Kepanditaan: Diksa Pariksa, Diksa Dwijati dan Peran Phdi

JMA Ketut Puspa Adnyana

Pengantar Redaksi :

Hiruk pikuk kasus foto Sulinggih berciuman yang viral di media sosial, sangat menghebohkan jagat maya. Bagaimana sesana (etika, dharmaning kawikon) bagi seorang Sulinggih, apa akibatnya jika seorang Sulinggih melanggar sesana (etika, dharmaning kawikon), lalu siapa yang bertanggung jawab, mari kita baca sampai tuntas artikel di bawah ini.

Om Swastyastu. Sembah sujud di kaki Padma-Mu, Sumber Kehidupan, Shang Hyang Embang. Sujud kehadapan Para leluhur dan Pandita Suci, mangde ten keneng upadrawa.

PENGERTIAN DIKSA

Setiap agama mempunyai rohaniwan yang sangat dihormati oleh umatnya. Rohaniwan umat Hindu berjenjang dan yang paling utama adalah Sulinggih (Pandita). Seseorang dapat menjadi pandita melalui sebuah lembaga diksa yaitu Diksa Dwijati. Diksha (Sansekerta) juga dieja diksa, deeksha atau deeksa dalam penggunaan umum, diterjemahkan sebagai “persiapan atau pentahbisan untuk upacara keagamaan”. Diksha berasal dari akar kata Sansekerta dā (“memberi”) plus kṣi (“menghancurkan”) atau secara bergantian dari akar kata kerja dīkṣ (“menguduskan”). Dengan demikian arti diksa adalah upacara penetapan (penasbihan) seseorang menjadi pandita oleh seorang guru nabe. Ketika pikiran guru dan murid menjadi satu, maka bahwa murid telah diinisiasi oleh guru. Diksa bisa bermacam-macam jenisnya, melalui penglihatan, sentuhan, atau perkataan guru, dengan tujuan mensucikan murid atau muridnya. Inisiasi dengan sentuhan disebut sparśa dīkṣā. Penganugerahan rahmat ilahi melalui diksa disebut juga aktipāt. Wisnu Yamala (tantra) mengatakan: “Proses yang melimpahkan divyam jnanam (transendental, pengetahuan spiritual) dan menghancurkan dosa (pāpa), benih dosa dan kebodohan, disebut diksha oleh orang-orang spiritual yang telah melihat Kebenaran (desikais tattva- kovidaih). Dalam Atharvaveda XII. 1.1, ditemukan mantram: “Satyam brhad rtam ugram diksa ya topo brahmayajna prithivim dharyanti”. Artinya: Sesungguhnya Satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna yang menyangga Dunia”. Berdasarkan mantra mini bahwa tujuan diksa adalah untuk menjaga dunia. Artinya keberadaan seorang diksita melakukan puja memohon keselamatan dunia. Karena itu seorang disksita telah memahami berbagai aspek ketuhanan dengan disiplin yang tinggi (yogi). Hal tersebut dinyatakan dalam Pustaka Suci Yajurveda manram XIX. 36, yang dapat dibaca: “Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”. Artinya: “Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha seseorang mencapai satya”. Dengan melaksanakan diksa, seseorang akan mencapai kesadaran dan kepercayaan yang tinggi kepada Tuhan dan keesaan Tuhan. Melalui kesadaran ini seseorang diksita akan menjadi setia kepada kewajibannya. Setiap umat Hindu berdasarkan pengertian ini sebenarnya wajib melakukan diksa, sebagaimana disebutkan dalam lontar Vrhaspatittatva seloka 25 bahwa diksa yang merupakan kewajiban setiap umat Hindu yang dijabarkan melalui tujuh pengamalan Dharma, yaitu: sila, yajna, tapa, dana, pravrjya, diksa dan yoga. Berdasarkan tradisi aguron-guron, tradisi dan sekte (parampara, sampradaya) memperlakukan diksa dengan berbagai cara. Tantra menyebutkan lima jenis inisiasi atau diksa: inisiasi dengan ritual atau samaya-diksa; sparsa-diksa adalah inisiasi dengan sentuhan dan dilakukan tanpa ritual; vag-diksa dilakukan dengan kata atau mantra; sambhavi-diksa muncul dari persepsi penampilan luar guru; mano-diksa adalah ketika inisiasi dilakukan dalam pikiran. Pelaksanaan diksa di Indonesia dapat dikatakan masuk dalam tipe samaya-diksa. Dalam pustaka Siva Sasana dsebutkan bahwa “sejak seseorang mendapat diksa atau upacara penyucian, mereka dikenal sebagai dwijati dan dari padanya mulai mematuhi segala peraturan kebrahmanaan”. Setelah melakukan diksa, seorang pandita atau pinandita memiliki wewenang melakukan loka pala sraya, yaitu wewenang dalam memimpin atau menyelesaikan berbagai yajna termasuk dalam memberikan air suci (tirtha) sesuai tingkatannya.

PANDITA GURU NABE (DHANG UPADYAAYA)

Dalam lembaga diksa Dwijati kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya. Agar tidak terjadi pengingkaran terhadap sasana/dharmaning kawikon. Maka demi menegakkan Dharma berdasarkan ketentuan sastra, seseorang yang akan menjadi Pandita wajib mengangkat Guru Nabe (manavaguru), Guru Vaktra, Guru Saksi, selain Siddha Guru ataupun Divya Guru. Orang yang sudah melakukan diksa Dwijati disebut Pandita (Sulinggih). Sulinggih bersal dari akar kata “su” artinya utama dan “linggih” artinya (kedudukan) jadi Sulinggih adalah orang yang memiliki kedudukan utama. Karena telah mendapatkan kedudukan yang utama seorang pandita/sulinggih telah mencapai kesucian lahir batin dalam tingkatan dwijati. Dwijati artinya lahir dua kali. Lahir pertama adalah dari rahim ibu. Lahir kedua adalah lahir dari weda. Lahir kedua, sebagai manusia suci tanpa cacat/cela. Sebagai seorang dwijati, wujud, status, sesana yang lalu (walaka), karma wasana walakanya dianggap tidak ada atau sudah mati. Beliau lahir kembali dalam lembaran hidup baru. Wujud (penampilan), nama, status, sesana, dan karma wasananya baru. Untuk itu, dalam diksa pariksa (pemeriksaan calon sulinggih/diksawan) terlebih dahulu dinyatakan tidak cedaangga (tidak cacat), bebas masalah hukum pidana maupun perdata. Dalam diksa dwijati seseorang mendapatkan abhiseka melalui upacara amari aran dan mati raga. Pelaksanaan Diksa Dwijati disamping berdasarkan susastra atau lontar-lontar, PHDI juga telah menetapkan bhisama Diksa Dwijati. Ida Pedanda Putra Telaga (mantan Ketua Umum PHDI Pusat) mengartikan, bhisama adalah suatu piteket, perintah, titah secara niskala datang dari atas atau dari penglingsir. Beliau menambahkan bahwa bhisama merupakan warah-warah dari leluhur yang berisi suatu nasihat yang bertujuan untuk mengatur, dan apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi secara niskala, moril dan kena kutukan. Artinya bahwa bhisama wajib diikuti oleh umat Hindu agar memperoleh karma baik. Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati, merupakan hasil Pesamuhan Agung PHDI Tahun 2005, yang merupakan lampiran Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Nomor: 07/Kep/P.A.Parisada /VII/2005 Tanggal 13 Juli 2005, tentang Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor : O4/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati. Bhisama ini mengatur mekanisme pelaksanaan Diksa Dwijati yang memberi hak prerogatif kepada Nabe untuk melakukan diksa. Dalam pelaksanaannya PHDI memberikan dukungan administrasi, baik pada awal maupun akhir pelaksanaan Diksa Dwijati. Pada awal memberikan rekomendasi berdasarkan pelaksanaan diksa pariksa. Yaitu memeriksa kelengkapan administrasi sebagai persyaratan seseorang dapat mengajukan diksa dwijati kepada nabenya. Setelah selesai PHDI memberikan sertifikat Loka Pala Sraya. Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati ini tidak mengatur sasana kawikon atau sanksi/hukuman terhadap sulinggih yang melakukan pelanggaran sesana kawikon. Dalam Pustaka Siwa Sasana (Sloka 11) dijelaskan tentang persyaratan sikap perilaku seorang sisya yang dapat menjalani upacara Diksa Dwijati, yaitu: (1) Punya janma : bersifat sosial; (2) Maha prajnana: arif bijaksana; (3) Satya wak : setia dengan kata-kata; (4) Sadhu : saleh; (5) Silawan : berbudi baik; (6) Sthira : tangguh; (7) Dhairya : berani dan (8) Swami bhaktya : bhakti kepada junjungan. Kemudian ditambah lagi syarat lain yaitu Suddha janma: orang suci, maha pawitra kawangannya: kelahiran dari keluarga suci, wang satya wacana: orang yang jujur berkata-kata, wang sujana tuhu-tuhu: orang yang baik yang benar-benar mahardika, wang prajna wruh mengaji : orang pandai yang tahu mengkaji pengetahuan, wang satwika sadhu mahardika: orang yang sungguh – sungguh saleh (Bijaksana), wang susila apageh ring winaya : orang berbudi baik tetap hati pada winaya, wang sthira stiti ring abhipraya: orang yang teguh dengan tujuan, wang dherya dharaka angelaken : orang yang tahan uji menanggung suka duka, wang satya bhakti matuhan : orang yang setia bakti kepada junjungan, wang mahyun ring kagayaning: orang yang mau melaksanakan dharma (Dharma karya), wang mapageh magawe tapa : orang yang teguh melaksanakan tapa. Yang tercantum dalam sloka (17a). Dengan pemperhatikan persyaratan tersebut, sungguh sulit persyaratan menjadi seorang pandita. Syarat ini juga bermakna sebelum melaksanakan diksa dwijati sifat-sifat dan sikap tersebut juga sudah mendarah daging dalam jiwa seorang calon diksita. Pustaka Shanghyang Siwa Sasana juga menjelaskan seseorang yang tidak boleh melaksanakan diksa, yaitu: wang cuntaka: orang memegang mayat, pernah dihukum, pernah dikencingi, pernah dipukul kepalanya dan sebagainya, wang patita walaka: orang yang menyembah orang yang paling rendah derajatnya, orang yang memikul usungan yang berisi orang, tikar, kasur dan sebagainya, wang sadigawe seperti : mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang hina, wang banijakrama: yaitu berjual beli, wang wulu-wulu: seperti membuat periuk, menjadi tukang dan sebagainya, wang candala: seperti menjadi jagal, tukang cuci dan sebagainya, wang kuci angga: seperti orang cebol, bungkuk, bulai dan sebagainya, wang maha duhka: orang yang menderita penyakit kusta, gila, ayan, buta, tuli, bisu, pincang dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan pada sloka (18a).

KETENTUAN UMUR BOLEH MEDIKSA

Umur seseorang sisya juga menjadi pertimbangan yang penting dalam melaksanakan diksa. Sang guru nabe harus mempertimbangkan umur calon diksita. Dalam Lontar Shanghyang Siva Sasana dijelaskan pada sloka 10 (a,b dan c). Sloka 10a menyebutkan bahwa sang guru nabe harus benar benar memperhatikan umur calon diksita. Sebab umur ini bukan saja berpengaruh pada kematangan jiwa seseorang, namun juga terkait dengan tanggungjawab. Jika anaknya masih muda demikian juga istrinya, sebaiknya jangan melakukan diksa. Selanjutnya dijelaskan ada tiga terkait dengan dengan umur, yaitu: (1) bila ia keturunan seorang sadhaka yang turun-temurun dan terus-menerus boleh didiksa oleh guru nabenya pada umur 50 tahun; (2) bila calon diksita bukan dari sadhaka ia baru dapat didiksa bila sudah berumur 60 tahun; dan (3) bila calon diksita masih memiliki anak-anak dan istri yang masih muda terutama belum baki (masih datang bulan).

PELANGGARAN SESANA

Siapakah yang menghukum pandita yang melanggar sesananya? Menurut Lontar Siva Sasana, baik Guru Nabe dan pandita yang melakukan pelanggaran patut menerima hukuman. Pada Sloka 15a, 15 b dan 16a. Hukuman kepada Pandita Guru Nabe dan pandita sisya, keduanya mendapat hukuman. Bagi Guru Nabe hukumannya adalah dicabut kepanditaannya, namanya dikembalikan pada masa walaka, ditarik seluruh sarana kepanditaannya, diusir dari tempat tinggalnya. Hukuman bagi pandita sisya (nampaknya tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang akan kena masalah HAM) sangat berat dan ujungnya adalah hukuman mati (atas perintah raja). Namun dapat dimaknai bahwa permasalahan kepanditaan dipandang sangat penting dalam upaya membangun kesejahteraan. Seorang Pandita Guru Nabe (Dhang Upadyaaya) tidak boleh ragu dalam melaksanakan hukuman kepada muridnya (sloka 18a). Dhang Updyaaya harus berhati hati dalam memberikan hukuman, segala sesuatunya dipertimbangkan baik dari laporan yang ada atau jawaban jawaban atas pertanyaannya. Sang Guru wajib meminta kepada muridnya untuk melakukan kutukan pada dirinya sendiri pada agni kundha, Siva Greha, pada parhyangan pada kaki padma Siwa di hadapan guru. Sumpah atau kutukan pada diri-sendiri dilakukan di hadapan guru dan disaksikan oleh sanak keluarga dan para sadakha. Selanjutnya sang murid (pandita yang melanggar sasana) melakukan pertobatan dengan melakukan pemujaan pada tempat-tempat yang ditentukan (gunung, sungai, samudra) selama 1070 hari. Apabila selama hari tersebut sang murid tidak mengalami bahaya seperti sumpah yang diucapkan ia dipandang tidak perlu mendapatkan hukuman selanjutnya dan tidak boleh dihina dan dicela. Akan tetapi apabila selama 1070 hari sang murid memperoleh halangan dan bencana, hukuman dilanjutkan. Selanjutnya dalam sloka 20a disebutkan hukuman bagi yang melaporkan (sadhaka atau walaka) apabila laporannya ternyata tidak benar dihukum oleh raja dengan hukuman mati. Karena apabila tidak dilakukan akan memperngruhi tatanan kehidupan masyarakat baik buana alit mamupun buana agung. Karena itu untuk menjaga keutamaan seorang sulinggih dibuatkan pedoman tingkah laku yang disebut “Sasana Kawikon”, yang harus ditaati oleh para pandita.

PERANAN PHDI

Sebagaimana diatur dalam Bhisama Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati, yang sangat ringkas perlu dirinci lebih lanjut terkait dengan dukungan administrasi oleh PHDI. PHDI sejak awal pencalonan diksita melaksanakan tugasnya dalam hal Diksa Pariksa. Kemudian pada akhir pelaksanaan Diksa Dwijati memberikan sertifikat. Terkait dengan pelanggaran, batas kewenangan PHDI tentu saja terkait dengan administrasi yang telah dilaksanakan, yaitu mencabut kembali sertifikat Loka Pala Sraya dan lainnya.

RENUNGAN

Berdasarkan penjelasan tersebut bahwa tidak mudah menjadi seorang pandita. Pandita tugasnya adalah menjaga keharmonisan alam semestha. Pandita menjadi harapan seluruh umat Hindu. Pada referensi yang lain disebutkan bahwa keutamaan menjadi seorang pandita adalah dapat mengangkat 7 tingkat leluhurnya ke tampat yang utama baik dari atas maupun dari bawah. Karena itu pandita adalah sumber kebenaran sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharma Sastra. Umat juga mempunyai kewajiban untuk menjaga sang pandita agar selalu dapat melaksanakan tugasnya yang mulia tersebut. Apabila dicermati proses dan persyaratan seorang untuk melaksanakan diksa dwijati, tidak ada keraguan sedikit pun mengenai moral seorang pandita. Apabila terjadi pelanggaran, maka sang guru juga menanggung resiko atas pelanggaran yang dilakukan oleh sisyanya (nanaknya). Keputusan hukuman ini dilakukan oleh lembaga Sabha Pandita senior (sekarang Sabha Pandita) yang memahami segala aspek kepanditaan. Apa yang dijelaskan dalam Lontar Shanghyang Siwa Sasana tentu saja sudah banyak tidak sesuai dengan jaman sekarang (Kaliyuga) terkait dengan keberadaan negara yang memiliki hukum positif dan lembaga HAM. Semoga Hindu Indonesia semakin maju dan berperan dalam pembangunan NKRI. (*)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email