Kemiskinan Petani, Tidak untuk Ditangisi, Tapi Diberi Solusi

Budaya Pertanian, bertahan ditengah tantangan

Oleh : Wayan Windia*)

Komunitas petani adalah warga kerak kemiskinan. Prof. Mubyarto menyebut, kerak kemiskinan yang paling keras adalah kalangan buruh nelayan di tepi pantai, dan petani yang berdomisili di tepi kawasan hutan. Analisis yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia Perwakilan Bali menyatakan, ada hubungan antara pertumbuhan sektor pertanian dengan kemiskinan di Bali.

Kalau ada pertumbuhan yang nyata/signifikan di sektor pertanian, maka kemiskinan di Bali akan berkurang. Hal ini bermakna bahwa, kalau ada pertumbuhan yang nyata di sektor pertanian, maka akan bermanfaat pada dua dimensi yakni (1) kemiskinan akan berkurang, dan (2) pemerataan (pendapatan dan regional) akan semakin baik.

Tetapi, apa pun yang terjadi, kemiskinan bagi petani, tidaklah untuk ditangisi. Mereka tetap bekerja keras, melakukan berbagai ritual di Subak dan menyediakan pangan untuk konsumennya. Mereka tidak pernah menangisi kemiskinannya, dengan melakukan demonstrasi, untuk menuntut kenaikan upah, sebagaimana dilakukan oleh komunitas buruh.

Tetapi, kalau sampai petani terpaksa harus turun ke jalan, maka itu berarti situasinya sudah sangat parah. Walau suatu ketika di WA Grup saya pernah beberapa kali melihat bahwa, 2.700 Pekaseh Subak di Bali siap turun ke jalan untuk menuntut keadilan, alaupun tidak terbukti sama sekali. Kenapa? Karena secara teoritis, orang-orang miskin tidak suka berorganisasi. Mereka sibuk dengan kemiskinannya. Apalagi kalau diajak demo, rasanya sangat sulit kecuali mereka diberikan kompensasi yang wajar.

Patut dicatat bahwa hampir 10 tahun, harga eceran tertinggi (HET) gabah tidak pernah dinaikkan oleh pemerintah. Tetapi para petani toch tak pernah demo. Tapi, tatkala tahun lalu, ombudsman mengusulkan kepada pemerintah agar HET gabah dinaikkan, reaksi pihak pemerintah justru sinis. Menteri Perdagangan berdalih, kalau HET gabah dinaikkan, maka semua harga barang akan naik. Inflasi juga akan naik.

Terus terang saja, apakah petani kita yang sudah sangat miskin ini, terus-menerus harus menjadi bamper inflasi? Kemudian, selalu harus “memberi” kepada orang kaya di perkotaan? Sungguh suatu fenomena yang sangat tragis. Mestinya, kita harus mencoba menghentikan eksploitasi terhadap keringat orang-orang miskin, seperti halnya komunitas petani. Mereka sudah terlalu lama menderita.

Penderitaan petani kita, tercermin dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang besarnya kurang dari 100. Ini artinya, petani merugi. Di samping itu, sumbangan sektor pertanian pada perekonomian Bali nyaris hanya mencapai 12%. Angka ini suatu penurunan yang drastis sejak 50 tahun lalu. Kalau sumbangannya turun terus, itu bermakna bahwa pemerintah tidak ngeh pada sektor pertanian.

Gubernur Mangku Pastika pernah berwacana bahwa bahwa pendapatan petani Bali harus naik dua kali lipat dalam masa pemerintahannya. Atau pernah juga diwacanakan agar pendapatan petani Bali bisa setara dengan gaji karyawan kapal pesiar. Tetapi ide yang diwacanakan itu tidak pernah tercapai. Pernah dibangun program Simantri, tetapi tidak di bawah kendali Subak. Justru di bawah Gapoktan. Terbukti, berdasarkan beberapa hasil penelitian untuk disertasi di Univ. Udayana, program Simantri tidak efektif,.

Selanjutnya, Gubernur Koster membuat Pergub No. 99 Tahun 2018 dengan tujuan untuk menaikkan NTP petani Bali. Tetapi ide ini pun tidak pernah tercapai hingga saat ini. Kenapa, karena tidak ada pengawasan terhadap isi pergub itu. Yah, memang demikianlah. Faktanya, tidak mudah menolong orang-orang miskin seperti kaum petani. Diperlukan niat baik, komitmen, kesungguhan, konsistensi dan harus berkelanjutan. Tidak bisa hanya diwacanakan atau dibuat berbagai peraturan saja lalu urusannya dianggap selesai. Tidak bisa seperti itu. Wacana atau aturan, harus tercermin operasionalisasinya dalam politik anggaran di APBD.

Wacana atau aturan yang dibuat oleh pemerintah berkait dengan kehidupan petani, tidak pernah mendapat respon dari petani kita. Organisasi-organisasi yang berkait dengan kehidupan petani, seperti halnya HKTI, Menjelis Subak, dan lain-lain, suaranya nyaris tak terdengar. Kalau pun mereka bersuara, tetapi nyaris tak pernah didengar oleh pihak yang berwenang. Para elit terlalu sibuk dengan urusan lain di luar sektor pertanian.

Pada suatu kesempatan, pernah ada diskusi antara HKTI, DPRD Bali (diwakili oleh Ketua Komisi II), dan Ketua Bappeda Prov. Bali. Setelah melalui perdebatan, lalu ada kesepahaman, bahwa nilai anggaran untuk sektor pertanian di APBD Bali minimal 5%. Itu sudah bagus. Tetapi ternyata tidak pernah ada realisasinya. Sekali lagi, kasus ini menandakan bahwa kaum elit kita, memang tidak begitu ngeh dengan pembangunan sektor pertanian.

Seperti biasanya, mereka akan tersadar pada urgensi sektor pertanian setelah ada bencana, setelah ada perang, ketika menjelang Pemilu, atau setelah harga pangan melambung tinggi. Salah satu penyebab jatuhnya Orde Lama (ORLA) di masa lalu adalah karena harga kebutuhan pokok (khususnya beras) yang membubung, hampir dua kali dalam sehari. Lalu ada demo, yang dilakukan oleh mahasiswa, pelajar dan sarjana.

Tetapi petani tetap bekerja keras. Sekali lagi, kemiskinan yang dideritanya, tidak untuk ditangisi. Mungkin pula karena air matanya sudah kering dan habis. Tetapi suatu ketika,  jika petani harus turun ke jalan dengan membawa cangkul, bajak dan sabit, itu tandanya pemerintah harus waspada. Suasana kebathinan seperti itu harus diantisipasi sejak dini oleh pemerintah dengan secepatnya, tanpa perlu basa-basi, tapi dengan memberi solusi.  *) Penulis, adalah Guru Besar (Emeritus) pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email