Oleh : Ni Made Ayu Suniari, S.Sos
Mebanten Kuningan adalah salah satu rangkaian upacara dalam tradisi Agama Hindu yang dilaksanakan pada Hari Raya Kuningan. Kuningan dirayakan setiap 210 hari sekali, tepatnya 10 hari setelah Hari Raya Galungan. Tradisi ini memiliki makna yang mendalam, di mana umat Hindu di Bali meyakini bahwa pada hari ini, para leluhur yang telah meninggal kembali turun ke bumi untuk memberikan berkah kepada keturunannya. Ada satu aturan yang sangat penting dalam tradisi ini, yaitu mebanten Kuningan harus dilakukan sebelum pukul 12.00 siang. Mengapa mebanten Kuningan tidak boleh lewat jam 12.00 ?
Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi masyarakat Bali. Menurut tradisi, para leluhur yang turun ke bumi pada Hari Raya Kuningan mulai naik kembali ke kahyangan setelah jam 12.00. Oleh karena itu, mebanten, atau persembahan, harus dilakukan sebelum waktu tersebut agar para leluhur masih bisa menerima persembahan dan memberikan restu. “Sanghyang Samparayana suci mring loka suarga.” Sloka ini mengisyaratkan bahwa waktu yang tepat dalam melakukan persembahan sangat penting dalam mencapai keberkahan dan kedamaian.
Upacara mebanten Kuningan mencakup berbagai jenis persembahan, mulai dari buah, bunga, hingga sajian tradisional Bali yang disebut “tetandingan“. Setiap elemen dalam banten memiliki makna simbolis yang menghubungkan manusia dengan alam semesta dan para leluhur. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa manusia selalu terhubung dengan dunia spiritual melalui persembahan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Tradisi mebanten Kuningan juga mengajarkan pentingnya disiplin waktu. Dalam agama Hindu, waktu memiliki peran sentral, dan mebanten yang dilakukan pada waktu yang tepat diyakini dapat membawa keseimbangan antara alam sekala (nyata) dan niskala (tak terlihat). “Kala pramana bhuta kala,” sloka yang menekankan bahwa waktu adalah kekuatan yang harus dihormati dalam setiap tindakan ritual.
Selain aspek waktu, aturan mebanten Kuningan juga mencakup aspek sikap dan ketulusan hati. Persembahan yang dilakukan dengan hati yang ikhlas, tanpa pamrih, dipercaya akan diterima oleh para leluhur dengan baik. Dalam hal ini, sloka “manah suddham bhaktih” mengajarkan bahwa kemurnian pikiran dan ketulusan dalam berbakti sangatlah penting.
Setelah jam 12.00 siang, diyakini bahwa para leluhur mulai kembali ke alam roh, meninggalkan dunia fana untuk melanjutkan perjalanan spiritual mereka. Oleh karena itu, jika persembahan dilakukan setelah waktu ini, dikhawatirkan para leluhur sudah tidak berada di bumi dan persembahan menjadi tidak efektif. Dalam sloka “Brahmavarta divya loka,” disebutkan bahwa roh-roh suci akan kembali ke alam ilahi, mengakhiri kunjungan mereka di dunia fana.
Mebanten Kuningan sebelum pukul 12.00 juga menunjukkan penghormatan umat Hindu terhadap leluhur mereka. Dengan mematuhi waktu yang ditentukan, umat Hindu menunjukkan rasa hormat dan kepatuhan terhadap aturan-aturan spiritual yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya. Ini adalah salah satu cara menjaga hubungan harmonis antara dunia manusia dan dunia para leluhur.
Selain itu, waktu pelaksanaan upacara ini juga berkaitan dengan posisi matahari. Dalam kepercayaan Hindu Bali, waktu pagi hingga siang hari adalah saat yang paling baik untuk melakukan persembahan, karena energi alam pada waktu tersebut dianggap paling murni. “Surya chandra graha patra“. Sloka ini menegaskan pentingnya harmoni antara manusia dan elemen-elemen kosmik seperti matahari dan bulan.
Pelaksanaan mebanten Kuningan juga melibatkan berbagai simbol-simbol suci, seperti tamiang, endongan, dan beberapa jenis janur yang dihias sedemikian rupa. Setiap simbol ini memiliki makna filosofis yang mendalam, mencerminkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, leluhur, dan alam semesta. Penggunaan simbol-simbol ini menambah kekhidmatan upacara serta memperkuat nilai spiritualnya.
Meskipun banyak umat Hindu di Bali yang taat melaksanakan aturan ini, ada juga yang mulai melonggarkannya dengan alasan kesibukan atau keterbatasan waktu. Namun, para tetua agama selalu menekankan bahwa tradisi ini tidak boleh diabaikan, karena setiap elemen dalam upacara mebanten Kuningan memiliki tujuan spiritual yang jelas. Dalam hal ini, sloka “Dharma rakṣati rakṣitah” mengingatkan kita bahwa menjaga dharma dan tradisi adalah bagian dari menjaga dan melindungi hidup kita.
Ketidakpatuhan terhadap aturan waktu dalam mebanten Kuningan bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap leluhur dan nilai-nilai agama. Oleh sebab itu, umat Hindu khususnya di Bali selalu diingatkan untuk menjalankan tradisi ini dengan sungguh-sungguh dan tepat waktu. “Dharmo bhavati satatam,” yang menekankan pentingnya menjalankan dharma atau kewajiban dengan setia dan konsisten.
Pentingnya waktu dalam pelaksanaan mebanten Kuningan juga terkait dengan keyakinan bahwa setiap tindakan yang dilakukan dengan mengikuti aturan yang benar akan menghasilkan karma yang baik. Sebaliknya, pelanggaran terhadap aturan ini bisa mengakibatkan karma negatif, yang mempengaruhi keseimbangan hidup. “Karma phala prada,” yang bermakna bahwa hasil dari setiap tindakan akan kembali kepada pelakunya sesuai dengan perbuatannya.
Dengan memahami makna di balik aturan waktu dalam mebanten Kuningan, diharapkan umat Hindu semakin sadar akan pentingnya menjaga tradisi dan melaksanakannya dengan penuh ketulusan. Tradisi ini bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pada akhirnya, mebanten Kuningan yang dilakukan sebelum jam 12.00 bukan hanya tentang ketepatan waktu, tetapi juga tentang menjaga hubungan spiritual antara manusia dan leluhur. Dengan melaksanakan upacara ini dengan penuh rasa hormat, umat Hindu di Bali berusaha menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia spiritual, sekaligus mendapatkan berkah dan perlindungan dari para leluhur (* Penulis adalah Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tabanan).