Oleh : Wayan Windia
Saya sangat sedih mendengar berita duka tentang KRI Nanggala 402. Rasa sedih bahkan sudah mencuat sejak Nanggala hilang kontak dengan markasnya. Saya tidak kuasa mendengarkan radio dan melihat TV yang memberitakannya. Radio dan TV segera saya matikan.
Saya juga marah. Kok pemerintah dan DPR sampai hati masih mengoperasikan sebuah kapal perang yang usianya konon sudah 40 tahun. Sebaik-baiknya sebuah alutsista (apalagi kapal perang), tidak ada yang masih dipakai, ketika usianya sudah tua, 40 tahun. Kok kita sampai hati ya? Kabarnya kita memiliki lima kapal selam, tapi usianya konon sudah 30 tahun-an bahkan lebih. Lalu untuk apa? Padahal lautan NKRI ini sangat luas sekali. Jauh lebih luas dari daratannya.
Tatkala saya sedang menulis naskah ini, saya mendapatkan kiriman video. Kiriman dari teman SMA di Gianyar, Brigjen TNI (P) (Pur) Ketut Sartika. Ia masih tinggal di kawasan Jakarta. Dulu (60 tahun yang lalu), saya mengenalnya dengan panggilan Ketut Teken. Ia mengirim video dengan label : Jalesveva Jayamahe, justru di laut kita jaya.
Pertanyaan saya : betulkah di laut kita jaya? Kalau betul di laut kita jaya, maka harus dibuktikan bahwa kita memiliki matra laut yang kuat dan modern. Bukan kapal-kapal tua, mirip besi-baja rongsokan. Saya sangat sedih, kasihan dan kesal membayangkan para prajurit kita yang diabaikan oleh negaranya seperti sekarang ini.
Tiga tahun yang lalu, saya juga mendengar berita duka yang analog. Sebuah kendaraan amphibi tenggelam di Laut Probolinggo. Ketika itu, TNI-AL mengadakan latihan di kawasan itu. Saya, saat itu curiga bahwa kendaraan itu pun adalah kendaraan yang sudah sangat tua. Lalu ada statemen bahwa kasus semacam itu semoga tidak terulang kembali. Tetapi sekarang justru terulang kembali dalam kasus yang lebih tragis.
Saya meminta kepada Jenderal Teken untuk membuat petisi, agar negara lebih memperhatikan nasib TNI. Khususnya TNI-AL, karena lautan NKRI demikian luasnya. Ia hanya menjawabnya dengan nada diplomatis. “Akan segera ditandaklanjuti”. Ya, memang demikianlah sejatinya sikap perwira TNI. Mana ia berani membuat petisi politis? Sebab hal itu bukan ajarannya di AMN dulu. Ajarannya adalah bahwa ia harus setia mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Seorang prajurit tidak pernah pensiun atau mati….
Meskipun teman saya, Jenderal Teken sudah pensiun, tapi saya merasakan bahwa darah TNI-nya masih tetap kental-membara. “Saudaraku Profesor Windia, kalau negara membutuhkan, saat ini pun saya masih siap membela NKRI. Jangan khawatir” katanya. Ia juga mengirimi saya slogan TNI-nya. “Tabah Hingga Akhir”. Waduh, saya merasa sangat bangga memiliki teman sekolah yang sangat konsisten.
Saya tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba saja menetes. Ketika tiba-tiba saya membayangkan “sedu-sedan” para awak kapal di kapal selam yang sangat tua. Para prajurit yang siap menanti kematian, demi darma keprajuritannya yang tertinggi. Persis ketika saya membayangkan ayah saya dan kawan-kawannya, terpanggil terjun ke medan perang kemerdekaan. Mereka harus bertahan dalam haus dan lapar, dingin, sepi, jengah, rindu dan dendam. Mereka setiap hari selalu menanti bayangan, detik-detik kematian sebagai seorang ksatria/prajurit.
Hari minggu pagi (25/4), saya mendengar di RRI, nyanyian sendu para prajurit yang siap-sedia mengabdi untuk nusa-bangsanya dan Indonesia. Nyanyian sendu itu dilantunkan berkali-kali dalam rangka wawancara-wawancara wartawan RRI dengan para ahli. Seolah-olah memberi hormat dan doa kepada 53 prajurit Nanggala yang berjuang dan terjebak di laut dalam. Duka hati saya kembali tergores perih dan sunyi yang sangat mendalam. Membayangkan para prajurit pilihan, yang sama sekali tak berdaya melawan alam laut yang ganas. Laut yang sehari-hari adalah teman seperjuangan untuk menjaga NKRI, kini tiba-tiba menjadi “musuhnya” yang segera bisa mematikan. Duh dewata, kenapa hal ini harus terjadi?
Saya juga membayangkan bahwa istri dan anak-anak prajurit Nanggala pasti masih sangat muda-muda. Maklum, pangkat perwiranya hanya mayor, kapten, dan letnan. Jangan-jangan mereka itu baru saja menamatkan pendidikan akademinya. Kasihan mereka itu. Karena harus tabah mengendalikan kapal tua, yang mirip setengah rongsokan besi-baja. Tapi kalau sudah perintah “berangkat”, maka mereka harus disiplin dan harus berangkat. Mereka adalah prajurit yang dididik dengan biaya yang sangat mahal, tetapi harus menjadi korban dari sebuah kapal perang setengah tua.
Saya kira kita tidak memerlukan kapal perang yang banyak, kalau dengan kualitas yang setengah tua. Harus ada kebijakan untuk membeli kapal perang baru dan modern dengan kualitas yang hebat. Meski jumlah sedikit, tetapi harus bisa menjangkau seluruh kawasan NKRI secara optimal. Negara harus lebih memperhatikan keamanan. Hentikan dulu foya-foya politik yang tak hirau dengan kemananan negara.
Untuk itu, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI harus bersatu padu untuk meyakinkan negara. Meyakinkan pemerintah, presiden, sidang kabinet dan DPR. Kita tidak ingin TNI kita menjadi bahan tertawaan internasional. Kita tidak ingin jiwa patriot, nekat, persatuan dan kesatuan yang ditanamankan oleh pendiri bangsa dalam perang kemerdekaan, tersobek-sobek oleh kepentingan politik praktis. Sekarang, kembali kita merasakan : politik sebagai panglima. Cost-nya sangat tinggi sekali. Hanya untuk mendewakan demokrasi ala Barat. Tidak sebanding dengan hasilnya. Buktinya, nyaris 50% kepala daerah kita sudah masuk bui. Belum lagi para menteri dan anggota parlemen yang juga masuk bui. *) Penulis adalah Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar, dan Ketua umum DHD-45 Prov. Bali.