DENPASAR, Kasus terbaru, wisatawan inisial JDC (WN Kanada), si penari telanjang yang juga aktor Netflik, cukup banyak mengundang reaksi massa. Karena diduga keras justru dilakukan di Gunung Batur. Sebuah gunung yang sangat disucikan oleh masyarakat Bali. Sebelumnya telah pula terjadi kasus wisatawan asing yang melakukan adegan sex di kawasan itu. Wisatawan juga pernah menggunakan Pura Mengening sebagai tempat untuk bercinta. Ada juga kasus wisatawan yang berfoto pada bangunan suci. (Sumber foto Gunung Batur, Wikipedia diakses 26/4/2022, 5.37 PM)
Ketua Stispol Wira Bhakti, Prof. Dr. Wayan Windia, S.U mengaku sangat prihatin dengan kasus-kasus seperti itu. Sebab, Wagub Bali, Prof. Dr. Ir. Tjokorde Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si (Cok Ace), sering mengatakan bahwa eksistensi Bali saat ini hanya ditunjang oleh kekuatan magis (taksu)-nya yang berwatak niskala. Karena secara sekala, alam Pulau Bali sudah banyak yang rusak dan dirusak.
Saat ini justru taksu Bali yang mulai dicemarkan. Melalui tindakan yang tidak senonoh dalam alam sakral. Kalau kasus-kasus seperti ini terus berlanjut. Dikhawatirkan, eksistensi Bali sebagai kawasan wisata akan semakin pudar. Dikatakan bahwa, kasus seperti itu bisa saja terjadi dan dilakukan wisatawan asing di Bali. Karena budaya mereka sangat berbeda. Mereka tidak mengenal konsep suci-leteh, luan-teben. Konsep yang dibawanya adalah liberalistik dan individualistik. Sedangkan konsep yang dianut masyarakat Bali adalah konsep spiritualistik dan komunalistik. Kemudian, faktanya sekarang ini, secara realitas, kita di Bali telah menganut pariwisata massal, dan bukan lagi pariwisata budaya. Karenanya, datanglah ke Bali, wisatawan yang disebut sebagai wisatawan kelas “sandal jepit”.
Mereka tinggal di sebuah pondok penginapan seperti anak kost. Bermalam bisa ber-empat atau berenam dalam satu kamar. Makan nasi jinggo. Berwisata dengan menggunakan angkutan umum atau menyewa sepeda gayung, dan dengan memanfaatkan google map. Mereka bukanlah anak-anak kaya di negerinya. Tetapi, ketika mereka berada di Bali, mereka merasa seperti orang yang diperlukan, dan merasa bebas dari tekanan hidup. Lalu berbuatlah mereka hal yang aneh-aneh, berbasis pada watak individualistiknya. Contohnya ya itu, JDC (WN Kanada), si penari telanjang. Mungkin untuk di-share di grup medsos-nya dll. Ini adalah bagian dan dampak pengaruh teknologi, digitalisasi dan globalisaasi.
Segera Perlu Pemberdayaan Masyarakat
Oleh karenanya, Pemerintah Bali tidak bisa secara mandiri melakukan tindakan antisipatif. Diperlukan pemberdayaan masyarakat setempat untuk berpartisipasi. Di sektor kehutanan sudah ada konsep perhutanan sosial. Untuk kawasan gunung yang berfungsi publik (untuk pendakian, pariwisata, dll), masyarakat sebaiknya diberdayakan untuk ikut melakukan pengawasan. Pemberdayaan ini mesti segera dilakukan oleh Pemerintah Bali.
Apalagi di Bali, Gunung dianggap sebagai bagian dari salah satu Sad Kerthi yakni Wana Kerthi sehingga harus dimuliakan. Gunung dianggap sebagai tempat keramat. Gunung, sejak jaman Bali Mule (Age), digunakan sebagai tempat untuk bermeditasi atau samadi. Seperti halnya yang dilakukan oleh Raja Jayapangus, yang melakukan samadi di Gunung Batur. Tetapi sekarang tempat itu ternyata digunakan untuk hal-hal yang berbau mesum. Hal-hal yang tidak senonoh seperti itu harus ditekan seminimal mungkin di Gunung Batur. Oleh karenanya perlu ada pemberdayaan masyarakat di sekitarnya, agar mampu melakukan pengawasan terhadap kesucian Gunung Batur. “Kita dapat bercermin dari konsep perhutanan sosial” kata Windia (*).