DENPASAR – Untuk mencegah penyalahgunaan penanganan dan melindungi para pengobat tradisional (yang di Bali disebut Balian) dari sisi hukum, Gotra Pengusada Bali telah memiliki Kode Etik dan segera memberlakukannya. Demikian ditegaskan Ketua DPP Gotra Pengusada Bali, Dr. Putu Suta Sadnyana, S.H, M.H didampingi Wakil Ketua DPP, Dr. I Nyoman Sridana, S.Kes.H, M.Si, disela-sela rapat pimpinan (Rapim) Gotra Pengusada Bali di Denpasar, Sabtu, 17/12/2022.
Gotra Pengusada Bali adalah organisasi profesi Pengobat Tradisional Bali yang dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Bali. Tujuan pembentukan organisasi yang menjadi adah para pengusada Bali (Balian) ini adalah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat dan etika profesi Penyehat Tradisional Bali.
Sementara, Kode Etik atau Sesana Gotra Pengusada adalah pedoman perilaku dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi juga membebankan kewajiban kepada setiap Pengusada untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, baik kepada pasien, negara atau masyarakat.
Secara yuridis normatif, penyehat tradisional telah diakui sebagai suatu profesi, sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurut Suta Sadnyana, untuk menggali, meneliti, menerapkan dan mengembangkan pengetahuan kesehatan tradisional Bali, diperlukan sumber daya manusia (SDM) pengusada dan generasi penerusnya yang akan melestarikan budaya kesehatan tradisional Bali agar mampu memberikan pelayanan kesehatan tradisional Bali yang berkualitas.
Menurut Suta Sadnyana, potensi anggota Pengusada tradisional Bali di seluruh Bali diperkirakan mencapai 5000 orang. Pihaknya sedang melakukan pendataan melalui 9 dewan pimpinan cabang (DPC) kabupaten/kota se Bali. Pihaknya juga akan terus melakukan sosialisasi tentang dasar hukum sekaligus memberikan surat terdaftar pengobat tradisional (STPT) kepada para pengobat empiris yang belum memiliki STPT. Sedangkan untuk pengobat komplementer akan diberikan surat ijin praktek (SIP). “Pendataannya dimulai dari DPC bekerjasama dengan Puskesmas-puskesmas di masing-masing daerah” ungkapnya. Sosialisasi dasar hukum, Kode Etik, STPT dan SIP ini bertujuan agar para pengobat (Balian) terlindungi dari sisi hukum dan mencegah malpraktek.
Suta Sadnyana berharap kepada para pimpinan DPC se Bali dan anggotanya antara lain untuk : (1) Melakukan pendataan pengusada di wilayahnya; (2) Mengadakan pendidikan/pelatihan guna meningkatkan kualitas SDM anggota Gotra Pengusada; (3) Mengadakan FGD untuk mengemas kembali sumber- sumber keilmuan usada merangkum menjadi pohon keilmuan yang terstandar sesuai dengan nomenklatur tanpa meninggalkan essensi keilmuan usada itu sendiri; (4) Menjaga dan mengawasi setiap anggota agar menjunjung tinggi martabat kehormatan profesi sesuai dengan Kode Etik (Sesana) dan peraturan hukum yang berlaku; (5) Memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin.
Sementara itu, Ketua DPC Gotra Pengusada Bali Kabupaten Klungkung yang juga Wakil Bupati Klungkung, I Made Kasta berharap, ada kesamaan kesamaan persepsi dalam menjalankan profesi sebagai pengusada, melayani masyarakat, bukan untuk menunjukkan kesaktian. Ia juga berharap, antar-pengusada Bali terjadi sinergi, koordinasi dan kerjasama dalam melakukan pelayanan kesehatan tradisional. Menurut Kasta, sesungguhnya para Pengusada Bali (Balian) telah punya kode etik dalam susastra yang disebut Buda Kecapi. “Buda Kecapi adalah kodek etik seorang Balian Usada” ujarnya. Namun demikian, Kode Etik yang telah disusun saat ini menurutnya sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan penanganan pasien. Rapim Gotra Pengusada Bali yang dihadiri Dewan Penasihat, Dr. dr. I Ketut Suparna, Sp.B (ONK), M.Si, dr. Tjokorde Gde Darmayuda, Sp.PD, Dewan Pembina dan para pengurus DPC Gotra Pengusada se Bali itu membahas sosialisasi AD/ART, kode etik, administrasi STPT dan program kerja (*ram).