Laporan : Joni Artha, Editor : Nyoman Merta
BANGLI – Rektor UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si didampingi Direktur Pascasarjana Prof. Dr. Dra. Relin, D.E., M.Ag beserta jajaran, Jumat, (23/5/2025) serangkaian Dies-Natalis ke-26 Fakultas Dharma Duta Tahun 2025 menanam pohon pohon Suwi dan Matoa. Kegiatan ini merupakan implementasi dari penguatan Ekoteologi sebagaimana digagas oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. K.H Nasaruddin Umar, M.A.

Menurut Prof. Ngurah Sudiana, pohon Suwi memiliki makna yang sangat penting bagi umat Hindu dan menjaga paru-paru bumi. Menurutnya, pohon Suwi memiliki makna yang sangat penting dalam budaya dan spiritualitas umat Hindu di Bali. Menurutnya, pohon Suwi ini dianggap suci dan memiliki beberapa makna simbolis, antara lain:
- Simbol Kesuburan: Pohon Suwi sering dikaitkan dengan kesuburan dan kemakmuran. Dalam upacara adat dan ritual keagamaan, pohon ini digunakan sebagai simbol untuk memohon kesuburan tanah dan kemakmuran bagi masyarakat.
- Pengharum Ruangan: Daun pohon Suwi memiliki aroma yang harum dan sering digunakan dalam upacara keagamaan untuk membersihkan dan mengharumkan ruangan. Ini melambangkan kesucian dan keharuman spiritual.
- Obat Tradisional: Pohon Suwi juga digunakan dalam pengobatan tradisional Bali. Bagian-bagian pohon ini dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga menambah nilai pentingnya dalam kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali.
- Simbol Kehidupan Spiritual: Dalam konteks spiritual, pohon Suwi bisa melambangkan perjalanan spiritual manusia. Seperti pohon yang tumbuh dan berkembang, manusia juga diharapkan untuk terus tumbuh dan berkembang dalam spiritualitasnya.
Pohon Suwi memang memiliki banyak makna dan fungsi dalam kehidupan umat Hindu di Bali, baik dalam aspek spiritual, budaya, maupun keseharian. Oleh karena itu Prof. Ngurah Sudiana mengajak Direktur Pascasarjana Prof. Relin, peserta PPPK-ASN, para mahasiswa, dan jajaranya untuk memegang pohon Suwi dan mengajak berdoa bersama sebelum ditanam.

Acara dilanjutkan dengan menanam pohon Matoa sebagaimana himbauan Menteri Agama RI. Rektor Prof. Ngurah Sudiana menjelaskan makna dan pentingnya pohon Matoa (Pometia pinnata), juga merupakan pohon yang penting bagi budaya di beberapa daerah, termasuk di Indonesia, terutama di Papua. Rektor mengurai beberapa makna dan manfaat pohon Matoa sebagai berikut:
- Sumber Makanan: Buah Matoa adalah salah satu produk yang menjadi sumber makanan bagi masyarakat lokal. Buahnya yang manis dan kaya nutrisi membuatnya sangat dihargai.
- Nilai Ekonomi: Pohon Matoa juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya berkualitas dan tahan lama. Kayu Matoa sering digunakan untuk konstruksi dan kerajinan tangan.
- Simbol Kuat dan Tahan Lama: Dalam beberapa budaya lokal, pohon Matoa bisa melambangkan kekuatan dan ketahanan karena umurnya yang panjang dan kemampuan adaptasinya yang baik terhadap lingkungan.
- Bagian dari Ekosistem: Pohon Matoa berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Mereka menyediakan habitat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan lainnya.
- Kearifan Lokal: Di beberapa komunitas adat, pohon Matoa mungkin memiliki makna spiritual atau ritual tertentu, seperti menjadi bagian dari upacara adat atau simbol dalam cerita rakyat.
Dijelaskan bahwa, pohon Matoa memang sangat berharga, baik dari segi ekologis, ekonomis, ekoteologi maupun budaya. Berbagai jenis pohon memang bisa memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itulah, Prof. Ngurah Sudiana berpesan agar setiap individu perlu memiliki kesadaran yang berkesinambungan dalam menjaga kelestarian alam. Pepohonan itu, menurutnya, akan mampu memberikan sejuta nafas bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan bumi ini beserta penghuninya.
Menurut Prof. Ngurah Sudiana, penguatan ekologi ini sangat penting mengandung unsur studi tentang hubungan antara makhluk hidup (organisme) dengan lingkungan sekitarnya. Secara ekoteologi, sesungguhnya menanam pohon mencakup beberapa aspek penting misalnya tentang interaksi antara organisme dengan faktor lingkungan seperti tanah, air, udara, dan organisme lain. Proses ini bisa memberikan kesadaran kepada manusia betapa pentingnya pepohonan sebagai paru-paru bumi ini. Ekoteologi membantu memahami bagaimana ekosistem berfungsi dan bagaimana menjaga keseimbangan alam. Ekoteologi sebagai sumber konservasi memberikan dasar-dasar untuk konservasi sumber daya alam dan perlindungan lingkungan sehingga tanggung jawab sebagai manusia menjaga lingkungan bisa terpenuhi.

Keberlanjutan ekoteologi, kata Prof. Ngurah Sudiana, membantu memahami bagaimana mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi saat ini dan mendatang. Pemahaman tentang dampak bagi manusia secara ekoteologi dapat dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, manusia mesti mempertimbangkan dampak dari aktivitasnya terhadap lingkungan dan bagaimana mengurangi dampak negatif tersebut.
Program yang digagas oleh Menteri Agama RI ini memberikan kesadaran dan pemahaman terhadap makna ekoteologi. Sehubungan dengan itu, Prof. Ngurah Sudiana mengajak warga masyarakat agar menjaga lingkungan dan menggunakan sumber daya alam secara bijak. Dari sisi moralitas dan etika kepercayaan kepada Tuhan, menurut Prof. Ngurah Sudiana, pepohonan sebagai simbol pengharapan dan ketenangan sraddha bhakti manusia kepada Tuhan yang dapat memberikan pengharapan dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup.
Menurut Rektor Prof. Ngurah Sudiana, pepohonan dan hutan mampu juga memberikan refleksi dan introspeksi diri bagi manusia untuk memahami diri dan hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan). Pepohonan juga dapat diapakai dalam praktek ritual dan ibadah menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual manusia yang berketuhanan, baik sebagai bahan makanan maupun sarana dan prasarana acacara dan upacara keagamaan. Aspek-aspek ini menunjukkan, bagaimana seharusnya hidup berketuhanan melalui penguatan ekoteologi. Menanam pohon itu penting dalam kehidupan manusia, selain membentuk pandangan hidup, perilaku, juga hubungan sosial (*).