DENPASAR-Selain harus mengacu pada pustaka-pustaka suci Hindu, sistem aguron-guron (perguruan) dalam waktu yang panjang antara guru/nabe dan sisya (nanak, calon pandita), dhiksa bagi calon pandita hendaknya mempertimbangkan kearifan lokal masing-masing daerah dan kualitas SDM calon pandita (dhiksita). Hal ini penting agar lahir para pandita (Sulinggih) yang berkualitas untuk bisa menjadi pengayom dan memberikan pencerahan dan tuntunan bagi umat Hindu. Demikian disampaikan Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Prof. Dr. I Nengah Duija, M.Si saat memberikan sambutan secara daring dalam Webinar Nasonal Uji Publik Naskah kajian Sabha Walaka tentang Bhisama Pedoman Dhiksa di UNHI Denpasar, Kamis, 17/11/2022.
Menurut Dirjen I Nengah Duija, dhiksa menjadi pandita adalah sebuah panggilan (amanah) bagi setiap umat Hindu sesuai pustaka suci Weda. Dhiksa seyogyanya didahului dengan proses belajar (aguron-guron) dalam waktu yang panjang sampai calon pandita dinilai sudah siap di-dhiksa. Hal ini menurutnya telah tercantum di dalam teks-teks Jawa Kuno seperti Maha Brahmana pada abad VIII hingga IX yang telah dijadikan pedoman dhiksa.
Selain harus menjalani proses, dalam membuat pedoman dhiksa, PHDI juga hendaknya mempertimbangkan kearifan lokal masing-masing daerah. Ia mengajak agar PHDI berkolaborasi dengan Ditjen Bimas Hindu mampu memayungi semua umat Hindu di Indonesia dengan kearifan lokalnya masing-masing. “Proses dhiksa dengan kearifan lokal di Bali juga mesti menjadi pertimbangan sebagai kajian akademik. Jangan sampai kita menciptakan tradisi mendegradasi kearifan lokal daerah lain karena mereka yang di luar Bali juga memiliki sistem dhiksa sesuai kearifan lokal di daerahnya” imbuh I Nengah Duija. Aspek kualitas sumberdaya manusia (SDM) calon Pandita, integritas pribadi, rekam jejaknya hendaknya juga dipertimbangkan dengan baik. “Saya berharap, pedoman dhiksa mempu melahirkan Sulinggih yang berkualitas karena para Sulinggih akan berhadapan dengan umat dan para pendeta ari agama lain” ujarnya. Khabar baiknya, pihaknya telah menyiapkan bea siswa bagi para calon Sulinggih yang mau meningkatkan pengetahuan ilmu agama Hindu.
Ketum Pengurus Harian PHDI, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya alias WBT berharap, nahkah kajian akademik yang akan menjadi pedoman dhiksa pandita mengatur dengan rinci pedoman prilaku, penampilan, tata cara hidup sebagai seorang pandita sehingga lahir para pandita yang benar-benar menjadi panutan, tempat umat Hindu bertanya ilmu agama dan pengetahuan tentang kehidupan. WBT menekankan agar setiap umat Hindu terlebih lagi calon Pandita mampu mengaplikasikan karakter Pancasila. “Sulinggih itu adalah Guru Dharma, guru kebajikan, tempat umat bertanya dan meminta tuntunan” ujarnya. Sementara itu Ketua Sabha alaka, Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Jro Mangku Ageng) menambahkan, naskah kajian akademik tentang pedoman dhiksa akan mengatur prosedur dhiksa dengan memperhatikan dan mempedomani dan menyempurnakan Bhisama Sabha Pandita Tahun 2005 dengan mengadopsi berbagai masukan dalam uji publik tersebut.
Setelah pemaparan materi kajian pedoman dhiksa oleh ketua Tim Kajian, I Made Surada, salah satu dosen UNHI dan penanggap I Gusti Ketut Widana berharap agar teks atau naskah akademik tentang dhiksa itu ada korelasi secara kontekstual (ada korelasi antara teks dengan konteks). Ia setuju dengan Dirjen I Nengah Duija bahwa seorang calon pandita hendaknya punya kualifikasi pendidikan formal yang memadai. “Sulinggih itu wajib bahkan harus profesional, jangan lagi nak mule keto” ujarnya. Ia juga menggarisbawahi syarat integritas moral, susila, kesiapan mental dan track record seorang calon pandita, selain harus paham tata titi tentang acara (upakara/upacara/ritual).
Yang menarik, seorang calon Pandita jaman now diera digital media sosial mesti paham etika bermedia sosial yang bebas dan terbuka. Ia menyebut, beberapa fenomena dhiksita era digital banyak dijumpai sang dhiksita bermedsos ria di dunia maya, ritual online, dan gaya hidup hedonis. Widana mempertanyakan apakah perilaku bermedia sosial seperti itu dibenarkan secara etika? Menurut Widana, yang menjaga kesucian seorang Sulinggih adalah diri beliau sendiri.
Mata Riswan, Tokoh Hindu Tamil dan Ketua PHDI Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara melalui daring menyatakan, seorang calon pandita di kalangan Hindu Tamil mengikuti syarat yang sangat ketat yakni harus memiliki etika moral yang baik, hidup bervegetarian, menguasai Bahasa Sanskerta, dan wajib bisa berbahasa Tamil, tidak boleh merokok, minum miras, berjina dan berjudi. Hindu Tamil, kata Mata Riswan menganut dhiksanam dengan paham Siwa Sidhanta. Para peserta uji publik sepakat bahwa naskah akademik tentang pedoman dhiksa harus mengatur pedoman etika moral, integritas pribadi calon pandita, mengadopsi kearifan lokal sesuai garis perguruan (aguron-guron). Pedoman dhiksa yang diterbitkan PHDI Pusat hendaknya mengacu hal-hal yang bersifat umum, sedangkan hal-hal teknis sesuai kearifan lokal diatur oleh PHDI di daerah masing-masing.
Webinar Nasonal Uji Publik yang dipandu oleh I Gede Agus Dharma Putra dan dibuka oleh Rektor UNHI, I Made Damriyasa ini dihadiri oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba, para Wakil Dharma Adhyaksa, seperti : Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dan Ida Rsi Agnijaya Mukti, sejumlah Sulinggih anggota Paruman pandita PHDI Bali, Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Hubungan Antarlembaga dan Komunikasi Publik I Ketut Sumarya, Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat I Ketut Puspa Adnyana, Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat I Ketut Untung Yoga, Ketua PHDI Prov. Bali I Nyoman Kenak dan Sekretaris PHDI Prov. Bali Putu Wirata Dwikora, para anggota Sabha walaka PHDI Pusat seperti I Made Mandra, A.A. Ketut Diatmika, para pengurus PHDI Bali dan PHDI Kabupaten/Kota se Bali, para dosen UNHI dan tokoh-tokoh Hindu di Bali (*ram).