Penggunaan Atribut PHDI Tanpa Hak, Dapat Dipidana

Para tokoh dan aktivis dalam pertemuan terbatas beberapa hari lalu di Denpasar

DENPASAR – Penggunaan atribut, logo PHDI tanpa hak oleh oknun-oknum yang tidak berhak tanpa seizin dari PHDI merupakan tindakan pidana. Oleh karena itu oknum-oknum tersebut dapat dilaporkan ke kepolisian. Sebab, jika hal tersebut dibiarkan, maka citra majelis tertinggi umat Hindu itu akan tercoreng akibat ulah oknum-oknum yang mengatasnamakan PHDI MLB (yang kemudian berubah menjadi PHDI Pemurnian). Tindakan untuk melaporkan oknum-oknum tersebut adalah penting untuk menjaga wibawa, citra  dan kredibilitas PHDI sebagau lembaga Hindu tertinggi. Demikian pendapat sejumlah tokoh dan aktivis dalam diskusi terbatas di Denpasar beberapa hari lalu.

Mereka yang hadir dalam diskusi terbatas itu adalah Dr. I Gde Made Sadguna, S.E, MBA; Drs. I Ketut Donder, M.Ag, Ph.D; Drs. I Ketut Ngastawa, S.H, M.H, ; Drs. Agus Wijaya, S.Pd, S.Ag, M.M, M.Si; K.S. Arsana, S.Psi, M.Pd; Agus Maha Usadha, Drs. Putu Suasta, M.A; Arya Suharja, dr. Wayan Sayoga; I Nyoman Gde Ardika, S.T.

Pendapat para tokoh dan aktivis itu disampaikan bukan tanpa dasar.  Menurut mereka, yang paling terang adalah bukti-bukti bahwa PHDI Hasil Mahasabha XII, 28-31 Oktober 2021 di Jakarta telah mengantongi legalitas yang kuat dengan keluarnya SK. Menkumham No. AHU-0000548.AH. 01.08.Tahun 2022, tanggal 24 Maret 2022 tentang susunan pengurus PHDI Hasil Mahasabha XII.  Menurutnya, SK Kemenkumham itu adalah legalitas pemerintah terhadap PHDI hasil Mahasabha XII.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya gugatan pihak PHDI MLB (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Mahasabha Luar Biasa (yang kemudian berubah nama PHDI Pemurnian)  di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) atas SK Kemenkumham itu, dinyatakan ditolak untuk seluruhnya oleh PTUN Jakarta, Rabu (16/11/2022). Putusan Majelis Hakim PTUN Jakarta Nomor 173/G/2022/PTUN.JKT yang pada intinya menyatakan MENOLAK GUGATAN PENGGUGAT UNTUK SELURUHNYA.

Beberapa bulan sebelumnya, pihak PHDI MLB menggugat enam tokoh PHDI atas penyelenggaraan Mahasabha XII. Keenam tokoh PHDI tersebut adalah : Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, S,IP; Ir. Ketut Parwata; Dr. Ir. Ketut Puspa Adnyana, M.TP; Dr. Drs. I Wayan CatraYasa, M.M; Drs. I Ketut Sudiartha, M.Pd dan Mayjen TNI (Purn) Made Datrawan, S.IP. Hasilnya, PN Jakarta Barat dalam amar putusannya menyatakan bahwa gugatan PHDI MLB tersebut dinyatakan ‘’NO’’ (Niet Ontvankelijke Verklaard).  Putusan “NO” merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.

Dengan putusan tersebut, aspek legalitas PHDI hasil Mahasabha XII semakin kuat. Terbukti bahwa  Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat telah menerima Sertifikat Hak Merk atas Lambang/Logo dari Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham pada Rabu (20/4/2022) di Jln H. R. Rasuna Said, Jakarta Selatan.  Sertifikat diterima langsung oleh Sekretaris Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, I Ketut Budiasa, S.T, M.M. “Astungkara merk/logo Parisada saat ini sudah memiliki sertifikat hak merk, artinya terlindungi secara hukum dari penggunaan secara tidak sah oleh orang-orang atau entitas yang tidak berhak” ungkap I Ketut Budiasa.

Putusan PN Jakarta Barat, Putusan PTUN Jakarta, SK Kemenkumham atas Kepengurusan PHDI dari Kemenkumham dan Sertifikat Hak Merk atas Lambang/Logo dari Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham yang telah diterima oleh PHDI hasil Mahasabha XII, menurut para tokoh, sudah sangat kuat dan menjadi asar hukum untuk melaporkan oknum-oknum yang menggunakan atribut PHDI tanpa hak ke proses hukum. Sekarang tergantung PHDI Pusat.  “Maukah PHDI mengambil langkah hukum dengan melaporkan oknum-oknum yang diduga telah melakukan tindak pidana antara lain menggunakan merk, logo atau atribut PHDI sebagaimana dilakukan oleh Komang Priambada, dkk” ujar Drs. I Ketut Ngastawa, S.H, M.H. Mengingat, jika penggunaan atribut PHDI itu didiamkan, mereka khawatir wibawa, citra, dan kredibilitas PHDI sebagai lembaga umat Hindu akan menjadi kurang baik di mata umat Hindu.

Ketut Ngastawa adalah aktivis Hindu yang terlibat secara langsung dalam Mahasabha VII (1996) di Surakarta dan Mahasabha VIII (2001) di Denpasar. Ia juga terlibat sebagai salah satu tim investigasi aset-aset PHDI pada 2001.  Ngastawa berjuang bersama para senior dan tokoh Hindu seperti Ibu Gedong Bagoes Oka, Prof I Gusti Ngurah Bagus, Prof. Putra Agung, Prof. I Ketut Rindjin, Prof. Gede Anggan Suhandana, I Dewa Gede Ngurah Swastha, S.H (kini, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet), I Wayan Sudirta, S.H, Prof. Dewa Komang Tantra, Ph.D,  I Putu Alit Bagiasna, Sm.Hk. Tujuan perjuangannya adalah agar PHDI sebagai majelis tertinggi umat Hindu lebih adaftif dalam merespon perkembangan keumatan sekaligus dapat lebih mengayomi seluruh umatnya di seluruh Indonesia. Apalagi ketika itu politik aliran atau identitas secara nasional mulai mengedepan sehingga soliditas dan solidaritas antar-umat Hindu Indonesia  bangkit   bersatu menghadapi tantangan yang tidak ringan tersebut. Menurutnya, segala perbedaan yang berkembang belakangan ini terkait eksistensi PHDI,  sebaiknya dibahas melalui mekanisme mahasabha. Ia menyerukan semua pihak untuk bersatu sebagaimana kalimat sering diucapkan Vasudhaiwa Kutumbhakam. “Bukankah kita sering menyerukan kalimat Vasudhaiwa Kutumbhakam” ujarnya.

Sebelumnya, disela-sela penyelenggaraan Seminar Moderasi Beragama yang digelar PHDI, 19-20 Nopember 2022  lalu di Denpasar,  desakan untuk menempuh jalur hukum terhadap oknum-oknum yang menggunakan atribut PHDI juga disampaikan oleh Ketua Pengurus Harian PHDI Kalimantan Tengah, I Wayan Suata, S.H, M.M, M.H. Sejumlah Pengurus Harian PHDI Provinsi meminta PHDI Pusat agar segera  melaporkan ke kepolisian terhadap penggunaan merk, logo dan atribut PHDI tanpa hak (*ram).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email