Oleh : Wayan Windia *)
Akhir-akhir ini di Bali makin banyak kegaduhan berbasis Pura. Ini fenomena sosial apa ya? Gaduh yang paling baru adalah konflik saling gembok di Pura Shri Nararya Kreshna Kepakisan di Kabupaten Klungkung, Bali. Konfliknya, antar-pasemetonan. Seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah, karena mereka sama-sama satu trah/klen artinya mereka menyame (bersaudara). Tapi anehnya, kok sesama saudara mecongkrah (bertengkar)?
Sebelumnya, telah juga muncul friksi berbasis Pura Masceti di Kabupaten Gianyar. Friksi ini terjadi antara Desa Adat Medahan dengan Subak. Nah, ini kasusnya agak ruwet. Desa adat Medahan ingin menguasai Pura Masceti, padahal sejak berabad-abad yang lalu, Pura Masceti itu dikelola oleh Subak. Demikian catatan dari Desa Adat Keramas, Tedun dan Celuk.
Saat kepemimpinan Cokorde Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok. Ace sebagai Bupati Gianyar, telah juga pernah muncul kasus konflik berbasis kuburan di Kawasan Singakerta. Namun, dengan tangkas dapat diselesaikan dengan cara-cara yang beradab. Akhirnya, bisa muncul kesadaran baru di antara warga yang berkonflik. Bahwa sejak zaman bahula leluhurnya bisa berdamai dan berharmoni, berkait dengan pembangunan/pemanfaatan kuburan itu bersama-sama, bergotong royong. Lalu, kenapa sekarang harus dikonflikkan ? Mosok tidak bisa memelihara warisan kebajikan yang diwariskan oleh leluhurnya?
Dapat dibayangkan, bagaimana susahnya leluhurnya jaman dahulu kala, bekerjasama membangun kuburan bersama. Kini keturunannya, hanya memelihara saja tidak bisa. Bahkan, justru malah sebaliknya, bikin konflik. Apa tidak malu ya ? Pendidikannya sudah tinggi-tinggi, pengalaman masyarakatnya luas, kok bisanya hanya berkonflik. Yang aneh, mereka justru meng-konflik-an warisan leluhur yang dahulu bersatu dan berharmoni, untuk membangun kuburan bersama.
Saya mencatat bahwa terjadi eskalasi linier dari basis konflik sosial tersebut. Semula berbasis kuburan, sekarang berbasis Pura. Lalu apa penyebabnya ? Saya menduga bahwa basisnya adalah ekonomi untuk kasus gaduh di Pura Masceti. Hal ini sangat logis, karena saat ini manusia telah diselimuti dengan motif dan pikiran ekonomis, dampak dari globalisasi.
Lalu, apa penyebab kasus di Pura Shri Nararya Kreshna Kepakisan, Klungkung? Karena kasusnya antar-pasemetonan, mungkin saja penyebabnya adalah masalah sosial. Kalau masalah sosial, maka obatnya haruslah ada proses komunikasi sosial. Oleh karenanya, semoga tindakan dan mediasi yang diambil oleh Ajik Long akan membawa hasil. Saya kira hal itu akan dicapai, bila Ajik Long mampu secara integral bersikap netral.
Secara teoritis, fenomena sosio-budaya akan mengalami proses transformasi, sebagai akibat dari pengaruh eksternalitas. Sebagai output dari proses transformasi itu, mungkin saja memunculkan akulturasi, yang justru merugikan era-nya. Kenapa? Karena manusia-manusia yang eksis pada era ini, mungkin telah diselimuti sikap individualistic, hanya dirinya yang hebat, paling berjasa (nigtig tangkah, nyapa kadi aku). Bahwa hanya dia yang paling benar dan menang, pihak lainnya salah dan harus kalah.
Konflik dan friksi selalu akan terjadi, bila sudah dipasang konsep pemikiran dikotomis. Pemerintah terlalu banyak yang harus dipikirkan. Tidak akan mampu sepenuhnya mengurus masalah-masaah sosial budaya. Kecuali kalau pemerintah mampu membangun “kesadaran baru” masyarakatnya. Seperti halnya penyelesaian kasus konflik kuburan di Singakerta. Kalau pemerintah tidak mampu, maka masalah sosial itu akan terus menjadi “api dalam sekam” yang setiap saat akan membara.
Berabad-abad yang lalu, kehadiran Pura justru menjadi alat pemersatu sosial. Misalnya, beberapa Subak bersepakat untuk menghimpun dirinya menjadi Subak-gde, kalau mereka telah bersepakat untuk mengempon/nyungsung satu Pura tertentu sebagai parhyangan-nya. Demikian pula bila mereka bersepakat untuk membentuk Subak-agung.
Mugkin karena era ini adalah era kaliyuga. Maka semua hal yang baik dan luhur warisan leluhur, justru kini diimplementasikan untuk hal yang tidak baik, bikin hancur lebur. Serba terbalik. Mestinya kita malu, bahwa dahulu leluhur kita sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal, kok mampu membangun kebajikan-kebajikan, nilai-nilai luhur. Hal itu mungkin bisa terjadi, karena leluhur kita mengasah nilai-nilai soft skill, dan bukan sekadar hard skill. Saat ini, bahkan sistem pendidikan kita tidak lagi mengajarkan budi pekerti. Bahkan pendidikan Pancasila baru saja akan diwajibkan, setelah agak lama gabeng.
Buku Ekologisme Batur, karya Jero Penyarikan Duuran, Desa Batur mengurai tentang Pura yang mampu mempersatukan masyarakat desa. Misalnya, Pura Batur yang mempersatukan beberapa desa di kawasan itu, lalu dipersatukan menjadi Desa Batur. Ada lagi, dua buah desa di kawasan tersebut, yang pada jaman Bali Mule mampu dipersatukan oleh sebuah Pura, untuk menghindari friksi.
Oleh karenanya, saya ingin meminta perhatian publik, agar kita selalu/setiap hari (termasuk setiap hari raya Nyepi) melakukan introspeksi diri. Introspeksi untuk mengenang leluhur kita yang dahulu bersusah-payah membangun kebudayaan Bali, membangun kearifan lokal, kearifan menyama braya, paras-paros, sagilik saguluk salunglung sebaya antaka. Para tetua Bali telah membangun values, nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan, membangun aspek sosial, dan membangun artefak/kebendaan, yang kita warisi saat ini. Bahkan banyak di antara warisan leluhur itu terbukti memberikan keuntungan dan nafkah bagi masyarakat yang mewarisi. Misalnya, Subak di Jatiluwih, Pura, Subak, Desa Adat dan lainnya. Lalu, kenapa kita sebagai anak-cucunya, harus meng-konflik-kannya ? Renungkan dan pikirkanlah itu. *) Penulis adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud dan Ketua Stispol Wira Bhakti, Denpasar.