Hidup Prihatin, Solidaritas dan Tindakan Darurat dalam PPKM Darurat

Wayan Windia

Oleh : Wayan Windia *)

Menko Marinves, Luhut B. Pandjaitan minta maaf kepada masyarakat Indonesia. Karena ia merasa, bahwa dalam proses penanganan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, belum terlaksana optimal. Kemudian disusul dengan permintaan maaf yang sama oleh Menteri  BUMN, Erick Tohir. Kedua tokoh ini tampaknya merasa, bahwa diperlukan langkah yang lebih tegas dalam penanganan PPKM Darurat. Faktanya,  PPKM Darurat 3-20 Juli 2021 ternyata belum berhasil secara signifikan menekan jumlah penularan korona.

Sementara itu, penerapan PPKM Darurat telah melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat. Kelompok masyarakat yang paling merasakan dampaknya adalah kalangan menengah kebawah seperti pedagang kali lima, pemilik warung-warung kecil, ojek online, buruh harian, pekerja minimarket, buruh pabrik dan sejenisnya. Rakyat benar-benar menjerit oleh penerapan PPKM Darurat. Dengan berbagai pertimbangan itulah, Presiden Joko Widodo Selasa, 20 Juli 2021 malam mengumumkan relaksasi PPKM Darurat sampai dengan 25 Juli 2021 sekaligus mengumumkan per 26 Juli 2021 kegiatan masyarakat akan dilonggarkan dengan beberapa ketentuan.

Di lain pihak, petugas lapangan yang mengawasi PPKM Darurat berada dalam situasi dilematis. Maju kena, mundur kena. Kalau mereka tegas, bisa saja disalahkan. Kalau mereka tidak tegas, masyarakat bisa ngeyel. Kalau masyarakat ngeyel, bisa saja para petugas emosional. Petugas juga manusia biasa. Bisa saja mereka sedang haus dan lapar. Bahkan ada petugas yang harus dicopot. Kasihan juga.

Di saat-saat seperti ini, apa pun tindakan yang dikerjakan oleh petugas pemerintah, selalu mengandung dilema. Oleh karenanya, agar petugas tidak sampai kebablasan emosional, maka masyarakat yang diatur, harus juga tahu diri. Harus bisa bekerjasama. Harus bisa toleran untuk mengikuti anjuran pemerintah. Jangan sok demokratis, dan jangan sok berlindung di balik Hak Azasi Manusia (HAM).

Serangan korona, mirip dengan serangan korupsi, terorisme dan narkotika. Di mana fenomena-fenomena itu dianggap sebagai kasus krimimal luar biasa. Oleh karenanya, fenomena korupsi diantisipasi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian fenomena narkotika diantisipasi dengan dibentuknya Badan Nasional Narkotika (BNN). Bahkan untuk menangani fenomena terorisme dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Oleh karenanya, fenomena serangan korona harus juga diantisipasi dengan tindakan tegas oleh semua aparat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) perlu dibantu dengan diberikan gigi yang lebih tajam. Selanjutnya elemen masyarakat harus juga tahu diri dan berpartisipasi agar disiplin menerapkan protokol kesehatan. Kalau tidak, maka kasus korona akan tetap datang secara bergelombang.Beberapa waktu lalu, Sebelum libur idul fitri, para ahli penyakit menular sudah meramalkan akan terjadi ledakan serangan kedua virus korona. Karena masih banyak sekali masyarakat yang tidak hirau dengan anjuran pemerintah, agar tidak mudik. Tapi mereka tetap saja mudik.

Ternyata apa yang diramalkan oleh para ahli, betul adanya. Aparat pemerintah rasanya sudah capek memberikan pengertian. Tetapi tetap saja masyarakat ngeyel (Bahasa Bali : Bengkung). Bahkan ada beberapa kasus, di mana masyarakat melakukan perlawanan terhadap petugas di jalanan. Untunglah petugas itu bisa menahan diri dan bersabar. Kalau tidak, kasus kekerasan mungkin saja bisa terjadi. Resikonya, kita lihat saat ini. Pemerintah tampak sangat kelabakan menangani serangan korona varian Delta yang memakan ribuan korban.

Seperti namanya, PPKM Darurat adalah tindakan darurat oleh pemerintah untuk mengatasi serangan korona. Karena sifatnya darurat, pemerintah seyogyanya memiliki ruang untuk bertindak tegas dan keras. Pernah tersiar kabar bahwa di Malaysia, masyarakatnya bisa dihukum bila melanggar aturan pemerintah, terkait serangan korona. Maka dalam kasus pelaksanaan PPKM Darurat di Indonesia, mungkin perlu diberikan ruang, agar pemerintah bisa menghukum masyarakat yang melanggar aturan. Jangan hanya petugas saja yang terkena sanksi, bila mereka agak keras.

Di lain pihak, kita juga merasa terharu dengan adanya berbagai elemen masyarakat, yang terjun langsung membantu rakyat yang terdampak korona. Ada masyarakat yang membeli/memborong barang dagangan masyarakat di jalanan, agar para pedagang bisa segera pulang. Di Bali, beberapa kalangan membagikan beras kepada masyarakat yang terdampak. Salah satu contoh Gerakan Soliaritas Bali yang digagas oleh para aktivis Komunitas Gema Perdamaian – komunitas yang secara rutin menggelar acara Gema Perdamaian (GP) setiap Bulan Oktober. Komunitas GP ini menghimpun donasi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada warga yang sangat membutuhkan bantuan sembako melalui aplikasi digital. Lumayan juga donasi yang terkumpul hingga lebih dari 50 jutaan rupiah. Ini adalah wujud keprihatinan dan kepedulian masyarakat kepada warga yang tak berpenghasilan sehingga tidak mampu membeli kebutuhan pokok.

Ini semua adalah akibat berita pers yang membahana. Berita pers, memang bisa berdampak seperti koin. Pers bisa membuat masyarakat menjadi beringas, seperti halnya yang terjadi pada awal reformasi. Pers juga bisa membuat masyarakat menjadi terharu. Kemudian siap memberi sedekah kepada masyarakat lainnya, yang sedang terkena musibah.

Di sinilah pentingnya makna kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Bila masyarakat terbangun kepercayaannya dan modal sosialnya bisa dibangkitkan,  masyarakat akan berpartisipasi. Fenomena yang sebaliknya bisa saja terjadi. Oleh karenanya, diperlukan pimpinan yang bisa diteladani oleh masyarakat. Bukan sekadar pejabat yang mendewakan tahta, harta, dan lain-lain.

Di tengah-tengah kaum elite yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, masyarakat perlu segera dididik agar membiasakan diri hidup prihatin. Konsep ukuran keberhasilan pembangunan, perlu ditambahkan dengan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK). Tak hanya sekadar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya mengidolakan pendapatan masyarakat, di samping pendidikan dan kesehatan. Kenapa Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) itu perlu, agar masyarakat menjadi eling kepada masa lalu bangsanya. Hanya dengan menghayati masa lalu, maka mereka bisa mebentuk masa depannya yang ideal, sesuai perjalanan masa lalunya. Itulah sebabnya UNESCO membentuk konsep warisan budaya dunia.

Saat ini, masyarakat sudah terjebak pada gelombang tsunami globalisasi, yang berdampak melahirkan hedonisme, konsumerisme, materialisme, dll. Terjebak dalam hidup nyaman, mewah, bebas, dan berlindung di balik HAM. Lalu tidak siap hidup prihatin. Tampaknya generasi ini, perlu diberikan pelajaran agar tahu, apa dan bagaimana hidup prihatin. Generasi saya, sudah pernah mengalami masa hidup prihatin di sekitar hari-hari pembrontakan Gestapu-PKI. Generasi ayah saya, I Made Sanggra, sudah pernah mengalami hidup prihatin pada saat perang kemerdekaan. Generasi-generasi sebelumnya pasti juga sudah pernah mengalami hidup prihatin. Khususnya pada saat-saat masih terjadi perang antar kerajaan-kerajaan kecil di Bali. Generasi sekarang, memang perlu diberikan pelajaran hidup. Agar tidak terus ingin berselera, selalu ingin menikmati ke-duniawi-an. Saat ini adalah momentum tepat bagi generasi milenial belajar hidup prihatin agar tahu dan merasakan bagaimana hidup sederhana dan bersahaja, tidak sebaliknya hanya bermalas-malasan tapi maunya hidup mewah. *) Penulis, Guru Besar Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email