Memetik Filosofi Hindu Dari Tradisi Maebat
Kuliner Khas Bali : Basa Genep, Sregep, Nyantep, Mencegah Nyungsep

Oleh :  Luh Irma Susanthi, S.Sos, M.Pd

***

KULINER khas Bali warisan tetua Bali menyimpan spirit  dan “taksu” yang sangat luar biasa sebagai hasil kreativitas seni tradisi memasak (Bahasa Bali : Paebatan)  yang diwariskan secara turun-temurun oleh tetua Bali. Kuliner khas Bali, baik makanan (reracikan, ramuan, olahan) dan minuman, jamu (Bahasa Bali : loloh) merupakan tradisi yang hinggga kini masih lestari. Bahkan di sejumlah lokasi di Bali malah semakin  dikembangkan sebagai salah satu bentuk atraksi wisata kuliner yang semakin diminati wisatawan, baik wisatawan asing maupun domestik. Kuliner khas Bali dikenal sebagai seni tradisi Maebat yang lengkap (Bahasa Bali :  sregep) dan mantap, top (Bahasa Bali : nyantep) adalah icon Bali yang ingin ditonjolkan dalam pelestarian dan spirit bumbu kuliner khas Bali.  Apa itu bumbu Bali atau yang dikenal dengan sebutan basa genep?

Cekuh

Pustaka Lontar Dharma Caruban menjadi acuan bagi leluhur orang Bali tatkala menekuni ilmu tata hidangan atau seni memasak khas Bali.  Di dalam lontar itu disebutkan tiga bahan pokok sebagai ikon utama bumbu Bali lengkap (basa genep) atau yang juga disebut basa wayah (tua, lengkap).  Pertama adalah kencur (Bahasa Bali : Cekuh), simbol Sang Sahadewa merupakan simbol Nyasa (Bahasa Indonesia: Tapa) sebagai bentuk proses Sregep dengan sistem pengendalian diri.

Isen

Kedua, lengkuas (Bahasa Bali : Isen) yang merupakan simbol Sang Bima. Dalam Epos Mahabharata, Bima adalah simbol kekuatan dan keperkasaan. Bentuk fisik lengkuas yang keras dan aromanya yang khas memberi spirit pentingnya sebuah penguatan sraddha dan bhakti kita kepada Sang Pencipta dengan membentuk jiwa yang kokoh, tangguh dan kuat dalam memaknai simbol-simbol agama dalam kualifikasi makanan. Ketiga, kunir (Bahasa Bali : kunyit) sebagai simbol Arjuna,  lambang kecerdasan. Tiga bahan utama dalam bumbu (base genep) ini mampu menghasilkan aroma dan rasa yang mantap dan isyarat atep sehingga mencerminkan kualifikasi idep yang mantap (nyantep). Ini adalah implementasi filosofi Hindu (tattwa) agar menjadi sregep dalam pemahaman esensi  Tri Kerangka Dasar Agama Hindu : Tattwa, Susila, Acara.

Kunyit

Pustaka Suci Atharvaveda VI.135.1 secara harfiah menganjurkan, hendaknya kami menyantap makananku dengan hati-hati, agar makanan itu memberikan kekuatan dan kesehatan tubuh, fisik dan mental.  Umat Hindu disarankan agar selalu berhati- hati memilih bahan makanan agar terhindar dari kejatuhan, kemerosotan (Bahasa Bali :  nyungsep). Pemilihan makanan yang sattwik menghindarkan kita dari kemerosotan moral dengan kualifikasi sifat rajasik (penuh nafsu) dan tamasik (kemalasan).

Oleh karena itu, generasi muda sangat perlu mengenal lebih jauh warisan leluhur Nusantara, khususnya kuliner khas Bali. Salah satu warisan kuliner Bali adalah bumbu Bali basa genep. Basa genep  dikenal memiliki citra rasa yang khas dan mulai sangat diminati.  Pengenalan basa genep sebagai warisan kuliner khas Bali bisa dikaitkan dengan proses pembelajaran filsafat Hindu. Poin penting yang dapat dipetik bahwa belajar agama (Hindu) bukan hanya duduk hening, sembahyang dan berupacara.

Bumbu khas Bali : Basa genep

Misi yang tidak kalah penting adalah memahami dan melaksanakan nilai-nilai sistem kekerabatan, esensi persaudaraan (menyama braya), adab, tradisi dan budaya menghargai keragaman sebagai simbol kebhinekaan.  Belajar agama (Hindu) bukan hanya tentang Tuhan, tetapi juga belajar seni tersendiri dalam filosofi mengelola idep, lalu siap bersinergi dan berkolaborasi agar sregep atau bersatu dalam keberagaman agar selalu atep sehingga kehidupan berjalan dengan selaras dan nyantep, terhindar dari bahaya nyungsep.

Bumbu Bali : Suna cekuh

Lontar Dharma Caruban memberi spirit bahwa dengan kecerdasan, lalu timbullah kekuatan  yang mampu membimbing manusia menjadi makhluk yang memiliki kualifikasi Daiwi Sampad (sifat dewata) sebagai kebalikan dari sifat Asuri Sampad (sifat keraksaan).  Sifat Kedewataan akan semakin bersinar, menebar kasih sayang, kedamaian kenyamanan serta  mampu memberi transformasi positif bagi lingkungan dan semua ciptaan Tuhan (* Penulis adalah Penyuluh Agama Hindu, Kementerian Agama Kabupaten Buleleng).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email