Oleh : Wayan Windia *)
Sejak awal tahun ini, kita rakyat Indonesia terus berkutat pada persoalan minyak goreng (migor). Masalah ini hampir tak pernah terselesaikan. Harga tetap saja membubung. Hampir semua komponen berwacana. Termasuk Presiden Jokowi. Bahkan di depan publik, Jokowi mengritik menterinya. Karena tidak berargumentasi terkait kasus kenaikan harga migor, dan juga tentang kenaikan harga BBM. Lalu, Jokowi sendiri yang menjelaskan tentang kenapa harga BBM harus naik.
Anehnya, Jokowi nyaris tidak bersuara terkait kenaikan harga dan kelangkaan migor. Mungkin saja karena beliau belum paham secara detail sehingga sangat berhati-hati sampai membuat rakyat penasaran berhari-hari. Ternyata, ada pat-gulipat dan kong-kali-kong antara pengusaha migor dan penguasa migor sedemikian rapinya. Akhirnya terungkap, bahwa ternyata sebab-musababnya ada di internal pemerintah. Ditetapkannya empat orang tersangka dalam kasus migor menunjukkan indikasi bahwa, memang ada mafia dan “pemain profesional” dalam kasus migor.
Persoalan kelapa sawit sudah sejak awal mulanya menimbulkan polemik dan friksi. Perkembangan perkebunan kelapa sawit dianggap mengganggu keanekaragaman hayati. Bahkan bisa menimbulkan bencana banjir dan longsor. Memang betul juga. Bahwa dengan dibabatnya hutan belantara itu, dan digantikan dengan kelapa sawit, maka banjir dan longsor tak pernah berhenti terjadi di Sumatera, juga di pulau besar lainnya di Indonesia.
Kemudian, setelah kelapa sawit menjadi minyak goreng, maka migor sawit lagi-lagi menimbulkan masalah pelik. Ternyata migor itu dikuasi kaum kapitalis. Sekali lagi dikuasai kaum kapitalis. Pemerintah dibuat tak berkutik oleh kaum kapitalis. Pemerintah menetapkan HET, tetapi bendanya ada di tangan kapitalis. Migor langka. Tentu saja pejabat pemerintah menjadi bulan-bulanan rakyatnya. Wibawa pemerintah (alam kasus migor) menjadi sangat merosot. Kepercayaan publik kepada pemerintah melorot tajam. Memang begitulah. Sekali kita masuk dalam cengkraman kapitalis, sangat sulit untuk keluar. Kecuali kita ikut dalam arus nafsu syahwat kaum kapitalis.
Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa masalah pangan adalah masalah yang pelik. Bisa ribut-ribut, bisa ada demo anarkis, dan ini memicu inflasi. Tak terbayangkan, bila kasus seperti ini terjadi pada komoditas beras. Sejarahnya sudah ada. Yakni pada tahun 1960-an. Saat itu, komoditas beras sangat langka. Harganya naik hampir setiap enam jam. Akibatnya, inflasi bisa melambung hingga tembus di atas 600%. Apa akibat politiknya, sudah kita ketahui dalam transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Takut dengan kejadian serupa, saya selalu wanti-wanti dan bersuara keras, bila ada kebijakan yang menghantam sawah dan tegalan (kebun). Contoh paling baru seperti rencana proyek jalan tol Gilimanuk-Mengwi. Sawah yang dihantam sekitar 480 hektar (Data menurut Walhi Bali). Padahal Pulau Bali sawahnya sudah minus sekitar 10.000 hektar sejak tahun 2019. Bagaimana kita menjamin ketahanan pangan di Bali, jika sawah terus-menerus dihancurkan untuk pembangunan infrastruktur.
Tapi begitulah memang tabiat para pejabat kita. Bahwa yang paling enak adalah menghantam sawah, bila ingin membangun proyek. Karena tanahnya sudah lapang, dan sangat enak dan mudah untuk mengintimidasi petani. Karena kaum tani itu masyarakat yang paling lemah dan tak berdaya. Saya pernah didatangi petani dari Klungkung yang “diintimidasi” oleh para pejabat yang berwenang, agar sawahnya segera dilepas. Kawasan sawah itu khabarnya akan “digunakan” untuk perluasan proyek pusat kebudayaan Bali.
Saya tetap menyarankan kepada petani itu, untuk tetap tabah mempertahankan sawahnya. Apa pun yang terjadi. Karena sawah itu adalah sawah warisan leluhurnya, dan menjadi tumpuan hidupnya selama ini. Tapi saya tidak tahu, entah bagaimana kelanjutannya. Apakah petani itu bisa bertahan dan tabah. Atau sebaliknya kalah total, karena tidak kuat lagi melawan tekanan penguasa.
Berbagai kejadian dan kasus sudah kita saksikan, betapa pentingnya hasil produk pertanian untuk kepentingan manusia. Semasih manusia itu hidup, mereka pasti memerlukan hasil produksi pertanian. Kalau sawah dan tegalan (kebun) habis, lalu di mana kita bisa menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan manusia? Lalu kita mau makan apa? Meskipun kita bisa makan mie. Tetapi ingat, bahan baku dari mie itu (tepung dan telur) juga dari hasil produksi sektor pertanian dan peternakan.
Kita sedih menyaksikan siaran TV dan berita koran. Bahwa banyak sekali rakyat yang terpaksa antri berjam-jam guna mendapatkan migor dengan harga eceran tertinggi (HET) pemerintah Rp 14 ribu per liter. Bahkan ada beberapa warga meregang nyawa gara-gara antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan migor murah. Kiranya, bisa saja musuh-musuh republik yang mendramatisir keadaan, agar bisa menimbulkan chaos. Bahkan sudah ditemukan oleh Densus 88 di Sumbar, bahwa pihak separatis yang mau mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) sudah siap untuk menggulingkan pemerintah, bila keadaan sudah menjadi chaos. Hal ini membuktikan bahwa pertanian jangan dipandang sebelah mata. Masalah pangan bisa dieksploitasi menjadi masalah sosial-politik, dan bisa mengancam keutuhan negara. Tujuannya, untuk menggulingkan pemerintah yang sah berdasarkan Pancasila.
Belajar dari kasus-kasus di atas, pemerintah di Indonesia wajib untuk segera mempertahankan sawah bahkan menambah luas sawah secara terus-menerus. Ini penting karena pertumbuhan jumlah penduduk menurut deret ukur. Sehingga pertambahan luas sawah mestinya juga mengikuti deret ukur. Sehingga masih cukup untuk memproduksi kebutuhan pangan dan menjamin ketahanan pangan. Kebutuhan pangan adalah hal yang mutlak. Undang-Undang sudah tersedia agar terjaminnya eksistensi sawah untuk kepentingan pangan. Tetapi dalam pelaksanaannya, sama sekali tidak mudah. Perlu komitmen dan kemaunan politik yang kuat dari para penguasa.
Bila sikap politik seorang pejabat hanya untuk kepentingan 5-10 tahun, maka yang akan dikejar oleh pejabat politik itu adalah pembangunan fisik infrastruktur guna meningkatkan citra. Persetan dengan sawah dan tegalan. Tetapi, kalau kita semua sadar, dan bisa menggunakan hati nurani, maka kepentingan utama dari anak cucu kita, pastilah ketersediaan pangan. Semua pangan dihasilkan dari sawah dan tegalan (kebun). Untuk itulah, Mahatma Gandhi selalu menekankan, agar manusia itu tidak rakus. Bila umat manusia berkembang menjadi umat yang rakus, maka makanan bisa tidak tersedia. The earth is enough for every man’s need, but not for every man’s greed. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti, Denpasar.