Oleh : Wayan Windia *)
Saya hampir putus asa. Sejak lama sekali ada proyek pembangunan jalan tol yang menghancurkan banyak sawah, tetapi tidak pernah ada kepala daerah (bupati) yang berani menolaknya. Demikian pula dalam proyek jalan tol Gilimanuk-Denpasar. Saya tidak banyak berharap ada bupati yang berani menolaknya. Hanya masyarakat yang “pekrimik” tidak setuju/merasa keberatan. Tetapi tidak ada lembaga swadaya masyarakat atau kekuasaan yang mengakomodasi keluhan/keberatan masyarakat itu.
Tiba-tiba saja ada berita di medsos, bahwa Bupati Klaten dan Bupati Sukoharjo menolak jalan tol Lingkar Solo. Alasannya sangat sederhana, yakni : kalau di mana-mana dibangun jalan tol dan merusak sawah, lalu nanti kita mau makan apa? Meskipun alasannya sangat universal dan sederhana, tetapi (menurut saya) jawaban itu memiliki wawasan yang sangat jauh ke depan, dan sangat tidak sederhana. Masalah makan untuk perut manusia, bukanlah masalah yang sederhana. Sudah banyak terbukti dalam sejarah (termasuk di Indonesia) bahwa masalah makan, bisa menyebabkan pemerintahan bangkrut dan jatuh.
Dahulu Presiden Jokowi pernah kampanye tentang tol laut. Mana realisasinya? Proyek tol laut sebetulnya adalah ide yang hebat. Memang mungkin agak mahal, sehingga tidak ada investor yang tertarik. Tetapi, jalan tol yang merusak sawah dan lahan pertanian produktif, sebetulnya jauh lebih mahal bahkan sangat mahal, khususnya dari segi nilai-nilai kemanusiaan. NIlainya bahkan terlalu mahal untuk mengorbankan tanah warisan leluhur dan kebudayaan (budaya pertanian) yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Belum lagi dampaknya merembet ke mana-mana, ke semua aspek kehidupan. Jelas tidak ada investor atau kapitalis yang tertarik pada nilai-nilai kemanusiaan. Bagi investor, yang ada dalam mindset dan design bisnisnya adalah : efesiensi, produktivitas, profit, profit dan profit.

Sementara itu, beberapa waktu yang lalu, pemerintah juga menekankan kepada kepemerintah daerah di seluruh Indonesia tentang masalah ketahanan pangan. Bahwa setiap pemerintah daerah, harus memperhatikan ketahanan pangan rakyat di daerahnya. Tetapi kok kegiatan proyek jalan tol yang menghancurkan sawah berjalan terus ? Di mana ada ketahanan (kedaulatan) pangan, kalau tidak ada lahan atau sawah? Itu semua adalah kebijakan yang kontroversial. Tidak sama antara manacika, wacika, dan kayika.
Perdebatan di kalangan elit di Jakarta mungkin hingga kini masih saja terjadi. Bahwa kita maunya panen di pelabuhan atau di sawah-sawah? Mereka pikir, kalau sudah ada petani di luar negeri yang mau menanam padi, lalu kenapa kita susah-susah ? Kan lebih baik sawah-sawah di Indonesia ditanami beton, karena dinilai akan lebih menguntungkan. Perdebatan seperti itu sering saya dengar ketika saya sempat duduk-duduk di Senayan, Jakarta.
Tetapi perdebatan itu sangat menyederhanakan masalah, dan terlalu pragmatis plus sarat berbau politis. Ingat, dunia ini tidak statis tapi sangat dinamis. Perubahan bisa terjadi sangat cepat dan tidak disangka-sangka. Siapa yang menyangka bahwa Rusia akan menyerbu Ukarina, yang berdampak pada krisis pangan dunia? Siapa yang menyangka akan ada serangan Covid, yang bisa menyebabkan krisis sosial di seluruh dunia? Pada saat-saat bencana seperti itu, semua negara pastilah akan sangat protektif.
Saat ini, ciri-ciri perang global sudah sangat jelas. Dalam masa perang Rusia-Ukraina, muncullah aksi Korut, intimidasi RRT dan reaksi pihak Barat yang menakutkan dunia. Kalau perang global terjadi (semoga tidak terjadi), maka kita bisa panen beras di pelabuhan yang manakah? Ketika itulah kita baru akan tersadar akan pentingnya pertanian, sawah, bahan makanan, dan beras. Tetapi jelas tidak gampang untuk membongkar bangunan beton, jalan tol, an bangunan infrastruktur lainnya untuk kembali dijadikan sawah.

Dalam konteks inilah saya menaruh hormat kepada Bupati Klaten dan Bupati Sukaharjo yang dengan gagah berani an bernyali menolak proyek jalan tol Lingkar Solo. Saya angkat topi ada bupati yang berani seperti itu demi menjaga ketahanan pangan di daerahnya. Saat ini tak banyak bupati yang punya nyali memiliki sikap berani seperti itu. Sangat amat bergantung dari orientasi politiknya, latar belakang pengalaman hidupnya, latar belakang pendidikannya, dan apakah mereka mampu mengalahkan logika. Kalau hati nurani mampu mengalahkan logika, nah pada saat itulah para pemimpin akan berorientasi pada wong cilik, wong tani yang lemah.
Bagaimana dengan di Bali? Ini tanda tanya besar. Saya masih ingat saat Prof. Bambang Brojonegoro mengritik masyarakat Bali yang hanya menyerahkan hidupnya semata-mata kepada sektor pariwisata. Ia menyarankan agar ada sektor alternatif bagi ekonomi Bali yakni pertanian. Pendapat seperti itu sudah lama diwacanakan, dan sudah banyak yang mengatakannya. Tetapi tidak ada yang melaksanakannya. Just, talk only no action. Kenikmatan mengurus sektor pariwisata tampaknya sudah membudaya dan mendarah daging. Karena sektor pariwisata cepat dapat uang, banyak dapat uang, secara fisik cepat kelihatan, dan gengsinya tinggi. Tetapi manusia sering lupa bahwa ia tetap butuh makan nasi (beras) dari hasil pertanian.
Oleh karenanya, sawah dan subak jangan dong dibabat habis hanya demi pariwisata. Memang tidak gampang mengurus sektor pertanian. Tetapi mencari kemuliaan dan melestarian tanah warisan leluhur memang tidak gampang. Memerlukan komitmen, kerja keras, dan menganggarkan dalam APBD. Semoga kesadaran yang mulai muncul pada dua bupati di Jawa Tengah itu bisa mengalir ke kawasan lain di Indonesia, termasuk di Bali. Masyarakat jangan terlalu dimanjakan kejiwaannya. Bahkan dengan harus mengorbankan pertanian. Biarlah kehidupan masyarakat mencari titik keseimbangannya yang baru. Demi untuk menyelamatkan sawah, pertanian, budaya pertanian (agriculture) dan masa depan generasi bangsa. *) Penulis, adalah Guru Besar Emeritus pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti di Denpasar.