Tak Sejalan dengan Nangun Sat Kerthi Loka Bali
Pembangunan Terminal LNG di Hutan Mangrove Ditolak oleh Desa Adat Intaran

Krama Desa Adat Intaran datangi DPRD Bali Tolak Pembangunan Terminal LNG di Kawasan Mangrove
Krama Desa Adat Intaran datangi DPRD Bali Tolak Pembangunan Terminal LNG di Kawasan Mangrove

DENPASAR – Hutan Mangrove (Bakau) yang telah dilestarikan puluhan tahun itu, kini terancam dibabat untuk rencana pembangunan Terminal LNG (Liquefied Natural Gas).  Salah seorang  pemuda Desa Adat Intaran, I Made Sudiana (alias Anggi) angkat bicara dan menolak keras rencana pembangunan terminal LNG yang merampas Hutan Mangrove itu.   Ia pun ikut turun ke jalan demonstrasi menolak rencana mega proyek itu.  Seperti diberitakan, menurut rencana,  pembangunan Terminal LNG akan membabat  7,7 hektar hutan Mangrove di Kawasan Muntig Siokan Sanur hingga ke wilayah pesisir Desa Sidakarya dan bersebelahan dengan Desa Adat Intaran, Sanur, Bali.  Di Kawasan yang termasuk Kawasan Konservasi itu terdapat  6 (enam)  Pura yang sangat disucikan akan tergusur yakni : Pura Dalem Pengembak, Pura Suka Merta, Pura Tirta Empul, Pura Merta Sari, Pura Campuhan dan Pura Kayu Penengen.

Demo Krama Desa Adat Intaran menola Rencana Pembanguna Terminal LNG Sanur
Demo Krama Desa Adat Intaran menola Rencana Pembangunan Terminal LNG Sanur

Pihak Desa Adat Intaran pada 6 Juni 2022 lalu telah mengirim surat penolakan ke Walikota Denpasar, DPRD Kota Denpasar, Gubernur Bali dan DPRD Bali. Gerah dengan rencana mega proyek yang membabat hutan Mangrove itu, Prajuru dan Krama Desa Adat Intaran, Sanur  menolak keras rencana pembangunan itu  karena tak sesuai dengan RTRW Provinsi Bali.

Minggu 19/6/2022 lalu, ribuan Krama Desa Adat Intaran, tua-muda turun ke jalan, menolak rencana pembangunan terminal LNG yang akan membabat  Hutan Mangrove itu. Mereka turun ke jalan dengan berbagai atribut adat berupa gamelan baleganjur, spanduk, kentongan, sangkakala, tambur, ogoh-ogoh dan lainnya. Penolakan tersebut mendapat dukungan dari Walhi Bali, dan elemen masyarakat lainnya.

Kepada redaksi media ini, hari ini, Made Sudiana memperkirakan bahwa usia rata-rata pohon Mangrove di Muntig Siokan itu mencapai 30 tahun. Ia memberikan kesaksian betapa ia dulu semasih kelas 4 SD ikut menanam bibit Bakau di kawasan pantai Desa Adat Intaran. Saat itu, ia diajak oleh kakeknya yang menjabat Kelian Banjar.  “Saya ingat ketika saya masih kelas 4 SD, ikut menanam bakau itu, saya ingat sekali, saat itu diajak kakek yang masih sebagai Kelian banjar” tuturnya.

Menurut Sudiana, pada 2010 lalu, saat ia menjadi Duta Karang Taruna dan Pemuda Pelopor, ia mempresentasikan materi tentang kelestarian Hutan Bakau (Mangrove) dalam presentasi Lingkungan Hidup.  Alhasil, saat itu, Sudiana meraih predikat sebagai Karang Taruna Terbaik Nasional.  Keindahan  hutan Mangrove yang ia saksikan sejak kecil itu, kini terusik oleh  rencana proyek Terminal LNG yang akan mengancam melenyapkan “paru-paru” Kota Denpasar itu. “Presiden Jokowi menjelang G20 gencar mengadakan penanaman Mangrove di Bali bahkan dengan kalender yang jelas, ini pemerintah Bali kok malah mau “ngabas” Mangrove seenaknya” keluhnya.

Para Prajuru dan Krama Desa Adat Intaran saat di Wantilan DPRD Bali
Para Prajuru dan Krama Desa Adat Intaran di Wantilan DPRD Bali

Saat demo mengantar  krama Desa Adat Intaran, 19 Juni lalu, Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana mengingatkan,  pembangunan terminal LNG akan berdampak terhadap rusaknya kawasan konservasi Hutan Mangrove dan terumbu karang. “Penolakan kami didasarkan pada beberapa alasan :  (1) Kawasan yang akan dijadikan lokasi pembangunan Terminal LNG merupakan kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai. Pembangunan terminal LNG akan mengancam keberadaan Mangrove sebagai Kawasan Konservasi” ujar Alit Kencana;  (2)  Terumbu karang yang sudah ditanam dan dipelihara oleh masyarakat desa adat akan terancam rusak. “Kami sudah menanam terumbu karang, dan hingga saat ini kami jaga, dengan adanya pembangunan terminal LNG kami khawatir terumbu karang tersebut akan rusak,” ujarnya.  Menurutnya, pembangunan terminal LNG dipaksakan karena tidak sesuai dengan RTRW Provinsi Bali khususnya  Pasal 42 ayat (1), lampiran No XI A dan XI B Perda Provinsi Bali nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali Tahun 2009-2029 yang mengatur bahwa kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai diperuntukkan sebagai kawasan lindung (konservasi).  “Kami menolak  revisi RTRW Provinsi Bali yang diduga mengakomodir pembangunan terminal LNG di kawasan Hutan Mangrove.  Imbuhnya, pembangunan terminal LNG itu tidak sesuai dengan misi Presiden Jokowi yang menargetkan menanam Mangrove seluas  600.000 hektare,” jelasnya sebagaimana dimuat oleh beberapa situs berita online.

Menurut informasi,  proyek terminal LNG Sanur dibangun oleh PT PLN Gas & Geothermal (PLNGG) dan PT Dewata Energi Bersih (DEB).  Pembangunan terminal LNG ini ditargetkan rampung pada 2023. Terminal LNG ini merupakan bagian dari transformasi PLN dalam membangun sumber energi terbarukan di Bali. Proyek ini menurut rencana akan membabat Hutan Mangrove di Kawasan Muntig Siokan Sanur  hingga Pesisir Desa Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar yang bersebelahan dengan Desa Adat Intaran.

Alit Kencana menyebut,  sekitar 14 hektar  Hutan Mangrove yang akan dibabat dalam proyek tersebut sehingga setidaknya seluas 7,7 hektar akan terdampak.  Tak hanya itu, proyek terminal LNG disebut bakal mengeruk  3,3 juta meter kubik pasir laut untuk memuluskan Kapal tanker masuk ke Terminal tersebut.  Oleh karena itu,  ia menilai bahwa proyek terminal LNG ini sangat bertentangan dengan visi Pembangunan Bali saat ini “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” yang diusung oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Bali, terutama dalam konsep Segara Kerthi yang memelihara laut atau segara dan segala habitatnya. Bendesa Adat Intaran ini menilai, pihaknya harus menyadarkan pemerintah. “Ini yang harus kita sadarkan. Kita juga harus memberitahu teman-teman, kita juga harus meluruskan” terangnya sebagaimana dikutip beberapa situs berita online. Ia menambahkan, kawasan Desa Adat Intaran merupakan kawasan pariwisata. Karena itu, tidak harus membangun terminal LNG di sekitarnya.  “Desa Adat Intaran termasuk Kawasan Strategis Pariwisata Nasional  (KSPN), dari Kesiman, Sanur , Intaran sampai dengan Serangan.  Jadi yang harus dibangun di tempat itu adalah fasilitas penunjang pariwisata ” ujarnya.  Menurut Sudiana, sambil berjuang bersama Desa Adat Intaran, ia juga ingin menggugah hati nurani semeton yang lain, baik itu pribadi, lembaga swadaya, komunitas, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, praktisi lingkungan dan akademisi.  Sudiana berharap perjuangan Desa Adat Intaran ini didukung oleh desa-desa lainnya sehingga krama Bali tampak kompak.

Sejumlah tokoh Paiketan Krama Bali mengapresiasi langkah Desa Adat Intaran menolak rencana pembangunan Terminal LNG itu. Pembina Umum Paiketan Krama Bali yang juga Bendesa Adat Kedonganan, Dr. I Wayan Mertha, S.E, M.Si  mengaku salut dengan gerakan Desa Adat Intaran berjuang nindihin gumi Bali. “Selamat berjuang semeton Intaran sane nenten surud-surud nindihin gumi baline” ujar I Wayan Mertha.  Bendesa Adat Kedonganan ini berharap, pemerintah lewat Dinas Kehutanan dan Tahura Ngurah Rai mesti konsisten, di lokasi ini tidak boleh menebang, justru harus terus menanam. Ia heran, malah Mangrove  di wilayah Intaran mau ditebang, mana konsistensinya ?  Oleh karena itu ngiring berjuang bersama untuk menyelamatkan Bali kita tercinta. Wana Kerthi harus kita wujudkan tak hanya slogan. Siapa pun yang mengganggu, wajib kita tolak dengan semangat Puputan” ujarnya.   Dr. I Made Suasti Puja, M.il.H menyitir salah satu sloka dari pustaka suci Weda : “Yan kaliyuga tan hana luwihana dening sang mahadana” yang artinya pada jaman kaliyuga saat ini, tidak ada yang lebih mulia daripada uang. Asal sudah ada uang tidak peduli dengan Ibu Pertiwi, jeg adep” keluhnya.  Ketua Departemen Adat dan Budaya Bali di Paiketan Krama Bali, Drs. I Made Kariyasa, S.H, M.H menambahkan, mestinya perjuangan  (Desa Adat Intaran) ini disupport oleh tokoh-tokoh di  Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.  Komentar I Made Kariyasa sejalan dengan  pertanyaan yang disampaikan oleh Ki Belog Ngodog (viral di media sosial) yang mempertanyakan peran dan posisi Ketua MDA Bali dalam kasus penolakan pembangunan Terminal LNG ini.

Komisi III DPRD Bali dan jajarannya menerima Kama Desa Adat Intaran
Komisi III DPRD Bali dan jajarannya menerima Kama Desa Adat Intaran

Demo ke DPRD Bali, Tolak Revisi RTRW Bali

Demo menolak pembangunan terminal  LNG Sanur ini berlanjut  ke kantor DPRD Bali, Selasa, 21/6/2022 kemarin.  Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana menilai, luas kawasan yang akan digunakan untuk membangun LNG tersebut tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Perusahaan Umum Daerah (Perumda) yang akan mengeksekusi proyek tersebut.

Berdasarkan data P.T. Dewata Energi Bersih (DEB), luas hutan Mangrove yang akan digunakan mencapai 3 hektar. “Namun, begitu kami sesuaikan dengan data DEB dalam template jumlahnya malah 7,73 hektar,” ujar Alit Kencana.  Ia menegaskan bahwa masyarakat Desa Adat Intaran Sanur sangat mendukung kerja pemerintah pusat maupun daerah, tetapi hati-hati jangan sampai merusak lingkungan.  Setidaknya ada lima tuntutan yang disampaikan warga Intaran Sanur kepada DPRD Bali kemarin. “Secara umum tuntutan kami sudah tertuang di dalam surat kepada pimpinan DPRD. Kami mendesak Gubernur dan DPRD Bali segera mengeluarkan sikap menolak pemindahan lokasi terminal LNG serta revisi Perda RTRWP Bali,” ujarnya.  Kemarin, mereka juga mendesak DPRD Bali agar segera bersurat ke Gubernur Bali untuk menghentikan dan membubarkan Pansus revisi Perda RTRWP terkait proyek terminal LNG di kawasan Mangrove Tahura Ngurah Rai.

Ketua Komisi III, Adhi Ardhana (Kanan) menerima dokumen penolakan Desa Adat Intaran
Ketua Komisi III, Adhi Ardhana (Kanan) menerima dokumen penolakan Desa Adat Intaran

Perwakilan masa diterima oleh Ketua Komisi III DPRD Bali, A.A. Adhi Ardhana.  Adhi Ardhana mengatakan, jika pembangunan terminal LNG berjalan tanpa solusi yang ditawarkan, dirinya siap “digantung”. “Jika tidak solusi (tapi proyek tetap jalan), saya sampaikan bahwa kami DPRD siap “digantung”, siap dicabut, siap diberhentikan karena tanpa solusi artinya tidak ada persus (peratuan khusus) atau panduan, petunjuk maupu prosedur yang mesti dijakankan” ungkap Adhi Ardhana, saat menerima pendemo di Wantilan DPRD Bali, Selasa 21/6/2022. Sikap itu telah ia sampaikan ke Perusahaan Daerah (Perusda) Provinsi Bali beberapa waktu lalu. Menurut Adhi Ardhana, DPRD Bali telah menekankan bahwa hutan Mangrove merupakan pelindung Pulau Bali sehingga tidak dapat dibabat begitu saja. Kalau pun pemanfaatan Mangrove sangat penting, maka harus ada lokasi pengganti agar fungsi Mangrove tetap berjalan baik. Pihaknya mengaku telah memberikan alternatif kepada P.T.  Dewata Energi Bersih (DEB) untuk segea ditindaklanjuti dengan Pemkot Denpasar. (*diolah dari berbagai sumber).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email