Oleh : Wayan Windia *)
Saya baru saja selesai membaca buku karangan Jenderal TB Simatupang, dengan judul Pelopor Dalam Perang dan Pelopor Dalam Damai. Jenderal Simatupang adalah salah satu intelektual TNI, yang dalam buku-bunya, banyak memberikan pandangan tentang peranan TNI di masa perang dan di masa damai. Dalam buku ini, Simatupang diantaranya bercerita tentang peranan Jenderal Haushofer dalam kancah Perang Dunia II, untuk membantu Panglima Hitler. Haushofer adalah seorang jenderal yang ahli di bidang geopolitik, yang berpandangan bahwa, dalam PD II, Jepang harus menyerang ke arah Selatan, Jerman ke arah Timur, dan Rusia ke arah Barat. Dengan demikian, dunia akan dapat dikuasai.
Haushofer wanti-wanti menyarankan kepada Jepang, bahwa Jepang tidak perlu menyeberang ke arah Timur dan menyerang Hawaii (USA). Tidak perlu menguasai Hawaii dengan kekuatan senjata. Hawaii dapat dikuasai dengan model serangan antropo-geografi. Bahwa Hawaii akan dapat dikuasai, hanya dengan menambahkan secara terus-menerus penduduk Jepang di Hawaii. Tetapi Jepang terlalu percaya diri, dan “rakus”, dan tidak memperhatikan nasihat Haushofer. Si “Macan tidur” Amerika Serikat, merasa terganggu dengan ulah Jepang tersebut. Akhirnya, kita ketahui bagaimana sejarah akhir PD II, dengan terlibatnya Amerika Serikat dalam perang itu.
Bagaimana kaitan antara konsep antropo-geografi Jenderal Haushofer dengan eksistensi Pulau Bali? Sebelumnya, saya sudah pernah membaca hasil sensus penduduk 2010, khususnya yang berkait dengan penduduk migran yang datang ke Bali. Pada 2010 tercatat penduduk migran yang menetap di Bali adalah sebanyak 62.000 orang. Jumlah itu meningkat 100% dalam lima tahun. Dengan demikian dapat kita hitung entah berapa banyak penduduk migran yang menetap di Bali saat ini. Ada yang menyebut sudah melebihi 500.000 orang. Namun, jawaban yang tepat akan kita ketahui dari hasil sensus penduduk 2020. Tetapi saya curiga, penduduk migran yang datang dan menetap ke Bali, peningkatannnya jauh lebih cepat dibandingkan 10 tahun lampau. Ancaman Antropo-Geografi bahkan telah berdampak politik. Lihat hasil Pileg 2019, satu kursi DPD RI melayang dan jatuh ke calon non – Bali. Ancaman serupa mungkin saja bakal terjadi dalam perhelatan pemilukada terutama di daerah yang memiliki kantong-kantong migran banyak.
Pertumbuhan migram itu tak bisa dilepaskan dari dampak pembangunan infrastruktur fisik pariwisata dan kawasan pemukiman yang menarik orang-orang untuk datang ke Bali. Ibarat pepatah, “Di mana ada gula di sana ada semut”. Kedatangan penduduk migran inilah yang mendorong pertambahan penduduk di Kabupaten Badung menjadi 5% per tahun, dan di Kota Denpasar 4% per tahun. Kemudian, sawah di Bali berkurang 1000 hektar/tahun. Sebagian diperuntukkan sebagai kawasan pariwisata, lokasi perumahan dan lainnya. Kalau pada saatnya nanti eksistensi subak di Bali menjadi kritis, maka kebudyaaan Bali akan goyah dan punah. Selanjutnya akan tidak ada lagi yang namanya masyarakat Bali. Suku Maya di Amerika Latin hilang tak berbekas, karena kebudayaannya lenyap, beberapa waktu sebelumnya. Apakah orang Bali mau bernasib sama dengan Suku Maya ?
Apa yang ingin saya katakan dari data dan fakta di atas? Bahwa Pulau Bali kini sudah berada dalam ancaman antropo-geografi. Penyebabnya adalah kebijakan pariwisata massal yang diterapkan oleh pemerintah (termasuk di Bali). Kemudian para elit terlanjur berada dalam karakter zone nyaman (comfort zone), dan lupa pada hal-hal yang mendasar dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Bali. Penelitian spasial yang dilaksanakan oleh Litbang Kompas beberapa waktu lalu menunjukkan, di mana pun di Bali dikembangkan sebagai pusat pariwisata, maka di sebelahnya pasti ada kawasan kumuh. Di kawasan kumuh inilah pada umumnya berdomisili penduduk migran yang bekerja di sektor informal, sarang kriminal, perdagangan manusia, dan lainnya. Di daerah asalnya terjadi proses klinisasi dan di daerah barunya berkembang kriminalisasi. Sebagai negara yang mengembangkan konsep NKRI, kita sama sekali tidak boleh berbuat hal-hal yang berbau SARA. Namun, yang kita gugat adalah pembangunan pariwisata yang kok doyan hanya di Bali saja. Kenapa tidak dikembangkan pemerataan pengembangan pembangunan pariwisata ke daerah lainnya? Agar pembangunan lebih berkeadilan, dan tidak hanya Jawa-Bali sentris.
Karena itulah, saya menentang pemikiran yang menginginkan untuk mengubah perda tentang ketinggian bangunan di Bali. Kalau ketinggian bangunan terus ditambah, lalu siapa yang tinggal di sana? Jangan-jangan hanya kaum migran juga. Masalahnya, bukan hanya soal mengubah ketinggian bangunan. Tetapi yang lebih urgen menurut saya adalah bagaimana mekanisme kebijakan untuk menghentikan atau paling tidak mambatasi migran ke Bali, agar konsep Jenderal Haushofer tentang antropo-geografi tidak terjadi di Bali. Saya mendapat info bahwa sekarang sudah mulai terjadi friksi di kompleks-kompleks perumahan yang dihuni oleh penduduk migran yang berbeda ras dan agama. Baru-baru ini juga konflik berdarah antarpreman penduduk migran dengan putra lokal Bali. Kalau kebijakan pembangunan pariwisata Bali tidak diubah, maka konflik sosial-horisontal hanya tinggal menunggu waktu. Kalau itu terjadi, itulah awal tanda mulainya berlaku konsep antropo-geografi di Bali.
Dengan mencermasi fakta-fakta itu, meski wabah Covid-19 mereda suatu saat nanti, segeralah berlakukan kebijakan stop (moratorium) pembangunan pariwisata di Bali. Jumlah kamar hotel dan villa di Bali sudah overload. Malah dalam kondisi pariwisata bangkrut saat ini, terjadi obral hotel dan villa dengan harga super murah (hingga 50 % dari harga normal dan belum tentu laku). Siapa yang mampu membeli ? Lagi-lagi yang paling berpeluang adalah kaum migran dari luar Bali. Pemerintah agar memastikan untuk membatalkan reklamasi Teluk Benoa dan rencana pembangunan Bandara di Buleleng. Lakukan pemerataan pembangunan pariwisata yang adil ke semua wilayah di Indonesia. Secara politik juga penting, agar tidak terjadi disintegrasi bangsa, seperti yang pernah terjadi di awal kemerdekaan Indonesia. Pembangunan kita sekarang terlalu Jawa-Bali sentris. Di Bali perlu segera dilakukan pembangunan pertanian besar-besaran di Bali Utara, Barat, dan Timur. Pertanian yang produksinya bisa mensuplai pariwisata di Bali Selatan. Saya akan respek pada Gubernur Bali yang mampu mempertemukan antara sektor primer dan tersier itu. Saya kira pemimpin Bali saat ini bisa melakukan hal itu, ternyata tidak/belum juga. Tapi pekerjaan itu memang perlu fokus dan keterpanggilan. Menolong orang miskin di sektor pertanian memang memerlukan keterpanggilan hati nurani.
Tampaknya elit kita hanya ngomong soal pertanian kalau ada Gunung Agung meletus, perang Irak-Iran, teror bom Bali, dan lainnya. Setelah keadaan berangsur pulih, pertanian kembali dilupakan. Tidak ada yang mengubris. Kalau betul-betul ingin membangun pertanian, ikuti saran FAO. Sisihkan anggaran pemerintah 10% untuk sektor pertanian. Cukup itu saja aksinya. Kalau tidak, maka pembicaraan tentang pembangunan pertanian hanyalah di mulut saja atau sekadar pemanis bibir. *) Penulis, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana.