Umat Hindu Nusantara Menyambut Hari Raya Galungan 25 September 2024
Makna Hari Raya Galungan dalam Perspektif Dharma Negara

Oleh :  I Wayan Gede Suacana *)

***

Dharma merupakan hukum keadilan dan keselarasan yang bersatu padu dalam struktur alam semesta, seperti yang dikehendaki oleh Hyang Widhi. Dharma disamping memerlukan tanggung jawab kepada diri-sendiri, juga kepada Tuhan, sehingga memerlukan introspeksi dan disiplin diri berdasarkan pada pengetahuan ketuhanan (Brahma Vidya). Sejatinya, dharma lebih merupakan manifestasi cinta kasih dalam setiap tindakan. Idealnya dharma akan menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya, pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat atau bangsa. Kemajuan spiritual akan terjadi karena melaksanakan dharma. Melaksanakan dharma artinya mengendalikan segala pikiran, perkataan dan perbuatan yang berlawanan dengan hukum keadilan dan keselarasan dari Hyang Widhi.  Dengan begitu pemaknaan dharma tidak hanya berhenti pada tataran ritual, tetapi mesti juga diarahkan ke dimensi aktualisasi dharma negara sebagai salah satu kewajiban umat Hindu dalam menghadapi tantangan hidup berbangsa dan bernegara.

***

Jalan Dharma

Umat Hindu di mana pun mereka berada, semestinya selalu mengikuti jalan dharma untuk mencapai tujuan hidup seperti telah ditunjukkan oleh orang bijaksana (Atharva Veda VII.97.7).  Dalam Rg Veda X.63.13  dinyatakan, umat yang menempuh jalan dharma akan dianugerahi kemakmuran dan keturunan (generasi) yang berbudi luhur. Kemenangan dan kebahagiaan sejati dalam hidup adalah hasil pelaksanaan dharma yang  baik dan konsisten. Kemenangan tersebut bukan berasal dari kenikmatan dan kesenangan sementara. Namun, kerja keras menegakkan dharma akan menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan tertinggi. Sebaliknya, bila hanya mengejar kenikmatan sensual, maka akan berakhir dengan kesusahan dan penyesalan. Rahasia kebahagiaan bukanlah dalam melakukan apa yang disukai, tapi dalam menyukai apa yang dilakukan. Apa pun pekerjaan kita, menurut Karma Yoga mesti dilakukan dengan gembira serta tidak terikat pada hasilnya. Dharma akan menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya, pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat atau bangsa.

Kemajuan spiritual akan terjadi tatkala melaksanakan dharma. Ini berarti mengendalikan segala pikiran, perkataan dan perbuatan yang berlawanan dengan hukum keadilan dan keselarasan dari Hyang Widhi. Suara bathin akan mengarahkan kita pada tujuan rohani. Bimbingan suara bathin itu adalah suara Hyang Widhi. Jika mengikuti arahnya, kita menjadi lebih dekat dengan-Nya. Hal itu akan menolong kita untuk menyadari dharma dan memiliki kesucian hati yang membuat selalu bahagia dan menghancurkan pikiran atau perbuatan jahat (Rg Veda, VIII.95.7 dan 9). Jika kesadaran itu bertumbuh setiap saat, maka kita menjadi lebih serasi dan selaras pada kewajiban rohani. Dengan mempraktekkan ini, hati nurani dapat segera mengevaluasi setiap situasi serta menunjukkan jalan pada sukacita dan kedamaian. Pelaksanaan jalan dharma menjadikan setiap tindakan dilandasi oleh cinta kasih, bukan karena terpaksa. Melaksanakan kewajiban dan melayani sesama dengan rasa terpaksa atau tanpa semangat menunjukkan tindakan adharma. Karena Hyang Widhi ada dalam diri setiap orang, maka melayani orang lain sama dengan melayani Tuhan (Manava seva,  Madava seva). Cinta kasih sesungguhnya merupakan sifat sejati umat manusia. Kewajiban tanpa cinta kasih adalah kewajiban tercela. Kewajiban dengan cinta kasih adalah kewajiban yang dikehendaki Tuhan. Cinta kasih tanpa kewajiban adalah Ilahi.

Problematika Bangsa

Berbagai fenomena menunjukkan betapa dharma masih belum bisa ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Di bidang ekonomi, eksternalitas global sudah menggerus demikian kerasnya. Hal ini tampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalis liberal/neoliberal dengan ketergantungan pada bantuan asing. Kegiatan industri pariwisata telah menyebabkan terjadinya materialisme, individualisme, komersialisme, komodifikasi, dan gejala profanisasi dalam kehidupan. Kondisi ini telah menyebabkan pergeseran nilai budaya dan pemiskinan serta peningkatan beban hidup yang dialami oleh masyaakat tak terkecuali penganut Hindu. Kondisi keamanan juga masih rawan dengan berbagai aksi kekerasan dan pemaksaan kehendak apalagi dalam situasi menjelang kontestasi pemilihan umum. Dalam bidang politik dan hukum, arus demokratisasi terlihat semakin deras seiring dengan terbuka lebarnya “kran” liberalisasi politik. Namun sayangnya, institusi formal hukum sebagai “benteng terakhir” sangat tidak berdaya dan masih sulit ditegakkan di negara kita. Upaya pemberantasan korupsi yang sempat memunculkan harapan dengan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap beberapa kasus korupsi sebelumnya, kembali memudar seiring adanya  kesan pembiaraan beberapa kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai politik  “besar”. Hukum menjadi tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Dalam bidang pemerintahan, otonomi daerah yang idealnya mampu meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi rakyat, ternyata hanya dimanfaatkan untuk keuntungan finansial dan politik segelintir elite lokal. Di bidang kebudayaan kita melihat berbagai perilaku politik para pejabat dan elite masih dominan dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang bersifat extended family, dan budaya patrimonial yang di samping bersifat “adiluhung”, ternyata juga masih sangat permisif bagi bertumbuhkembangnya partikularisme. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia umat se-dharma tentunya juga ikut merasakan persoalan tersebut. Umat Hindu semestinya juga ikut berupaya mengatasi berbagai persoalan dan berkontribusi dengan segala daya upaya yang dimiliki dengan tetap berlandaskan dharma.

Perspektif Dharma Negara

Sejauh mana umat Hindu mampu menghadapi tantangan-tantangan besar tersebut dan selanjutnya dapat berperan dalam pembangunan bangsa bergantung pemaknaan dan aktualisasi dharma negara dalam kehidupan ? Dharma Negara dalam bidang pendidikan bisa dimaknai tidak semata-mata memperoleh keterampilan  dan keahlian duniawi (hard skill) sebagaimana mainstream pemikiran rasionalisme Barat yang lebih mengarah pada material tendency forces (preyoshakti). Tetapi juga mampu menghasilkan generasi muda Hindu yang cerdas dan bijaksana yang sesuai dengan spiritual tendency forces (sreyoshakti). Untuk itu setiap umat Hindu harus ikut mengupayakan pengembangan sistem pendidikan nasional yang menyelaraskan antara penekanan logika dan rasionalitas dengan intuisi dan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kasih sayang, kesabaran, keberanian dan kejujuran (soft skill) yang akan membangun kesadaran manusianya. Dengan penerapan sistem pendidikan yang yang mengembangkan hard skill dan soft skill,  generasi bangsa Indonesia tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana sehingga terhindar dan menghindarkan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta kemerosotan moral lainnya yang masih menggerogoti bangsa  hingga kini. Dharma Negara dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dilakukan dengan penerapan prinsip etika dan moralitas. Bila umat Hindu berkesempatan memimpin pemerintahan, seyogianya memiliki karakter nasional yang membawahi karakter individu (pribadi). Karakter ini mengharuskan untuk melepaskan kepentingan pribadi atau golongan, melepaskan secara total pikiran kepemilikan “punyaku” dan “punyamu”, untuk menjadi pemimpin sejati yang berlandaskan dharma yang senantiasa mengutamakan mpersembahkan segala kema kesejahteraan rakyat dan mengangkat reputasi negara. Dharma Negara dalam kehidupan politik yakni bisa memberikan solusi berlandaskan dharma, pantang untuk menggunakan cara-cara kekerasan (ahimsa). Penyelesaian masalah dengan kekerasan justru akan mengundang kekerasan baru. Kekerasan bukannya menyadarkan lawan politik, tetapi justru menyuburkan kebencian dan rasa dendam. Sebaliknya, dengan paham pantang kekerasan, setiap orang dapat mengembangkan cinta kasih dan kemampuannya sehingga dapat mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial yang menghargai heterogenitas, inklusivitas, pertukaran mutual, toleransi dan kebersamaan. Dharma Negara  semestinya mampu mendukung tegaknya moralitas, berkembangnya kepercayaan dan kejujuran, rasa tanggung jawab dan karakter, kesadaran nasional dan patriotisme, rasa tanggung jawab sosial, etos kerja keras, ketaatan pada hukum dan menghormati hak-hak  sesama anak bangsa. Semoga ini terjadi ! (* Penulis, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Warmadewa Denpasar, peminat Yoga dan Meditasi).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email