenisme adalah cara perjuangan revolusioner, sesuai dengan watak kaum marhaen umumnya. Marhaenisme adalah azas dan cara perjuangan tegelijk menuju hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme

Praktek demokrasi prosedural seperti dipraktekkan dalam Pilkada, sesungguhnya menghadapkan kita kepada bentuk keterlibatan rakyat yang sifatnya masih sangat minimal. Rakyat sebagai pemilih cenderung memberikan suaranya dalam Pilkada hanya sebatas hak dan kewajiban yang lebih merupakan norma  yang sudah diinternalisasikan dan ditopang oleh tekanan sosial yang kuat.

Sebagian besar rakyat berduyun-duyun mendatangi  bilik suara, walau tidak memahami visi, misi, dan rencana strategis sang kandidat, tidak tertarik  dengan materi kampanye yang disodorkan, tidak begitu kenal calonnya dan tidak peduli dengan hasil Pilkada nanti. Tetapi, hal itu dilakukan semata-mata menghindari kontrol sosial dan kecemasan yang muncul karena melanggar norma yang sudah mapan di masyarakat. Hanya sebagian kecil masyarakat pemilih yang melandaskan partisipasi dalam Pilkada dengan keyakinan bahwa kepesertaannya dalam Pilkada adalah metode untuk mengevaluasi, memilih kepala dan wakil kepala daerah dan untuk memengaruhi arah kebijakan daerah. Kalau demikian halnya, maka partisipasi rakyat dalam Pilkada tidak lebih hanya sebagai langkah awal untuk memperkuat posisi tawar rakyat di daerah terhadap pusat dengan tidak adanya lagi intervensi pemerintah pusat dalam Pilkada.

Hal ini sejalan dengan Marhaenisme yang sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan keadilan, persamaan hak, dan memperjuangkan kepentingan rakyat lemah dengan upaya menghapuskan ketergantungan daerah kepada pusat dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan rakyat yang kurang mendapatkan akses politik diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi ke arah pergaulan hidup sama rata, sama bahagia, yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia.

Kesadaran politik rakyat pemilih yang sudah mulai tumbuh dalam Pilkada kali ini, hendaknya tidak berhenti hanya sampai pada tataran budaya politik parokial kaula—dimana rakyat masih tidak terlalu yakin untuk bisa berkompetensi dan terlibat dalam proses politik.  Kondisi ini perlu dikembangkan ke arah tumbuhnya budaya politik partisipan yang lebih bisa menopang pencerdasan politik rakyat.  Dalam tahapan itu, rakyat, baik secara individu maupun kelompok akan lebih mampu berinteraksi dengan pemerintah daerah—sebagai hasil Pilkada secara lebih mandiri. Dengan demikian pengalaman Marhaenisme dalam kehidupan pribadi sebagaimana yang telah diisyaratkan Bung Karno yakni sebagai indikator untuk mengukur kehidupan pribadi rakyat (marhaen) seperti: menumbuhkan jati diri, memiliki harga diri, dan mampu menjadi mandiri, dapat segera terwujud. (*, Penulis, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, Magister Administarsi Publik dan Ketua Pusat Kajian Pancasila Universitas Warmadewa Denpasar)

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email