Catatan Menyongsong Mahasabha Parisada, Oktober 2021
Masa Depan Hindu dalam Dinamika Keberagamaan Hindu di Indonesia  

JMA Ketut Puspa Adnyana

Oleh : JMA Ketut Puspa Adnyana, Kendari

 

Pengantar

Kehidupan pada kenyataannya mengalir bagaikan air di sungai. Sesekali air mengalir deras dan membawa berbagai material yang tidak dikehendaki. Kadangkala air mengalir dengan tenang,  sesekali alirannya berhenti dan berputar-putar untuk menunggu saatnya mengalir lagi. Aliran air di sungai, misalnya, tidak selamanya tenang, kadangkala air beteriak pada curam lalu menghasilkan bunyi gemuruh dan riak yang menghasilkan pelangi. Pada kejatuhan itu, air berteriak, namun manusia melihatnya indah. Inilah fenomena kehidupan.

Agama Hindu di Indonesia, laksana aliran air, muncul-tenggelam, pasang-surut. Hindu pernah mengalami kejayaan sejak abad ke-9 sampai dengan ke-13, ditandai dengan mahakarya leluhur berwujud candi-candi yang mempesona dunia: Candi Prambanan (Candi Borobudur tempat ibadah penganut Buddha arsiteknya orang Hindu). Kebesaran leluhur di Bali hadirnya “mother temple”, Pura Agung Besakih pada abad yang bersamaan dan banyak lagi warisan yang lain.

Keruntuhan Majapahit, juga diikuti oleh meredupnya Hindu dengan sangat cepat, digantikan oleh keyakinan yang berbeda dengan adat-istiadat yang juga berbeda. Keyakinan baru itu eksis sampai sekarang. Orang-orang Hindu yang bertahan, menuju daerah-daerah yang jauh dan sulit, misalnya pegunungan di Jawa Timur. Bali tidak tersentuh, mungkin karena tidak terlalu penting dalam pertimbangan saat itu, mungkin pula karena dianggap mudah ditaklukkan. Persepsi ini nampaknya meleset.  Bali tetap berkibar sebagai peninggalan Hindu hidup terakhir di Asia Tenggara menurut Clifford Geertz.

Narasi pendahuluan itu hanyalah sebuah rilis menggambarkan Hindu pernah jaya di bekas sebuah wilayah yang bernama Nusantara, yang setelah merdeka sebagian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), negeri tercinta ini.

Hindu dan umat serta kelembagaan Hindu sedang mengalami cobaan yang ringan, tetapi merisaukan karena adanya usikan dari dalam dirinya sendiri dan juga gempuran konversi dari dua kepercayaan lain (di luar Hindu) yang akarnya sangat kuat mencengkeram. Gempuran eksternal yang gemilang berhasil mengkonversi pemeluk Hindu saat ini sepertinya tenggelam dari perhatian, karena Hindu sedang menghadapi “rongrongan” dari dalam. Pergerakan ini dipicu oleh adanya sampradaya yang telah dimaknai berbeda dengan apa yang tertuang di dalam Susatra Veda. Sampradaya yang dinilai tidak mengindahkan budaya Bali yang ditengarai mengancam eksistensi Drestha Bali yang adiluhung.

Sakkha, Sekta, Paksa, Sampradaya

Dalam teori sosiologi, ada sesanti yang cukup menarik dan selalu disitir bahwa di mana budaya lokal (local wisdom) dilecehkan, dihinakan, di sana akan ada pertentangan. Pertentangan itu nyata dalam hal ini. Taruhlah, pertentangan antara penganut dresta Bali dengan Sampradaya Hare Krishna. Sampradaya yang “keindia-indiaan”, yang menunjukkan sikap, pola tingkah laku yang berbeda dari sisi pakaian dan ritual keagamaan dipandang dari sisi dresta Bali. Membandingkan hal yang tidak setara memang akan menimbulkan hasil yang berbeda pula. Karena dresta Bali dengan HK sangatlah berbeda meskipun mereka sama-sama suku Bali dan ber-KTP Hindu.

Kekeruhan ini sebenarnya bisa diatasi bila ada peran penguasa, sekali lagi peran penguasa, sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa lalu. Keterlibatan penguasa pada saat itu (Sire Paduka Mpu Kuturan I Pakira-Kiran Raja Kertha) adalah seorang Senapati dan juga Purohita. Kewibawaan jabatan itu telah meluluhkan sampradaya yang ada saat itu sehingga dari sejumlah sampradaya itu kemudian kembali kepada induknya: Barahmaisme, Visnuisme dan Siwaisme (Trimurti).  Hebatnya lagi, dilanjutkan dengan penataan kelembagaan desa yang disebut Desa Adat dengan Kahyangan Tiga (Tri Kahyangan).

Tidaklah mungkin ada sampradaya dalam masyarakat Hindu, bila tidak disebutkan di dalam pustaka suci Veda.  Berdasarkan pustaka Aruna Prashna ada 1.193 Sakkha atau cabang Veda. Cabang inilah yang kemudian berkembang menjadi sekta, paksa atau sekarang lumrah disebut sampradaya. Namun dari 1.193 Sakkha tersebut sampai hari ini yang dikenal hanya 11 Sakkha, atau hanya sekitar 1 persen. Sedangkan sekitar 99 % raib. Mengapa data ini perlu ditampilkan? Jawabannya untuk menunjukkan bahwa dalam kebesaran Hindu juga ada keterbatasannya. Maknanya: tidak ada umat Hindu yang sangat paham tentang ajaran Veda. Artinya, karena keterbatasan itu, seharusnya Umat Hindu guyub, bersatu dan saling mendukung sebagaimana disebutkan dalam Atharwa Veda, Sarasamusccaya dan Bhagawad Gita, bahwa “perbedaan bahasa, kepercayaan, keyakinan (agama) hendaknya tidak menjadi dasar pertentangan, hendaknya setiap umat Hindu seperti anak-anak sapi yang menyusu pada induknya”.

Namun, anak-anak sapi betina yang sedang menyusu itu saling menanduk sehingga menimbulkan pertentangan (konflik), yang membuat sang betina kecewa dan sedih. Tidak ada orang tua yang tersenyum dan bahagia ketika melihat anak-anaknya bertengkar. Kini sapi betina itu mungkin hanya diam melihat anak-anaknya disembelih oleh dua “tukang sate” (non – Hindu, red) yang begitu laris. Sapi betina itu juga menunduk diam ketika pertengkaran antara anak-anaknya berebut rumput yang mereka kira ranum. Ketika sekarang tiba-tiba pengembala sapi betina itu marah dan menghalau serigala yang mencoba memangsa anak-anak sapi itu, dan dan “tukang sate” yang hendak menyembelih anak-anak sapi itu, sayang, semua sudah terlambat. Sate anak sapi itu sudah dihidangkan di meja dan disantap dengan lahap.

Akan tetapi, masih ada sedikit harapan untuk menyelamatkan yang tersisa. Harapan itu dimulai dengan peternakan baru bermodal seadanya: Sapi betani dan beberapa ekor anaknya yang masih hidup. Menata kandang agar meneduhkan sapi betina itu, menyiapkan rumput dan asupan konsentrat yang lebih bergizi. Biarlah sudah, anak-anak sapi yang telah disembelih itu setidaknya menambah gizi bagi mereka yang menyantapnya. Mari menata kembali peternakan sapi yang porak-poranda ini agar kembali produktif.

Penutup

Meskipun banyak umat Hindu yang berharap pada kisah dan sesanti Sabdo Palon Naya Genggong dengan berbagai subtitel tambahannya, banyak juga yang tahu siapa penulisnya yang mungkin juga memiliki interes dalam pengembangan Hindu masa depan. Namun, masa depan Hindu adalah milik generasi muda Hindu. Itulah sebabnya, mengapa sangat penting mengelola dan merencanakan MASA DEPAN Hindu. Sebab, sesuai dengan Planning Theory, masa depan itu penuh ketidakpastian. Masa depan, bukan milik kita yang hidup saat ini, tetapi warisan yang akan diterima generasi berikutnya (pretisentana). Karenanya, berhati-hatilah, jangan sampai generasi saat ini dipersalahkan (Kdi 31072021: 5.29).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email