Oleh : Wayan Windia
Dalam keadaan kritis dan krisis, yang menjadi buah bibir adalah beras, beras dan beras. Kapolda Bali dan Pangdam IX Udayana membagi-bagikan beras kepada masyarakat. Demikian halnya Gubernur Bali, Wayan Koster. Memang demikianlah sebaiknya. Refocusing yang kini ditebarkan oleh pemerintah adalah refocusing untuk sektor kesehatan melawan korona. Di samping itu refocusing untuk untuk menjamin penduduk yang termiskin bisa mendapatkan beras. Saya kira, program lainnya perlu ditunda dulu. Cukup fokus pada kedua hal itu.
Tatkala PPKM Darurat mulai diberlakukan lantaran angka penularan korona sedang mencapai puncaknya, Presiden Jokowi tampil dengan kalem di TV. Beliau mengatakan bahwa ketersediaan beras di Indonesia, stoknya aman. Kemudian menyusul keterangan yang sama dari Mentan dan Kabulog. Sebetulnya, pernyataan itulah yang membuat rakyat menjadi adem dan tenang. Dapatkah dibayangkan, kalau dalam kondisi krisis dan kritis seperti ini, harga beras melonjak tajam dan inflasi ikut melonjak tajam? Proses politisasi korona pasti akan terjadi.
Jangan Babat Sawah
Oleh karenanya, kita tidak boleh sewenang-wenang membabat sawah. Pembabatan sawah harus dikendalikan, bisa melalui UU Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LPPB), tata ruang, dan lainnya. Tentu yang paling urgent adalah program pemerintah jangan secara sistematis membabat sawah. Jika ini dilakukan, maka akan menjadi preseden buruk dan bisa dimanfaatkan oleh investor yang lainnya. Mereka akan berdalih, “Lho, pemerintah kok bisa membabat sawah, saya kok tidak bisa. Mana keadilannya?”
Seperti halnya rencana pembuatan jalan tol Gilimanuk-Denpasar. Hutan dan sawah dengan sistematis dibabat dengan sadar. Kalangan Walhi Bali mencatat bahwa sawah yang akan dibabat oleh investor dalam proyek itu adalah 188,3 hektar. Wah, sangat luas untuk Pulau Bali yang kecil ini. Sedangkan pembabatan hutan lindung sebanyak 50 hektar, dan pembabatan hutan di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) seluas 67,4 hektar. Sebuah angka pembabatan sawah yang drastis. Ini pasti akan mengurangi luas sawah padahal saat ini ata menunjukkan, penyusutan sawah di Bali rata-rata sebanyak 2.800 hektar/tahun. Belum termasuk dampak mirasi penduduk dari luar Bali yang akan menambah kepadatan penduduk di Bali.
Dalam diskusi di komunitas Pokdarkamtibmas Bali, telah muncul pernyataan yang serius dari Bigjen. Pol.(Pur) Made Suweta. Bahwa, manusia itu bisa hidup hanya dari kehidupan lain di sekitarnya. Manusia bisa hidup, kalau di sekitarnya ada tumbuhan dan binatang/hewan. “Bukan dari banyaknya simpanan rupiah dan dolar di bank” katanya. Apa yang dikemukakan Jenderal Suweta, menurut saya, sangat logis. Tetapi tidak mudah untuk mengendalikan alam pikir manusia (pejabat dan penguasa), untuk tidak menghabisi sawah. Karena sawahlah yang paling mudah untuk dibabat. Karena kawasan hamparannya luas, sudah ada drainase, dan petani pada umumnya tak berdaya.
Jika kita lihat visi Pembangunan Pemerintah Provinsi Bali saat ini : “Nangun Sat Kertih Loka Bali”, maka membabat hutan tidak sesuai (bertentangan) dengan konsep Wana Kertih, dan menghantam sawah tidak sesuai (bertentangan) dengan konsep Swi Kertih. Tapi, apalah guna visi, konsep dan kata-kata tanpa laksana. Bila pemerintah dan investor menghendaki, maka apa saja bisa dikerjakan. Apalagi konsepnya sudah disinergikan dalam RTRW. Ya, tinggal menghantam saja.
Saya kira, kita sejak SD sudah diajarkan bahwa hutan sangat penting untuk menahan banjir dan menghidupkan sungai. Karenanya, hutan harus dilestarikan (sekitar 30%, sesuai UU Kehutanan, sebelum diperas dalam UU Hak Cipta). Saya kira, banjir dan longsor yang kini kerap terjadi, pastilah karena ajaran ketika SD itu tetap masih berlaku. Dalam satu dekade yang lalu, Jembrana tidak pernah ada berita dihantam banjir. Tetapi dalam 2-3 tahun yang lalu, daerah ini sudah mulai rutin diterjang banjir bahkan banjir bandang. Dari mana datangnya? Tentu saja dari kawasan hutan di bagian hulu, yang mulai menggundul. Sementara itu, banyak juga sungai-sungai yang sudah “setengah mati”, ada yang sudah kering kerontang.
Saya juga masih ingat, ketika 50 tahun yang lalu, masih kuliah di Fakultas Pertanian. Ada diskusi hangat di kelas. Bahwa kalau nanti kawasan pertanian habis dimanfaatkan untuk sarana-prasarana, dan industry, lalu kita akan makan apa? Taruhlah kita punya uang, tetapi tidak ada bahan makanan yang bisa dibeli. Lalu kita makan apa? Kemudian taruhlah kita punya banyak devisa, lalu tidak ada bahan makanan di pasar dunia yang bisa diimpor. Lalu kita makan apa? Pada waktu itu, Prof. Sutawan, guru saya memimpin diskusi mata kuliah Politik Pertanian. Hingga sekarang, saya masih ingat diskusi itu, karena pada waktu itu tidak ada kesimpulan, dan juga tidak ada jawaban yang tegas dari disksui di kelas saat itu. Ada juga teman yang memberikan argumentasi yang nyeleneh. “Mungkin nanti karena perkembangan teknologi, maka kita tidak lagi perlu makan” katanya. Ketawa pun berderai.
Apa esensi dari diskusi mahasiswa di kelas itu? Bahwa sudah sejak lama ada kehawatiran bahwa pemerintah pasti lebih suka membangun bangunan fisik, dibandingkan dengan sektor pertanian. Kemudian yang dikorbankan adalah sawah atau lahan pertanian. Banyak alasan, kenapa pemerintah tidak suka membangun pertanian. Tetapi pada saatnya orang-orang pasti akan beralih pada pertanian. Kita lihat bukti nyata saat ini dengan adanya pandemi korona. Setelah sibuk mengurus vaksin, kesehatan, kebijakan PPKM, dan sejenisnya, akhirnya pemerintah pasti akan mencek jumlah ketersediaan beras. Tentu sudah disadari, apa dampak politik yang bisa terjadi, kalau tidak ada beras.
Oleh karenanya, pemerintah an siapa pun sangat perlu menghentikan pikiran dan tindakan untuk menghabisi sawah dan hutan. Hidup ini bukan hanya untuk sekarang saja, atau 5-10 tahun mendatang. Generasi yang akan datang perlu dapat merasakan apa yang kini kita rasakan. Itulah kenapa PBB mengembangkan konsep berkelanjutan. Tetapi memang tidak mudah mengendalikan watak manusia, yang tidak pernah puas-puasnya. Selalu ingin hidup lebih nyaman dan lebih nyaman lagi. Oleh karenanya, mari kita renungkan bersama sambil menunggu langkah apa yang baik dan tak baik bagi masa depan anak cucu kita. *) Penulis, Guru Besar di Fak. Pertanian Univ Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.