Menyongsong Pilkada Serentak, Nopember 2024
Tradisi dan Demokrasi Pemilihan “Murdaning Jagad Bali”

JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Tokoh Hindu di Kendari)

Oleh : JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP.

 

Pengantar

Bali memiliki keunikan sendiri sejak awal ditemukannya. Keunikannya ini digambarkan oleh Clifford Geertz, yang nama lengkapnya Clifford James Geertz (CG) dalam bukunya “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali”. CG dengan sangat manis menggambarkan keindahan dan manusia Bali: lanscap alam dengan permukaan yang bergelombang, gunung, ngarai, pantai yang membentuk pemandangan mempesona. Wajah orang Bali yang tersenyum membuat hati lega dan nyaman. Buah dada perempuan Bali yang anggun, tidak ada duanya di Asia Tenggara sebuah daya tarik yang mempesona. Keramahtamahan dan sikap yang tulus, ikhlas dan lugu menambah kekaguman atas karakter orang Bali. Kebudayaan yang dibalut pengaruh Hindu yang masih aktif sampai saat ini, Bali dan budayanya adalah museum hidup satu-satunya yang masih tertinggal di belahan Asia Tenggara bahkan dunia. CG mungkin terlalu memuji, tetapi itulah fakta di masa ia melakukan penelitian. Namun CG juga menulis mengenai bangsawan Bali, kehidupan masyarakat Bali, superioritas politik, ritual dan upacara besar. Apakah hal ini ditransfer juga oleh pemimpin Demokrasi-Modernitas di Bali? Mungkin perlu sebuah penelitian komprehensif untuk menjawabnya. Sebelumnya, ada Covarrubias seorang sarjana Barat dan Atropolog juga mengisahkan tentang Bali dengan tak kalah manis. Covarrubias yang nama lengkapnya José Miguel Covarrubias Duclaud menulis buku tentang Bali berjudul “Island of Bali” (1937), membuat dunia khususnya Amerika Serikat terobsesi pada Bali. Bali pun terkenal karena buku ini. Belakangan buku berjudul “The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali” (1995), yang ditulis Geoffrey Robinson. Kemudian novel “Eat, Pray, Love: One Woman’s Search for Everything Across Italy, India and Indonesia” (2006) ditulis oleh Elizabeth Gilbert. Yang terkait ODGJ ditulis oleh Bonella berjudul “Bali Snowing” dan “Bali 10K”. Kalau dicermati melalui tulisan ini tampak terjadi degradasi atau penurunan Budaya Bali dan keindahan alamnya, akibat gempuran IT dan melonjaknya ekonomi sebagai dampak industri pariwisata.

Kali ini kita berbicara tradisi atau budaya Bali dan demokrasi. Terkait Pemilihan Kepala Daerah serentak di Indonesia, termasuk Bali. Ajang pesta demokrasi 2024 yang akan menentukan kesejehteraan (kebahagian) rakyat Bali tahun 2024-2029. Pesta Demokrasi ini sejatinya bermaksud mencari “Murdaning Jagat Bali”, bukan sekadar kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetapi secara tradisional sebagai “Raja Bali”. Sekali lagi Raja Bali. Namun, jangan lupa jaman edan (Kaliyuga) digambarkan dengan baik dalam lakon “Petruk Dadi Raja”, yang menampar tradisi kita di Bali. Terkait Murdaning Jagat Bali ada baiknya mengutip Pustaka Suci Arthasastra I.19.16.34 dan I.2.1.1 yang berbunyi “Pada kebahagian rakyatlah letak kebahagian seorang raja (pemimpin), apa yang bermanfaat bagi rakyat juga bermanfaat bagi raja. Apa yang berharga bagi dirinya (raja) belum tentu berharga bagi rakyatnya, tetapi apa yang berharga bagi rakyatnya tentu berharga bagi dirinya (raja)”. Sloka ini mengisyaratkan bahwa kedaulatan itu ada pada rakyat. Artinya siapa pun Murdaning Jagat Bali nantinya, harus mengutamakan kepentingan dan kebutuhan rakyat Bali untuk mencapai “Tata Tentram-Kerta Raharja”. Sama sekali bukan kepentingan dan kebutuhan gubernur, bupati/walikota di Bali. Dalam pesta demokrasi nanti, rakyat Bali harus mampu merumuskan visi-misi 2024-2029 yang pas untuk Bali, yang memposisikan dirinya adalah bagian penting dari tradisi dan Budaya Bali. Dengan mendapatkan pemimpin Bali “Murdaning Jagat Bali”, yang tepat dan memiliki “wangsit kaprabon”, Bali akan mencapai Tata Tentram-Kerta Raharja. Sedangkan sloka Arthasastra I.2.1.1, menyebut : “Anviksaki (Filsafat), ketiga Veda (Rg, Sama dan Yayur), Varta (Ekonomi) dan Dandaniti (Politik).  Inilah ke empat ilmu utama (vidya)”. Vidya inilah yang harus dimiliki oleh pemimpin Bali. “Anviksaki”, pemimpin Bali harus benar-benar memahami Filsafat Hindu dan Tradisi Bali (Ke-Hindu-an dan Ke-Bali-annya tidak diragukan), pun sejarah Bali dan kemampuannya bertahan sampai saat ini. Catur Veda : sebagai seorang Hindu setidaknya mempunyai gambaran tentang intisari ajaran yang terkandung dalam wahyu: Rgveda, Samanveda, Yayurveda dan Atharvaveda). “Varta” : perkembangan ekonomi yang menyejahterakan rakyat. Rsi Canakya melalui Pustaka Suci Nitisastra menyatakan “Dharmasya Moolam Arthah”. Ekonomi adalah kekuatan, namun ekonomi harus diperoleh berdasakan cara-cara benar (dharma). “Dandaniti” : pemimpin Bali sangat perlu memahami politik yang sebenarnya yaitu cara dan strategi untuk mencapai tujuan berdasarkan dharma. Gabungan ke empat yang disebutkan dalam Nitisastra tersebut akan dapat mewujudkan kebahagian rakyat Bali.

Permasalahan Bali

Kalau membicarakan hal Salah Pati (bunuh diri), perceraian (gamyagamana), kemiskinan (ketiwasan) dan gangguan jiwa (bukan kedewan-dewan) sepertinya kita tidak percaya, karena banyaknya sesanti kadyatmikan yang terhimpun dalam kearifan lokal adiluhung di Bali. Namun, faktanya ini masalah besar di Bali. Murdaning Jagat Bali, siapa pun nantinya, harus mempunyai kemampuan menyelesaikan atau mengurangi masalah klasik (besar) ini.  Berikut saya sajikan setidaknya 7 (tujuh) masalah Tradisi vs Demokrasi di Bali, yang setidak-tidaknya tergambar dalam visi-misi 2024-2029, yaitu: (1) ODGJ pertama (Overstaying, Drugs, Gang-related Activities, and Junkies): Overstaying, kelebihan waktu sesuai ijin tinggal yang sering terjadi mungkin saja tidak secara langsung berpengaruh pada upaya membangun kebahagian rakyat Bali. Namun ini menyangkut kemartabatan negara. Drugs, menurut novel Bonella yang berjudul “Bali Snowing” yang disusun berdasarkan surveinya selama 3 tahun mememberikan gambaran Bali merupakan pusat atau bagian penting dari peredaran dan transit Narkoba dunia. Kasus-kasus besar Narkoba memang sering ditemukan di Bali, termasuk hukuman mati yang mengundang protes negara asal wisatawan. Bagaimana Murdaning Jagat Bali bisa menyelesaikan ini, sementara candu memang dikenal sepanjang sejarah Bali? Gang Related Activities, dengan sangat jelas seperti vidio di depan mata. Apakah itu berupa organisasi masa, mafia pertanahan, mafia narkoba dan lainnya. Kadangkala seorang pemimpin berhasil saat mengumpulkan dukungan karena dekat dengan geng atau preman. Apakah di Bali organisasi massa tertentu dapat dikatakan komplotan yang mendapat keuntungan dari pilkada langsung? Melalui kecerdasannya memanfaakan telik sandi Murdaning Jagat Bali dapat mengelola masalah ini. Junkies, pengguna narkoba di wilayah pariwisata sudah menjadi rahasia umum. Tidaklah mungkin Bonella berhasil menukiskan kisahnya dalam sebuah buku bila persoalan ini tidak ada; (2) ODGJ kedua (Orang dengan Gangguan Jiwa): menurut keyakinan berdasarkan pengetahuan pustaka suci orang yang disebut ODGJ adalah nerakasyuta, kelahiran dari neraka. Inilah yang banyak di Bali. Namun ODGJ ini, kecuali pada tingkatan depresi akut menjadi masalah, sepanjang masih pada batas kedewan-dewan tidak mengganggu upaya membangun kebahagian rakyat (bahkan orang kedewan-dewan mendapat tempat spesial dalam masyarakat Bali); (3) Salah Pati, Ulah Pati dan perceraian : Perempuan di Bali meskipun dalam ajaran Hindu diposisikan sangat terhormat, namun dalam faktanya perempuan Bali memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh keadilan dan kesamaan hak. Kemajuan ekonomi dan keberhasilan emansipasi dan gender membuat perempuan menjadi lebih mandiri. Kasus perceraian yang tercatat, banyak berasal dari gugatan pihak perempuan. Salah pati adalah wajah lain dari masalah di Bali yang bukan saja saat ini, namun lebih terbuka karena adanya medsos dan komen netizen. Salah pati sangat dilarang oleh ajaran Agama dan Tradisi Bali, baik dalam ajaran Veda maupun Lontar-lontar; (4) Tradisi dan modernisasi: dampak utama yang ditimbulkan adalah adanya pergeseran dari religius-spitualitas ke hedonis-materialistis. Tradisi Bali sampai saat ini masih terjaga meskipun terus berubah secara dinamis. Perubahan tradisi ini harus mengarah kepada tujuan sesanti Tata Tentram-Kerta Raharja, masyarakat madani yang sejahtera. Demikian juga modernisasi tidak seharusnya menafikkan tradisi. Keseimbangan dan titik temu keduanya sangat perlu dapat dikelola untuk upaya membangun kebahagian rakyat Bali; (5) Penghormatan dan Pengakuan Budaya: banyak anekdot yang bersifat sarkasme sekarang berkembang di masyarakat terkait dengan masalah ini. “Orang Bali memelihara budayanya dengan tekun, namun para pendatang (migran) menjualnya tanpa modal yang besar”. Dalam hal ini, masyarakat adat Bali tidak pernah merasa “dihianati” atau “dicurangi”, karena menjaga budaya terkait dengan sraddha dan bhakti.  Yang ada hanya ketulusan dan keikhlasan. Kalau pun ada Krama Nuwed yang diuntungkan, itu hanya karena kecerdasannya memainkan situasi; (6) DPRD dan Dewan Adat, bila pemerintahan NKRI mengenal DPR, secara tradisional perlu sandingan yang menjadi kebudayaan dan tradisi Bali yaitu Dewan Adat (bukan Majelis Desa Adat (MDA), yang menghilangkan otonomi Desa Adat). Sinergi dan titik temu kedua pihak dalam menyelaraskan tujuan membangun kebahagian rakyat Bali akan mendukung terwujudnya sesanti  Tata Tentram-Kerta Raharja. Selama ini hanya tampak dalam dualisme pemerintahan desa: desa dinas dan desa adat; dan (7) Pura, Upacara Adat dan Pemerintah: Pura harus diposisikan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Bali. Sementara upacara adat adalah implementasinya yang harus dijaga dan dimartabatkan oleh pemerintah. Banyak kasus yang terjadi: apakah pelecehan Pura, pelecehan brata penyepian dan lainnya terkait dengan fungsi pemerintahan. Pertentangan rakyat dan kebijakan pemerintah demi pertumbuhan ekonomi sepatutnya memperhatikan loka dresta yang terkait dengan kesucian Pura. Semoga “Murdaning Jagat Bali” yang akan datang menjadikan ketujuh masalah ini sebagai program utama untuk membahagiakan rakyat Bali.

Siapakah Murdaning Bali?

Bali seperti halnya Yogyakarta, memiliki kesamaan dalam hal keunikan seni-budayanya. Bukan pada struktur dan morpologinya, tetapi pada spirit dan aktivitasnya. Yogyakarta berhasil menjadi daerah khusus karena peran besarnya dalam melahirkan NKRI. Bali ditemukan karena penerawangan Raja Medang Kemulan, yang kemudian menugaskan Maharsi Markandeya untuk menemukan “Sinar” di Timur itu. Yang kemudian berkembang menjadi Island of Bali (Covarrubias). Dalam era “monarki”, Murdaning Jagat Bali adalah dinasti trah raja-raja, yang memperoleh “wahyu cangkraningrat” atau “wahyu kaprabon”. Masyarakat adat di Bali merasa ewuh-pakewuh kalau yang memimpin bukan dari kelompok ini (trah raja-raja). Spirit ini terbentuk sampai menjelang reformasi dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sopir dan preman (istilah kami: anak-anak deker) bisa menjadi kepala daerah di Indonesia saat itu, mungkin juga di Bali. Sementara demokrasi menuntut kompetensi dan kapasitas, artinya “kemampuan” seseorang (meskipun dalam faktanya tidak demikian), melalui pemungutan suara. Kinerja dan keberhasilannya dapat kita lihat di media. Pemerintahan hanya bagus dijalankan oleh mereka yang memahaminya. Kenyataannya, banyak kepala daerah pasca reformasi hasil pilkada langsung, membuat bingung para birokrat-teknokrat, yang tidak dapat berbuat apa-apa karena posisinya sebagai bawahan.

Pilkada Serentak 2024: Perpaduan Budaya-Tradisi dan Demokrasi-Modernitas

Mungkin terlalu naif kalau mengatakan lebih baik memilih calon kepala daerah yang lahir dari Budaya-Tradisi yang juga hasil Demokrasi-Modernitas daripada hanya Demokrasi-Modernitas atau hanya Budaya-Tradisi. Setidaknya ada 29 trah di Bali, dan tidak semuanya memiliki “wahyu cakraningrat”, namun semua bukan jaba. Cukup menarik berita media bahwa raja-raja Bali berkumpul di Bali Utara untuk sepakat mendukung pembangunan Bandara Bali Utara. Menjadi sangat baik dan demokratis bila juga dilanjutkan pada mendukung “Murdaning Jagad Bali” yang berasal dari titik temu Budaya-Tradisi dengan Demokrasi-Modernitas”. Karena apa? Masyarakat Bali masih sangat percaya adanya punarbhawa atau numitis kembali dan karma. Mungkin saja raja-raja Bali yang berhasil dahulu kala belum “lahir kembali” atau karena Bali masih menjalani karma buruknya sehingga belum mendapatkan pemimpin yang dapat membahagiakan rakyat Bali. Suatu saat Bali mungkin tenggelam seperti Kerajaan Dwaraka atau bahkan berkembang maju dan sejahtera seperti Indraprastha (New Delhi sekarang). Tidak ada yang tahu. Perubahan yang menuju kebaikan di Bali sangat bergantung pada masyarakat Adat Bali. Artinya peran elit-elit  29 Trah di Bali bisa bersatu membangun Bali lebih maju. Semoga masyarakat Bali berhasil mendapatkan Murdaning Jagat Bali yang dapat mewujudkan kebahagian rakyat Bali, sesuai sesanti Tata Tentram-Kerta Raharja, melalui Pilkada Serentak 2024 baik di provinsi maupun kabupaten/kota.  Mogiwasthu Bali semakin maju. Rahayu. *) Penulis adalah tokoh Hindu di Kendari.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email