Tumpek Krulut, Membumikan Kasih Sayang dalam Indahnya Green Dharma

Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd

Oleh : Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd.

 

Hari Suci Tumpek Krulut merupakan salah satu hari suci umat Hindu yang mengandung nilai filosofis tinggi dalam ajaran leluhur Nusantara. Tumpek Krulut dirayakan setiap Saniscara Kliwon wuku Krulut. Secara arfiah Tumpek Krulut lebih familiar dengan sebutan Tumpek Lulut. Lulut dalam Bahasa Bali berarti jalinan atau rangkaian pemujaan pada Dewa Iswara yang dianalogikan dalam kajian memuliakan nilai seni yang berfokus pada penghormatan terhadap aspek seni, khususnya seni suara (gamelan) sebagai ekspresi rasa cinta kasih, keindahan, dan spiritualitas. Pemujaan pada Dewa Iswara adalah bentuk pemuliaan pada nilai universal Prema atau kasih sayang dan nilai keindahan hingga di masyarakat Hindu kerap disebut “Rahina Tresna Asih” atau Hari Kasih Sayang atau Valentine-nya umat Hindu, karena perayaan ini menumbuhkan rasa cinta kasih dan keharmonisan antarsesama.

Lebih dari sekadar seremonial, Tumpek Krulut menjadi pengingat akan pentingnya menjaga harmoni antara manusia dengan alam (Palemahan), dengan sesama (Pawongan), dan dengan Tuhan (Parhyangan), sejalan dengan konsep Tri Hita Karana dan pendekatan kontemporer Green Dharma.

Pemaknaan hari suci Tumpek Krulut dijabarkan dalam Lontar Sundarigama. Lontar ini adalah salah satu sumber sastra Hindu di Bali yang menjelaskan makna hari-hari suci, dalam lontar ini, Tumpek Krulut disebut sebagai:

Tumpek Krulut punika Sang Hyang Iswara mapan ring gamelan, gong, tabuh-tabuhan miwah pratima Ida Bhatara, punika pinaka angayunin rasa suci tresna ring sasabran jagat.”

Makna:

Tumpek Krulut adalah perayaan kehadiran manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam aspek suara suci (Nada Brahman), yang diwujudkan dalam gamelan, alat-alat tabuhan, dan lambang-lambang suci lainnya. Perayaan ini menanamkan rasa cinta kasih universal (tresna ring sasabran jagat). Nilai-nilai yang dikandung adalah : Seni sebagai sarana pemujaan; Nada sebagai bentuk vibrasi semesta (Nada Brahman); Penanaman cinta kasih melalui ekspresi budaya

Pemuliaan ajaran Tumpek Krulut juga sangat erat kaitannya dengan konsep Green Dharma. Perspektif Green Dharma adalah bentuk kehidupan dalam proses merawat vibrasi alam melalui nada. Green Dharma adalah konsep dharma dalam konteks keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Konsep palemahan yang memberi kehidupan pada setiap nafas alam semesta beserta isinya, dalam Tumpek Krulut prinsip Green Dharma diaplikasikan melalui : Pelestarian alat musik tradisional sebagai warisan budaya dan energi positif; Pengurangan polusi suara dengan mengalunkan nada suci, bukan bising duniawi; Kesadaran ekologi vibrasional: bahwa setiap suara mempengaruhi ekosistem dan kesadaran kolektif. Sebuah kesadara kosmis yang mempengaruhi setiap realitas kehidupan.

Salah satu kitab suci yang memuliakan alam adalah Kitab Suci Atharwaveda yakni, Sloka Terkait (Atharvaveda 4.30.3):

Sham no bhavatu shrutam, sham no bhavatu drishtam.” Artinya: “Semoga yang kita dengar membawa kedamaian, semoga yang kita lihat membawa ketenangan.”

Ajaran ini menggarisbawahi bahwa suara yang suci adalah bagian dari perlindungan alam dan ketenangan bathin. Pemuliaan pada alam semesta beserta isinya dalam ruang seni dan harmonisasi juga dijabarkan dalam kitab hukum Hindu.

Perspektif Manava Dharmasastra sebuah analogi Nilai Nada Sebagai Dharma. Dalam Manava Dharmasastra (Manu Smrti), suara (sabda) dikaitkan dengan dharma dan pengendalian diri:

Sloka II.76:

Vakya-pramāṇam dharmasya“. Artinya: “Ucapan (sabda) adalah dasar dari kebenaran dharma.”

Dengan demikian, relevansi dengan Tumpek Krulut dengan ucapan yang menimbulkan suara adalah  : Ucapan dan nada tidak semata-mata hiburan, tapi sarana penegakkan dharma; Menyuarakan keindahan melalui gamelan adalah tindakan dharma; Penggunaan suara yang bijak adalah praktek spiritual

Sedangkan implikasi terkait etika adalah : Menghindari ujaran kebencian, hoaks, dan suara yang merusak keharmonisan social; Menjadikan media suara sebagai wahana pembinaan moral dan etika Hindu;  Ajaran Prema adalah nafas kehidupan bentuk sebuah Kasih dalam Getaran Nada.

Prema adalah cinta kasih murni yang melampaui ego dan kepentingan pribadi. Jadi, Tumpek Krulut adalah manifestasi prema melalui : Nada sebagai perwujudan kasih tanpa syarat; Gamelan sebagai persembahan hati, bukan sekadar pertunjukan; Seni suara yang menembus batas sekat sosial, menyatukan umat manusia.

Terkait kasih saying sesame manusia, Bhagavad Gita 12.13 menyatakan : “Adveshta sarva-bhutanam, maitrah karuna eva cha“.  Artinya: “Dia yang tidak membenci makhluk hidup mana pun, bersahabat dan penuh kasih, adalah kekasih-Ku.”

Makna dalam konteks Tumpek Krulut : Nada yang dilantunkan dalam kasih membawa kedekatan dengan Tuhan; Seni sebagai ekspresi bhakti, bukan eksploitasi; Musik suci menggetarkan atma, membangkitkan cinta semesta.

Nilai Tumpek Krulut dalam Praktek Eko-spiritual.

Praktek modern yang sesuai ajaran Tumpek Krulut dapat dijabarkan dalam kegiatan seperti berikut :  (1) Memutar musik gamelan tradisional secara bijak dan sesuai konteks kesucian; (2) Melestarikan seni suara Bali dengan semangat cinta kasih; (3) Mengadakan ritual kecil untuk membersihkan dan menghaturkan sesajen pada alat-alat music; (4) Menggunakan nada untuk menenangkan pikiran dan mempererat persaudaraan.

Eko-spiritualitas yang dibangun adalah : (1) Kesadaran bahwa bunyi adalah bagian dari ciptaan Ilahi yang harus dihormati; (2) Nada yang tidak selaras akan membawa kekacauan psikis dan lingkungan; (3) Nada yang harmonis menciptakan resonansi positif dalam keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, Hari suci Tumpek Krulut bukan sekadar penghormatan terhadap seni, tetapi adalah panggilan spiritual untuk mencintai, merawat, dan menyucikan kehidupan melalui vibrasi nada yang harmoni. Dalam perspektif Green Dharma, Lontar Sundarigama, Manava Dharmasastra, dan Ajaran Prema, Tumpek Krulut menjadi momentum untuk membangun dunia yang lebih damai, indah, dan selaras dengan kehendak Ilahi.

Sloka (Rgveda 1.164.39): “Ekam sat viprah bahudha vadanti“. Artinya: “Kebenaran itu satu, namun para bijak menyebutnya dengan banyak nama”.

Nada adalah salah satu nama kebenaran itu. Untuk itu, mari kita jaga, rawat, dan persembahkan dengan dasar pengendalian diri.

Di jaman serba digital ini, manusia disuguhi kebisingan tanpa jeda—dari deru media sosial, suara notifikasi gawai, hingga gelombang informasi yang tak terbendung. Di tengah gelombang digital ini, Tumpek Krulut hadir laksana oase spiritual—menawarkan keheningan, keharmonisan, dan kesadaran akan vibrasi suci dalam hidup kita. Nada bukan sekadar bunyi. Ia adalah jembatan antara jiwa dan Brahman.

Peran Strategis Tumpek Krulut di Era Digital :

  1. Filter Bunyi, Filter Jiwa

Di tengah kebisingan digital, umat diingatkan untuk menyaring apa yang didengar dan dibagikan. Hanya nada-nada yang meneduhkan, mencerahkan, dan membangkitkan Prema yang layak disuarakan.

  1. Digitalisasi Gamelan dan Pelestarian Budaya

Di era ini, gamelan bisa direkam, diajarkan, dan dinikmati secara virtual—melalui YouTube, podcast spiritual, atau aplikasi pelatihan seni. Namun, ruh kesuciannya harus tetap dijaga.

  1. Nada sebagai Terapi Digital

Tumpek Krulut mendorong umat memanfaatkan teknologi bukan untuk mengejar sensasi, tetapi sebagai alat menyebarkan nada-nada suci yang menyembuhkan: musik meditatif Bali, mantra digital, atau gamelan untuk yoga.

  1. Kesadaran Spiritual di Tengah Kecanggihan

Makin canggih teknologi, makin dibutuhkan kesadaran akan vibrasi bathin. Tumpek Krulut menjadi pengingat bahwa alat tercanggih bukan gadget, melainkan hati yang peka pada nada semesta.

Tumpek Krulut dan Yadnya Satwika adalah sebuah bentuk proses pemurnian dalam konteks “Menyucikan Persembahan Lewat Nada. Menurut Bhagavad Gita 17.11–13, yadnya diklasifikasikan menjadi tiga jenis yakni : Satwika Yadnya: dilaksanakan tanpa pamrih, dengan hati yang suci dan sesuai sastra; Rajasika Yadnya: untuk mendapatkan pujian, kekayaan, atau kedudukan dan Tamasika Yadnya: tanpa sastra, penuh kekerasan, dan tanpa keyakinan

Bhagavad Gita 17.11: “Aphala-akankshibhir yajño vidhi-drishtho ya ijyate, yaṣṭavyam eva iti manah samadhaya sa satvikah“. Artinya: “Yadnya yang dilakukan sesuai petunjuk kitab suci, tanpa pamrih, dan dengan keyakinan bahwa ini adalah kewajiban suci, itulah yadnya yang Satwika.”

Kaitannya dengan Tumpek Krulut:

  1. Nada sebagai Sarana Yadnya Satwika

Ketika gamelan dibunyikan bukan demi pertunjukan, tetapi sebagai sarana bhakti dan pemujaan, maka ia menjadi bagian dari Yadnya Satwika.

  1. Suara sebagai Persembahan Murni

Alunan gamelan dalam Tumpek Krulut yang dilakukan dengan hati suci, tanpa pamer, tanpa komersialisasi, adalah sraddha yang diwujudkan dalam suara.

  1. Upakara Digital yang Satwika

Saat yadnya dilakukan melalui media digital (seperti live streaming upacara, musik suci online), maka kualitas Satwika harus tetap dijaga: Disiapkan dengan penuh devosi; Dilandasi tat twam asi dan cinta kasih dan tidak menjadi ajang promosi diri atau kepentingan pribadi.

Sekeha Gong Suara Duta, memainkan gamelan, menimbulkan nada

Di dunia yang ramai hiruk pikuk sebuah ruang kedamaian dalam perayaan Tumpek Krulut mengajarkan heninglah sebelum berbicara, dengarkan sebelum bersuara, suarakan hanya yang suci. Hari suci ini bukan sekadar perayaan seni, melainkan penempaan kesadaran bahwa vibrasi adalah doa, dan doa yang dilantunkan dengan kasih mampu menyucikan dunia, termasuk dunia digital yang kita huni.

Sebagaimana petikan indah dari Upanishad: “Nada brahma iti shrutih.”  Artinya: “Nada adalah Brahman itu sendiri.”

Dengan demikian, dalam setiap denting gamelan, setiap alunan mantra, dan setiap ujaran yang lembut di situlah kita mempersembahkan Yadnya Satwika dalam jaman digital ini. Semoga di momentum hari suci Tumpek Krulut, Saniscara Kliwon Krulut, Saniscara dengan urip 9 adalah lambang sembilan penjaga dari segala arah dalam konsep Dewata Nawa Sanga, Kliwon dengan urip 8 sebagai bentuk momentum hari suci Tumpek Krulut untuk memberi ruang dalam hidup dengan mewujudkan Asta Aiswarya Kepemimpinan Hindu dalam nilai kasih sayang. Krulut dalam sistem pawukon di Bali memiliki urip 7 yang memberi makna untuk mencapai sebuah pengendalian, maka rawatlah Tri Kaya Parisuda dalam pemurnian Sapta timira dalam setiap liku- liku kehidupan.

Tumpek Krulut memberi nuansa kedamaian dalam sebuah kasih universal, sebuah pengendalian indria dalam proses mencintai semua ciptaan Ida Sang Hyang Widhi, dalam alunan nada keindahan Dharma yang menjadi lirik lagu nafas kehidupan (* Penulis, Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email