Menata Ulang Residu Kebijakan Negara terhadap Agama Lokal di Indonesia
I Nyoman Yoga Segara, Guru Besar Ilmu Antropologi Budaya

Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa mengukuhkan I Nyoman Yoga Segara sebagai Guru Besar Ilmu Antropologi Budaya pada 7 Desember lalu. I Nyoman Yoga Segara lahir di Desa Serangan, Denpasar Selatan. Nyoman menyelesaikan S1 Sastra dan Filsafat Agama Hindu, Universitas Hindu Indonesia (1998) dengan predikat Cum Laude; S2 Ilmu Filsafat ia selesaikan di Universitas Indonesia (2004); dan S3 Ilmu Antropologi di Universitas Indonesia (2011) dengan predikat Cum Laude.

Pria yang menyelesaikan program studi doktor di UI hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun ini mengawali karir sebagai PNS di Kementerian Agama RI sejak 1999. Selain menjadi Wakil Ketua I dan Dosen Tetap Yayasan di STAH Dharma Nusantara Jakarta sejak tahun 2000, ia juga mengajar di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Binus University Jakarta dan Universitas Mercu Buana Jakarta. Pernah menjadi Widyaiswara Madya di Pusdiklat Tenaga Administrasi dan Peneliti Sosial-Kemasyarakatan di Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Nyoman kemudian pindah ke Bali menjadi dosen di IHDN Denpasar, yang kini berubah nama menjadi UHN IGB Sugriwa Denpasar. Kini, I Nyoman Yoga Segara tinggal di Segara di Serangan, Denpasar Selatan bersama istri, Dian Karina dan kedua putranya, I Gde Amartya Sattvika Segara dan I Kadek Chaka Sababathi (Foto : I Nyoman Yoga Segara (tengah) diapit oleh dua temannya sesama ASN di Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama saat di Gedung Paska Sarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa).

Karya Ilmiah Terpilih

I Nyoman Yoga Segara tergolong dosen yang sangat aktif melakukan penelitian ilmiah. Dalam 5 tahun terakhir, ia telah menyelesaikan sejumlah karya ilmiah yakni: (1). BADAU: Praktik Keagamaan dan Potensi Intoleransi di Wilayah Perbatasan Negara. Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2017. (2). Persepsi Umat Beragama terhadap Keberagaman di Media Sosial (Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur). Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2018; (3). HINDU ALUKTA: Sejarah, Keberadaan, Aktivitas, dan Dinamikanya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama, 2019; (4). Problem dan Solusi Pasca Penerapan PMA Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2020.

Tak hanya itu, ia sangat produktif menulis artikel ilmiah. Artikel Ilmiah (Jurnal) yang pernah ia hasilkan adalah : (1). “Modin sebagai Patronase Perkawinan di Kota Semarang, sebuah tinjauan Antropologi Budaya.” Jurnal Harmoni Vol. 16 No. 1 Tahun 2017. Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama; (2). “Hindu Spiritual Groups In Indonesia And Their Active Roles In Maintaining Harmony.” Analisa Journal of Social Science and Religion. Vol. 3 No. 1 Tahun 2018. Balai Litbang Agama Semarang; (3). “The Cultural Treasures of Kampung Bugis In The Customary Village Of Serangan, Denpasar.” Heritage of Nusantara. International Journal of Religious Literature and Heritage. Vol. 7 No. 1 Tahun 2018. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama; (4). “Kampung Sindu: Jejak Islam dan Situs Kerukunan di Keramas, Gianyar, Bali.” Jurnal Lektur Keagamaan. Vol. 16 No. 2 Tahun 2018. Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama; (5). “Tubuh Perempuan Hindu dan Budaya Dominan di Bali: Antara Perspektif Agama, Budaya dan Realitas Kontemporer.” PENAMAS. Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat. Vol. 31 No. 1 Tahun 2018. Balai Litbang Agama Jakarta; (6). “Ngempon: The Role-Sharing Strategy of Hindus and Muslims in Bhur Bwah Swah Temple, Karangasem, Bali.” JANTRO. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya. Vol. 21 No. 2 tahun 2019. FISIP Universitas Andalas, Padang; (7). “Becoming Balinese Islam: Bale Banjar and Subak in Islamic Village of Segara Katon, Karangasem, Bali.” Etnosia: Jurnal Etnografi Indonesia. Vol. 3. No. 2 Tahun 2019. FISIP Universitas Hasanudin, Ujung Pandang; (8). “The Dynamic of Hindu Alukta in Tana Toraja, South Sulawesi.” International Journal of Multidisciplinary Educational Research Vol. 9 No. 3(4) Tahun 2020. Andhra University, Andhra Pradesh, India; (9). “Managing the Public Space as a Means of the Procedural Mechanism of Dispute Resolution in Badau, Indonesia.” Test Engineering & Management. Vol. 83 MarchApril, 2020. Mattingley Publishing Co., Inc. dan (10). “Positive Religious Coping, Cultural Anthropology of Woman Rights and WellBeing of Hindu Women in Bali Indonesia: Meditation of Socio-Economic Women Rights.” Journal of Ethnic and Cultural Studies (JECS). Vol. 8 No. 3, 2021. Copyright © Center for Ethnic and Cultural Studies (CECS) Publishing Inc.

Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar

“Menata Ulang Residu Kebijakan Negara terhadap Agama Lokal di Indonesia” adalah judul orasi ilmiahnya saat pengukuhan I Nyoman Yoga Segara menjadi Guru Besar UHN I Gusti Bagus Sugriwa dalam bidang Ilmu Antropologi Budaya. “Saya ingin menjadikan Hindu Alukta di Tana Toraja sebagai pintu masuk untuk membuka dialektika tentang bagaimana peran negara dan strategi bertahan penganut agama lokal, diskursus yang sampai saat ini masih hangat menjadi perbincangan publik” ujarnya. Belajar dari kasus Hindu Alukta tersebut, naskah orasi yang ia susun bertujuan untuk menjawab dugaan bahwa telah terdapat pengabaian dari negara terhadap keberadaan Hindu Aluka di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Dalam orasi ilmiahnya I Nyoman Yoga Segara mengurai, berdasarkan kondisi sosial-budaya dan politik lokal yang terjadi di Tana Toraja, ada sejumlah tesis yang menurutnya dapat didiskusikan lebih lanjut. Dengan memperhatikan belum selesainya residu masalah yang ditinggalkan dari proses integrasi Hindu Alukta dan pasca Putusan MK 97/2016, maka ia merumuskan empat kesimpulan.

Pertama, ”agama lokal” yang ada diberbagai daerah telah mengalami beberapa kali perubahan nama, termasuk Hindu Alukta dalam kasus ini. Perubahan nama ini sering disebabkan oleh faktor eksternal, namun ada juga yang tetap memakai nama sejak awal ”agama lokal” itu dianut. Namun ”agama lokal” yang dalam dugaan Niel Mulder (1999:3) hanya dianggap sebagai bentuk sinkretisme, dalam riset yang saya dan tim lakukan ditolak. Hal ini bisa terjadi karena penganut ”agama lokal” pada dasarnya tidak statis, tetapi terus dinamis dalam menjalani kehidupan di dunia nyata, sebagaimana Antonio Gramsci (1971) menyebutkan bahwa manusia sesungguhnya tidak bisa hidup dalam kevakuman, tetapi terus aktif bergerak.

Kedua, ”agama lokal” kini banyak mengalami pergeseran makna ajaran dan bentuk ritual. Pergeseran ini dilakukan untuk menghindari stigma dan stereotype dari masyarakat, baik yang masih menganut kepercayaan awal maupun yang telah berintegrasi dengan agama mainstream. Strategi ini penting mereka kalkukasi karena ketika agama sebagaimana didefinisikan negara secara sepihak, maka ia tidak akan pernah sama dengan keyakinan mereka sebelumnya yang sangat dekat sebagai kombinasi adat, moralitas dan tradisi (lihat Jane Monning Atkinson, 1987: 175). Dalam kasus Hindu Alukta, mereka memilih Hindu karena pertimbanganpertimbangan semacam ini, misalnya menghindari tekanan dan pandangan menyimpang dari agama selain Hindu karena dalam beberapa ritual mereka menggunakan bahan yang dianggap haram. Pertimbangan lainnya, mereka masih boleh menjalankan aktivitas adat istiadat kepercayaan lokalnya karena agama selain Hindu, mereka akan ”dipaksa” seragam.

Ketiga, secara umum, ”agama lokal” tidak mengalami perkembangan yang signifikan terutama kuantitas penganut maupun aktivitas sosialnya, bahkan mengalami penyusutan yang sangat signifikan, termasuk dalam kasus Hindu Alukta. Mereka masih memiliki keleluasaan untuk mengamalkan ajarannya, namun keleluasaan ini sebetulnya mereka dapatkan akibat arus kebebasan pada orde reformasi yang secara tidak langsung berpengaruh pada birokrasi pemerintahan. Simpulan ini seturut dengan pendapat Olaf Schuman (2000: xxv) yang menyatakan bahwa jika negara tidak lagi terkait dengan prinsip salah satu agama, maka ia tidak lagi mengurusi soal benar tidaknya suatu keyakinan agama, melainkan bagaimana negara memberi jaminan beragama dan berkeyakinan yang setara kepada semua warga negaranya.

Keempat, respon pemuka agama dan pemerintah pada umumnya dapat menerima kehadiran ”agama lokal” karena pertimbangan HAM dan terutama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Orasi Pengukuhan Guru Besar – I Nyoman Yoga Segara 13 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memberikan kebebasan bagi setiap individu menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Simpulan ini memperkuat kembali posisi negara yang harus mampu mengimplementasikan seperangkat regulasinya, dan menihilkan diskriminasi sehingga ”agama lokal” tetap mendapat ruang ekspresi keagamaan yang proporsional (Ibnu Qoyim, 2004: 28). Meskipun demikian, implementasi pembinaan dan pelayanan dari regulasi ini juga harus diperluas bukan saja kepada “agama lokal” yang masih bertahan sebagai “agama lokal” tetapi “agama lokal” yang telah bergabung dengan agama mainstream, seperti Hindu Alukta (Sumber : Orasi Ilmiah I Nyoman Yoga Segara, 7 Desember 2021).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email