DENPASAR – Narasi-narasi yang dikembangkan oleh orang yang mengaku sebagai PHDI-P (Parisada Hindu Dharma Indonesia Pemurnian), bahwa PHDI-P adalah sah, dan menuding yang lain sebagai bohong, sungguh menyesatkan. Orang yang mengaku PHDI MLB telah melecehkan lembaga Pengadilan. Padahal lembaga yudikatif telah memutus beberapa gugatan yang dibuat oleh pihak yang awalnya mengaku sebagai PHDI hasil MLB (Musyawarah Luar Biasa), dan sekarang berubaj menjadi PHDI-Pemurnian. Demikian siaran pers tim Hukum PHDI Bali, Senin, 22 Mei 2023.
‘’Membuat klaim seperti itu, padahal sudah tahu ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tak satu pun dari putusan pengadilan itu berisi amar bahwa PHDI MLB apalagi PHDI-P sah, tapi bisa-bisanya pihak sebelah itu membuat klaim begitu. Bagi publik yang cerdas dan bijak, narasi seperti itu melecehkan lembaga peradilan,’’ kata Tim Hukum PHDI Bali yang terdiri dari Putu Wirata Dwikora, Ketut Artana, SH, M.H, dan Dr. I Ketut Widia, SH, M.H.
‘’Pertama, kalau mereka sudah menempuh upaya hukum, sepatutnya ikutlah mekanisme hukum. Kalau nyatanya seluruh gugatannya telah dinyatakan NO, bahkan ada pertimbangan majelis yang menyebut, diputus “NO” karena belum melalui mekanisme mediasi formal oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana diatur dalam pasal l 58 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, maka sebaiknya mereka menempuh mekanisme yang diatur dalam UU Ormas tersebut. Kalau tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan PHDI MLB itu sah, bagaimana mereka berani membuat statement seperti itu? Itu namanya memanipulasi sesuatu yang tidak jelas dan membangun narasi, bahwa seakan-akan putusan NO itu berarti mengesahkan lembaga hasil MLB yang dibuatnya,’’ imbuh Ketut Artana.
Soal tuntutan pencabutan pengayoman PHDI terhadap sampradaya asing, aspirasi tersebut sudah dilaksanakan. Yakni, dalam Mahasabha XII bulan Oktober 2021, diputuskan bahwa pasal yang mengatur pengayoman Sampradaya, sudah dicabut dari AD/ART. Sementara di wilayah Provinsi Bali, sudah ada SKB PHDI-MDA tanggal 16 Desember 2020 yang melakukan pembatasan pengembanan ajaran Sampradaya Hare Krishna, sebagaimana dituntut oleh sekelompok ormas Hindu, disertai larangan melakukan kegiatan di Pura serta wewidangan milik desa adat, juga larangan menggunakan fasilitas umum seperti lembaga pendidikan, lapangan umum, pantai, jalan.
Menurut Tim Hukum PHDI Bali, kalau ada tuntutan melebihi apa yang menjadi kewenangan PHDI, misalnya suara-suara yang menuntut dikeluarkannya sampradaya asing dari Hindu sampai ada yang meminta mengusir mereka dari Bali, melakukan ‘’colek pamor’’ (sweeping) bagi yang ke Pura, PHDI Bali jelas-jelas menegaskan itu bukan kewenangan dan tugasnya. Tugas PHDI bersama pemangku pemerintahan justru melakukan pembinaan, merangkul penganut sampradaya itu kembali ke ajaran leluhur dresta Bali, melalui cara yang edukatif dan persuasif.
Soal legalitas, selain sudah ada SK Kemenkumham RI atas hasil Mahasabha XII di Jakarta, putusan-putusan pengadilan yang gugatannya dilakukan oleh pihak PHDI MLB sudah jelas dinyatakan “NO”, atau bahasa awamnya mereka kalah, yang berarti legalitas PHDI Hasil Mahasabha XII inilah yang sah. Secara faktual, pengakuan negara terbukti dari adanya sambutan Presiden Joko Widodo serta kehadiran sejumlah pejabat negara. Sementara di provinsi serta kabupaten/kota se Bali, semua pemangku pemerintahan melibatkan PHDI yang sah. Sahnya PHDI Mahasabha XII berarti juga sahnya semua hasilnya, di antaranya AD/ART, Kepengurusan, serta Keputusan-keputusan lain melalui Mahasabha itu. Memang, kehadiran presiden bukanlah alasan sahnya, tetapi selain kehadiran Presiden RI, Mahasabha XII sudah menghasilkan AD/ART dan kepengurusan yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM RI. Selanjutnya, SK Kemenkumham atas hasil Mahasabha XII tersebut, yang digugat ke PTUN Jakarta oleh PHDI MLB, gugatannya ditolak alias kalah. Apa yang kurang jelas dari putusan pengadilan tersebut bagi PHDI MLB, termasuk Pak Budi Astawa?
Demikian juga berbagai komunitas umat Hindu, baik yang melakukan Sudi Wadani (menyatakan memeluk Agama Hindu), Widi Widana (perkawinan secara Hindu), Diksa Pariksa untuk Apodgala, Upacara Ngenteg Linggih di Dang Kahyangan sampai Kahyangan Agung Pura Besakih, segenap PHDI dilibatkan oleh pemerintah daerah.
‘’Ada legalitas secara hukum, ada legitimasi pemerintahan, juga legitimasi sosial oleh umat Hindu. Tiap hari selalu ada undangan seremoni, sampai memediasi sengketa-sengketa yang bernuansa agama dan budaya, yang dipercayakan kepada PHDI yang dipayungi Mahasabha XII ini,’’ imbuh Dr. Ketut Widia (*r).