Oleh : Wayan Windia *)
Bangsa ini diperjuangkan dan ditegakkan dengan berdarah-darah. Generasi Pembebas yang terlibat dalam perang kemerdekaan, terpanggil untuk memberi kepada bangsanya. Kaya-miskin, pria-wanita, tua-muda, mereka semua semangat memberi (berbagi) untuk bangsanya. Bahkan mereka ikhlas memberikan (mengorbankan) jiwa-raganya untuk bangsanya. Sementara itu, rakyat jelata di pedesaan, memberikan makan-minum, tempat pemondokan bagi para gerilyawan pejuang kemerdekaan.
Di kala itu, para elite politik, semuanya saling memberi (berbagi) kepada bangsanya. Karena keterpanggilan untuk saling memberi (berbagi) itulah, kemudian bisa terwujud Empat Konsensus Nasional. Sekarang di kalangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikenal sebagai Empat Pilar Kebangsaan yang terdisi dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI. Kalau tidak ada keterpanggilan untuk saling memberi (berbagi) itu, jangan harap sekarang ada NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan mungkin bangsa ini akan berkeping-keping, bagaikan kembang atau kaca pecah seribu.
Sekarang, marilah kita lakukan introspeksi diri. Setelah kita menikmati nilai-nilai kemerdekaan sejak 1945 sampai saat ini. Pertanyaan besarnya : Apakah yang telah kita berikan kepada bangsa ini? Rasanya belum ada. Semuanya sudah serba uang (cash and carry). Semua serba dibayar. Semuanya pragmatis dan transaksional. Bahkan pejabat negara yang gaji dan tunjangannya sudah besar, masih pula tergiur untuk korupsi. Aji mumpung jadi pejabat. Buktinya, sudah ratusan bupati dan gubernur, anggota dewan dan sejumlah menteri dicokok KPK, lalu disidang dan masuk bui. Tak terkecuali pejabat di Bali.
Hari-hari menjelang rakyat menggunakan hak pilih dalam setiap pemilu, juga kerap beredar amplop (serangan fajar, money politic). Padahal, banyak tokoh dunia yang telah menyampaikan kata-kata bijak. “Jangan hanya tanyakan, apa yang dapat diberikan oleh negara untuk diri kita. Tanyakan pula, apa yang dapat kita berikan kepada negara”.
Setelah serangan Covid sejak Maret 2020 dan serangan Rusia ke Ukraina, dunia mengalami krisis pangan dan energi. Presiden Jokowi berkali-kali mengingatkan rakyatnya, tentang bahaya laten krisis pangan tersebut. Bahkan tahun depan (2023), ekonomi dunia diprediksi semakin sulit. Jokowi juga telah menyerukan (warning) di mana-mana, bahwa subsidi yang nilainya lebih dari 500 triliun dari APBN yang diberikan untuk kepentingan rakyat, harus tepat sasaran. Hal ini dikatakan berkali-kali dan di mana-mana. Ini adalah bentuk kehadiran negara dalam mengatasi kebutuhan hidup rakyatnya.
Saya yakin, keterangan-keterangan dari Jokowi itu, bukan tanpa tujuan. Ia ingin membangun kesadaran publik tentang betapa beratnya beban negara saat ini. Beban berat seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Dari pernyataan itu tersirat bahwa, pesan yang ingin disampaikan kepada rakyat adalah, seluruh dunia sedang mengalami krisis. Kalau pemerintah salah kelola anggaran, maka negara ini bisa bangkrut. Srilanka adalah salah satu contohnya. Bisa dibayangkan, kalau NKRI yang wilayahnya sangat luas (1,905 juta kilometer persegi), terdiri dari 16.771 pulau dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta (yang sangat heterogen), 1.340 suku bangsa (BPS 2010), menjadi bangkrut.
Pesan lainnya yang ingin disampaikan Jokowi, agar rakyat siap bersama-sama menanggung beban negara yang maha berat ini. Saya ingin mengatakan bahwa Jokowi sangat ingin agar rakyat sadar, bahwa sekaranglah saatnya untuk memberi (berbagi) kepada bangsanya, ikut berkorban menanggung beban negara. Bukan dengan demonstrasi-demonstrasi, yang bisa saja berubah anarkis (walau demonstrasi tak dilarang asal ada ijin). Atau dipolitisir oleh kaum politikus menuju Pemilu 2024. Aneh juga ya. Dua tahun sebelum tahun 2024, rakyat dan kaum elite sudah ribut-ribut. Elit partai politik mulai bergerilya, mulai lobi sana-sini.
Saat ini rakyat disuguhkan dengan banyak dagelan politik yang menggelikan. Ada yang meniru-niru cara Jokowi saat ke Hambalang naik kuda, ada oknum gubernur (yang berambisi jadi capres) tiba-tiba cari simpati jadi sopir angkot, ada yang terpaksa turun ke sawah menanam padi, pura-pura jadi “petani” seolah-olah peduli kepada petani, bahkan ada yang tak tahu malu cengangas-cengenges menawarkan diri jadi cawapres walau ekektabilitasnya nol koma. Bagi sebagian rakyat yang mengerti politik, tingkah polah elit dan kaum politikus ini sungguh menggelikan. Memang inilah konskuensi dari demokrasi liberal.
Kembali ke soal kesadaran memberi (berbagi). Barangkali tidak perlu memberi dan berkorban seperti dalam perang kemerdekaan. Bisa memberi (berbagi) dengan cara lain. Yang paling mudah, dengan mengurangi kenikmatan hidup, mulai berhemat. Kurangi bepergian ke luar negeri, kurangi bepergian ke luar daerah, kurangi makan-makan mewah di restoran atau berpesta pora berhura-hura saat rakyat sedang kesulitan ekonomi. Sekaranglah saatnya memberi (berbagi) sedekah kepada rakyat yang masih serba kekurangan di sekitar kita. Atau minimal diam tak bikin ribut atau konflik apalagi memperkeruh suasana dan menambah panik rakyat. Percayakan semuanya kepada kebijakan pemerintah dalam pengawasan DPR. Mari hidup sederhana, seirama dengan situasi dunia yang sedang prihatin.
Rasanya memang tak mudah mengurangi kenikmatan. Karena sebagian dari kita terlanjur telah kalah total melawan arus globalisasi. Sebagian dari kita sudah menyerah kalah melawan nafsu/keinginan. Globalisasi telah melahirkan generasi baru yang dalam benaknya terlalu banyak harapan-harapan, tuntutan-tuntutan. Ya, harapan-harapan dan tuntutan boleh-boleh saja. Tetapi janganlah lupa pada sejarah bangsa, ketika negara ini dibangun dengan perjuangan dan tetesan darah. Kalau tidak ada para Generasi Pembebas yang ikhlas memberi kepada bangsa ini, apakah generasi baru saat ini bisa memiliki harapan-harapan? Jangan-jangan mereka sudah mati konyol, dilanda konflik yang berkepanjangan antar-suku bangsa.
Butuh Dialog
Untuk bisa membangun kesadaran memberi kepada bangsa, diperlukan dialog secara berkelanjutan antar-generasi. Sampaikan dengan lugas sejarah perjuangan bangsa dan problematikanya sampai meraih kemerdekaan. Pada hari-hari yang bersejarah, adakan dialog antara Generasi Pembebas yang masih eksis, dengan generasi yang sedang memegang kekuasaan. Sedangkan mahasiswa dan siswa melakukan dialog dengan badan-badan yang berkompeten (BPIP, MPR, dll). Hanya dengan dialog secara rutin, akan bisa muncul sebuah kesadaran berbagi, kesadaran memberi dan berbagi.
Presiden dan para elit bangsa lainnya, juga harus mampu membangun kesadaran publik (rakyat) untuk bisa memberi (berbagi) kepada bangsanya. Dalam setiap kesempatan berpidato, jangan hanya bicara tentang pembangunan dan hal-hal teknis. Harus dan penting juga berpidato tentang idealisme, tentang semangat dan spirit kebangsaan (nasionalisme), patriotisme guna membangun kesadaran, bahwa bangsa ini harus dibangun bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa. Tetapi kaum elit harus bisa memberikan keteladanan karena rakyat butuh keteladanan, tak sekadar wacana dan untaian kata-kata.
Bahwa, di sisi lain, rakyat janganlah hanya bisa meminta (menuntut) ini dan itu. Walau menuntut itu sah-sah saja sebagai anak bangsa. Tetapi tatkala negara dalam keadaan sulit dan bahkan dunia dalam keadaan sulit, maka rakyat harus juga bersama-sama bisa memberi (berbagi), ikut berkontribusi. Sebetulnya, inilah tugas besar dari para elit bangsa kita. Jangan hanya berseteru, saling sindir, saling serang statemen dan bahkan ada mantan presiden yang saling tak berbicara (Bahasa Bali : puik) karena dendam. Rakyat butuh keteladanan dari pemimpinnya, termasuk keteladanan memberi, berbagi (berkorban). Denpasar, 29/9/2022 *) Penulis, adalah Guru Besar Emeritus Univ. Udayana, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.