MATARAM – Seorang calon Pandita sebaiknya memiliki kompetensi sebagai Pandita sebelum menjalani upacara Padiksan (Diksa Dwijati). Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mesti mengatur setidak-tidaknya 7 (tujuh) aspek bagi seorang calon Pandita Hindu yakni (1) Institusi penyelengara Diksa; (2) Syarat Guru Nabe dan Nanak/Sisya; (3) Proses dan lama belajar; (4) Kontrol (pengawasan) setelah menjadi Pandita; (5) Ketaatan menjalankan etika Pandita/Sesana Kawikon; (6) Sanksi terhadap Pandita yang melanggar etika/Sesana Kawikon; (7) Pengecualian bagi Pandita non etnis Bali sesuai kearifan lokal di luar Bali.
Demikian ditegaskan oleh Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Prof. I Nengah Duija dalam sambutannya secara daring pada Seminar Nasional Pedoman Diska Dwijati Umat Hindu 2023 yang diselenggarakan oleh PHDI Pusat bekerjasama dengan IAHN Gde Pudja Mataran, NTB, Sabtu, 7 Oktober 2023.
Tujuh poin tersebut sangat penting dipertimbangkan dengan baik sebelum merumuskan Bhisama Sabha Pandita, agar kedepan Pandita sebagai Guru Loka benar-benar bisa menjadi sandaran umat dan mampu membimbing dan melayani umat Hindu dengan baik dan memiliki kualitas sejajar dengan Pandita dari agama lainnya.
Dirjen I Nengah Duija mengingatkan, institusi mana yang pantas sebagai penyelenggara pendidikan para calon Pandita. “Apakah orang per orang, Griya atau lembaga pendidikan atau yayasan. Ini mesti diatur di dalam bhisama dan bagaimana hubungan antarlembaga/institusi” ujarnya. Tentang Guru Nabe dan Calon Sisya/Nanak, siapa yang yang dinyatakan layak sebagai Guru Nabe, berapa tahun seorang Pandita boleh menjadi Guru Nabe dan seperti apa kompetensi Guru Nabe. Kemudian tentang Sisya (Nanak) atau Calon Pandita; seperti apa syaratnya. “Passing grade agamanya harus jelas karena ini persoalan agama. Harus ada standar passing grade bagi seorang calon Pandita” harapnya seraya menambahkan, input harus baik agar outputnya baik.
Duija juga menyoroti proses belajar bagi calon Pandita. “Berapa lama, apakah cukup hanya dua minggu atau berapa tahun? Ini mesti diatur dan ditentukan dalam bhisama. Penyelenggara mesti memiliki standar kompetensi yang sama, baik bagi calon pandita, karena setelah menjadi Pandita akan menjadi Guru Loka” imbuhnya. Ia menyitir Panca Kerthi yakini lima tahapan yang mesti dilalui oleh setiap calon Pandita. Setiap tahapan ada ujiannya. Kemudian materi uji kompetensinya seperti apa karena kita akan mencetak Guru Loka (pencerah umat). Ini semua mesti dipertimbangkan dalam merancang bhisama. Ia mengibaratkan seperti di perguruan tinggi ada SKL (Standar Kompetensi Lulusan). Harapnya, SKL bagi seorang calon Pandita sebaiknya disamakan di semua khususnya Griya di Bali, terkecuali di luar Bali bagi etnis non Bali.
Kemudian bagaimana kontrol atau pengawasan terhadap perilaku seorang pandita. Siapa yang mengontrol ? Apakah masih hanya dilakukan oleh Guru Nabe atau seperti di Bali, kontrol sosial dilakukan oleh Desa Adat? Menurut tradisi di Bali, seseorang yang mau menjalani diksa dwijati mesti melapor ke Desa Adat karena Prajuru Desa Adat akan menjadi Saksi (Loka Saksi dan Manusa Saksi) selain mendapat persetujuan atau dukungan dari keluarga dan klan-nya. Menyoal perilaku seorang Pandita, umat Hindu memiliki acuan Catur Bandana Dharma bahwa seorang Pandita lahir dari Ilmu Pengetahuan.
Khusus untuk umat Hindu non etnis Bali mesti ada pengecualian seperti Dukun di Tengger, Basir di Kaharingan atau Wasi di Jawa. Mesti ada pengecualian sesuai dengan loka dresta (local genius dan local wisdom) dengan demikian bhisama PHDI tidak hanya berkiblat pada tradisi di Bali. Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah sanksi bagi seorang Pandita yang melanggar etika kesopanan (Sesana Kawikon) seperti yang kita lihat di media sosial. Duija berharap, sanksi bukan hanya sebatas ke-Patita (Gelar kepanditaannya dicopot), itu sanksi ringan. “Ingat, rusaknya dunia juga disebabkan oleh Pandita/Pinandita” ujarnya. Dirjen menyitir lontar Bhuwana Mahbah dan Kumara Tattwa yang menjelaskan bahwa seorang Pandita wajib menggembalakan 10 ekor lembu. Lembu itu adalah simbol dari dasa indria. “Catatan ini saya buat berdasarkan pengamatan atas fenomena yang terjadi di media sosial” ujarnya dengan harapan, Pandita dan Pinandita umat Hindu memiliki kualitas dan sejajar dengan Pandita dari agama lainnya.
Sebelumnya, Tim Kerja Penyusunan Pedoman Dīkṣa Dwijati Sabha Walaka PHDI Pusat telah membuat kajian tentang PEDOMAN UPĀCĀRA DĪKṢĀ (DVIJĀTI). Pedoman ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat Nomor : 04/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/V/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dvijati. Untuk itulah, PHDI Pusat bekerjasama dengan IAHN Gde Pudja Mataram menyelenggarakan Seminar Nasional Pedoman Diksa Dwijati Umat Hindu 2023. Hasil seminar ini akan dibawa ke Pesamuhan Agung PHDI di Puspem Badung pada 10-12 Nopember 2023 mendatang.
Seminar Nasional Pedoman Diksa Dwijati Umat Hindu 2023 yang berlangsung secara hybrid (daring dan luring) itu diikuti oleh sekitar 300 an peserta, 250 an di antaranya hadir secara daring. Dharma Adhyaksa Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba dan Ketua Sabha Walaka Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP hadir secara langsung. Sementara Ketua Umum Pengurus Harian mewakilkan kehadirannya kepada Sekretaris Umum I Ketut Budiasa. Seminar ini menampilkan 5 narasumber yakni : Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP; Prof. I Made Surada (Tim Kajian Pedoman Diska Dwijati); Ida Pedanda Gde Kerta Arsa; Ida Bagus Heri Juniawan; dan Ida Bagus Windia Adnyana. Saran dari Ida Bagus Heri Juniawan, agar PHDI membuat buku pandua Diksa Dwijati, panduan bebantenan; dan semua persyaratan administrasi bagi seorang calon Pandita (*ram).