Keuniversalan Sanatana Hindu Dharma dalam Pustaka ”Bhagavad Gita”

Anand Krishna

Anand Krishna*

“Bhagavad Gīta adalah dalam bahasa asing
‘Evangelie van De Daad’ (Kitab yang dijabarkan
dalam kegiatan sehari-hari) –
Gita adalah nyanyian perbuatan,
nyanyian amal, nyanyian fi’il.”

Ir. Soekarno
Bapak Bangsa Indonesia
& Presiden RI Pertama

“Kitab Bhagavad Gita ini boleh dipandang sebagai riwayat kehidupan Korawa dan Pandawa, atau perjalanan manusia menuju ke arah Sampurna.
Sebagai ilmu, kitab Bhagavad-Gita menguraikan perjalanan kalbu manusia menuju ke arah Kesampurnaan.
Di situlah terjadi pertempuran antara Jiwa dengan Keangkaramurkaannya.”
dr. Radjiman Wedyoningrat
Salah Satu Pendiri Boedi Oetomo & Founding Fathers Republik Indonesia

Kiranya Sang Bapak Bangsa dan para founding fathers, Republik Indonesia’, memahami betul ihwal keuniversalan Bhagavad Gita.
Tentunya mereka tidak mengenal Bhagavad Gita lewat terjemahan pertama dalam bahasa Indonesia oleh Pujangga Baru Amir Hamzah sekitar tahun 1930an; oleh seorang Romo di Jawa Tengah sekitar 1950an, atau oleh seorang putra Bali, Nyoman S. Pendit, yang baru terbit sekitar tahun 1960an.
Saya perkirakan mereka mengenal Gita lewat terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris, atau, bahkan dalam bahasa Belanda. Dan, ini penting, para penerjemahnya pun bukanlah orang Indonesia atau India, tetapi para pujangga dari belahan Barat.

Ada Apa dengan Bhagavad Gita? Apa yang membuat mereka tertarik dengan kitab yang relatif kecil, pendek, dan terdiri atas 700 shloka atau bait saja?
Adalah keuniversalan ajaran Bhagavad Gita yang membuat mereka tertarik… keuniversalan yang merangkul bukan saja seluruh umat manusia dengan keyakinan mereka yang beragam, tetapi semua makhluk hidup dan seantero alam.
Rasanya saya tidak perlu mengutip Bapak Psikologi Carl Jung, Fisikawan Albert Einstein dan ratusan orang-orang besar lainnya yang mengagumi keuniversalan Gita.
Sebagai orang Indonesia, dan khususnya sebagai warga Bali, kita juga mesti bangga dengan orang-orang besar kita sendiri seperti Ida Bagus Mantra, Gede Pudja dan lainnya yang telah memperkaya wawasan kita dengan terjemahan serta tafsir mereka atas Bhagavad Gita.

Pada Suatu Ketika, saya dan Anda, kita akan terlupakan oleh sejarah. Barangkali cicit kita pun tidak akan mengenang dan mengingat nama kita… namun, orang-orang besar di atas akan dikenang namanya sepanjang masa. Buah karya mereka telah menjadi warisan bangsa dan dunia. Pemikiran-pemikiran mereka akan selalu diingat.
Sedemikian luasnya Bhagavad Gita, sehingga setiap di antara para penafsir yang saya sebut di atas – yang hanyalah merupakan sebagian kecil dari para penerjemah dan penafsir di seluruh dunia – merasa perlu menambah wawasan kita sebagai penerus mereka.
Semoga kita bisa menghormati warisan adiluhung itu lewat Pitru-Yajna, dengan mewujudkan harapan mereka pada kita… dengan menumbuhkembangkan kemanusiaan di dalam diri kita masing-masing, dengan memelihara persatuan di atas landasan kebhinekaan yang merupakan semboyan bangsa kita, bukan di atas keseragaman yang dipaksakan.

Semboyan Kita “Bhinneka Tunggal Ika” bukanlah sekadar wacana atau utopia, sebuah impian yang belum tentu menjadi realita.
Bagi kita, bangsa ini, Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah keniscayaan yang dapat kita lihat secara kasat mata lewat sekian banyak suku budaya, bahasa, dan hasil dari interaksi dengan bangsa-bangsa lain yang telah memperkaya budaya serta peradaban kita.
Bagi kita, Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah ikrar, janji yang telah kita buat dengan diri-sendiri dan dengan sesama anak bangsa. Pun bukan sekadar menerima unity in diversity atau “kesatuan dalam keberagaman”, tetapi menghayati betul hingga ke sumsum kita bahwa walau tampaknya berbeda-beda, kita semua satu adanya.

Lewat Percakapan Kedelapanbelas Shloka 20, Begawan Abiyasa atau Vyasa yang juga dikenal sebagai pengumpul Veda dan menulis teks-teks itihasa atau sejarah seperti Ramayana dan Mahabharata mengutip Krishna yang sedang berdialog dengan sepupunya, Arjuna, seorang satria yang sedang kebingungan tentang apa yang mesti dilakukannya menghadapi perang di depan mata:

“Pengetahuan yang membuat seseorang melihat
Sang Jiwa Agung yang Tak Termusnahkan
dan Tak Terbagi dalam diri setiap makhluk
tanpa kecuali – adalah Pengetahuan Sattvika.”

Demikianlah Pengetahuan Sejati, yang memberi kita kemampuan untuk mengapresiasi susu sapi dengan kandungan nutrisinya yang lengkap. Pengetahuan yang menciptakan keharmonisan dan tidak mempersoalkan warna kulit sapi.
Inilah sebab para pemikir dari setiap belahan dunia mengapresiasi kandungan Gita, Mereka tidak meninggalkan kepercayaan mereka atau pun cara mereka beribadah untuk mengapresiasi kandungan yang universal itu. Sebab mereka memahami bahwa sabda Krishna dalam Gita bukanlah terucap oleh sosok sebagaimana kita menggambarkannya.
Di medan perang Kurukshetra 5000 an tahun yang lalu, apa yang terucap oleh Krishna datang dari Kesadaran Tertinggi yang merupakan tujuan setiap insan yang meyakininya – setidaknya demikian dari sudut pandang Sanatana Hindu Dharma.

Dalam Wilayah Peradaban kita yang sekarang disebut Indus atau Sindhu Saraswati Civilization dan terbentang dari Persia Kuno hingga perbatasan Australia – kita mengenal 4 Mahavakya atau Kalimat Utama sebagai berikut:
Prajnanam Brahma:
Prajnana atau Inti, Akhir dari Pengetahuan Tertinggi, Pengetahuan Sejati tentang Atma, Diri Sejati (True Self) dan hubungannya dengan Paramatma, Sang Aku Agung (Supreme Self) atau Kesadaran Murni adalah Brahman, Paramatma, Gusti, atau apa pun sebutan kita bagi-Nya. (Sumber: Aitareya Upanishad dari Rig Veda)

2. Aham Brahma Asmi:
Aku adalah Brahman – lagi-lagi Paramatma, Gusti, atau apa pun sebutan kita bagi-Nya. (Sumber: Brihadaranyaka Upanishad dari Yajur Veda)

3. Tat Tvam Asi:
Itulah Engkau (Chandogya Upanishad dari Sama Veda)

4. Ayam Atma Brahma:
Atma, Sang Aku Sejati (yang melampaui raga, gugusan pikiran serta perasaan dan sebagainya) adalah Brahman. (Mandukya Upanishad dari Atharva Veda)

Resonansi dari Kalimat-Kalimat ini, hingga kini pun masih dapat terdengar dari semboyan dalam kearifan Nusantara Kejawen: Manunggaling Kawulo Gusti.
Tentu lain sapi, lain pun warna kulitnya. Jika kita mempersoalkan kulit dan mau membanding-bandingkannya dengan kepercayaan lain, maka itu adalah kesalahan kita. Demikian pula, mereka yang berkepercayaan beda tidak akan dapat memahami apa yang ada, tatva atau esensi apa yang ada di balik kalimat-kalimat suci di atas.
Banyak para suci, para avatara, yang berbicara dari tingkat kesadaran tersebut, Kesadaran Murni, di mana ego individualitas yang menciptakan divisi telah lebur, hanyut dalam lautan kesadaran yang mempersatukan, yang satu adanya.

Sanatana Dharma, yang sebelumnya di masa Veda disebut Rtam, dan sekarang lebih populer dengan julukan Hindu Dharma memang memiliki berbagai ciri yang unik. Salah satu di antaranya, kebhinekaan, adalah semacam embedded program bagi kita. Dari sononya sudah demikian.
Sehingga, mudah sekali bagi kita untuk menerima berbagai perbedaan yang tampak. Kita tidak perlu mengupayakannya secara khusus
Kita senantiasa berfokus pada esensi, pada tattva, pada apa yang ada dibalik perbedaan, yaitu Hyang Tunggal: Ekam Sat Vipra Bahudha Vadanti (Rig Veda)… Kebenaran Tunggal, Satu Adanya – para bijak, mereka yang mengetahui, menyebut-Nya dengan berbagai sebutan, berbagai julukan.
Sanatana Dharma menerima perbedaan berdasarkan desha, tempat; kala, waktu; dan patra, peran kita sebagai individu – sebagai keniscayaan. Dan, hal ini merupakan sesuatu yang unik sekali, yang telah membuat kita progressive, tidak berjalan, apalagi berhenti di tempat. Kita dapat menyesuaikan diri dengan tempat, waktu dan menyesuaikan diri dengan tuntutan peran kita.

Maka, Sanatana Hindu Dharma disebut demikian, yang berarti Dharma yang Abadi – karena tidak hanya bersifat Puratana, atau ada sejak jaman dahulu kala; tetapi juga Nita-Nutana, selalu baru, fresh, segar. Kita tidak takut dengan perubahan dan penyesuaian, dengan dinamika kehidupan.
Referensi kita segudang, pengalaman kita sungguh sangat berharga, dimana peradaban-peradaban kuno seperti Mesir, Romawi dan Yunani telah menjadi bagian dari museum dan sejarah masa lalu – peradaban kita masih hidup hingga kini…
Kita yakin, kita percaya diri bila kita tidak perlu membela Dharma. Justru Dharma-lah yang akan melindungi kita jika kita melakoninya, saya ulangi, jika kita melakoninya. Jika tidak, maka kekuatan Dharma yang dahsyat itu pula yang akan mendaur ulang kita:

“Dharma eva hato hanti, Dharmo rakshati rakshitah”

Barangsiapa Melakoni Dharma akan dilindungi oleh Dharma; barangsiapa melawan Dharma akan dihancurkan oleh kekuatan dahsyat Dharma pula – demikian kiranya terjemahan bebas ungkapan populer dari Manusmriti (8:15) tersebut.
Kembali pada Bhagavad Gita…
Lewat percakapan historis antara Krishna dan Arjuna, Begawan Abiyasa sedang menunjukkan jalan Dharma kepada kita, kepada setiap di antara kita, sejak ditulisnya percakapan tersebut dalam epos besar Mahabharata hingga hari ini.
Demikian relevannya teks tersebut hingga hari ini, sehingga Swami Vivekananda, Sang Pembaharu, mengatakan: “Than the Gita no better commentary on the Vedas has been written or can be written” – Selain Gita, tidak ada komentar yang lebih baik tentang Veda yang telah ditulis atau dapat ditulis.
Beliau menganggapnya sebagai komentar atas Veda, dan, tentunya yang dimaksud adalah Chatur Veda, Empat Pustaka Suci: Rig Veda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda.

Sungguh Tak Terbayangkan hebatnya penglihatan dan daya pikir seorang Begawan Abiyasa yang dapat menyimpulkan seluruh ajaran Veda yang terdiri dari belasan ribu mantra dalam 700 shloka Gita.
Bagaimana beliau melakukannya, kenapa beliau melakukannya, urusannya apa – kiranya kita bisa mendapatkan bayangan sekilas dari dialog menarik di bawah, yang dikaitkan dengan Swami Chinmayananda. Saya sendiri belum menemukan sumber aslinya, Namun, bagaimana pun juga dialog ini sangat menarik dan, menurut saya, menjelaskan Hindu Dharma secara apik. Bersama dialog ini pula saya mengakhiri tulisan ini…
Terpaksa, saya mesti memberikan terjemahan bebas dan tidak menyebut kata-kata yang bisa dianggap sensitif:

“Jika Kau Bertanya pada seorang penganut kepercayaan A tentang kitab sucinya, maka Ia akan menunjukkan kitabnya. Demikian pula dengan penganut kepercayaan B.
“Namun, jika kau bertanya padaku tentang kitab suciku, maka aku akan menjawab: ‘Selamat datang di perpustakaanku.’”
Demikian banyaknya teks-teks, kitab-kitab, pustaka-pustaka yang disucikan dalam Sanatana Hindu Dharma. Selajutnya:
“Tiada sosok seseorang yang dapat disebut sebagai pendiri Hindu Dharma. Hindu Dharma bukanlah hasil dari pengetahuan seseorang. Dapatkah kau menjawab pertanyaanku, siapa yang mendirikan Ilmu Kimia atau Fisika? Tidak, karena setiap ilmu di antaranya merupakan hasil dari penelitian sekian banyak ilmuwan, Mereka semua berkontribusi.
“Demikian pula dengan Hindu Dharma, para Resi adalah Saintis Jiwa, dan setiap di antaranya telah berkontribusi.”

Dalam Pidato Perdananya sebagai Ketua DPR, Puan Maharani, yang juga adalah cucu
Bapak Bangsa serta Presiden Pertama RI, Ir. Sukarno,
Beliau mengutip salah satu shloka dari Bhagavad Gita:
”Akhirnya, kami ucapkan selamat bekerja untuk kita semua, karmanyevadhikaraste ma phaleshu kadachana… Lakukan kewajiban kita tanpa memikirkan untung ruginya.
Kalau bukan kita yang mendapatkan manfaatnya, maka anak-anak kita yang akan menerimanya.
Kalau bukan anak-anak kita, maka cucu kita yang akan mendapatkan manfaatnya.
Sejarah sedang memberikan kesempatan bagi kita, apakah kita akan mundur, mandeg, atau maju?”
(Sumber: https://www.jpnn.com/news/pesan-kresna-di-pidato-perdana- puan-maharani-sebagai-ketua-dpr)
Semoga, kita dapat melestarikan, menjaga dan mempertahankan keuniversalan Bhagavad Gita… jangan sampai teks yang bersifat demikian dipersempit maknanya sehingga esensi atau tattva-nya hilang.
Semoga kita dapat meapresiasi warisan kuno yang sangat berharga ini, menyelaminya dan meraih mutiara-mutiara kebijakan, permata-permata Dharma darinya… demikian doa saya, harapan saya.
Jayalah Sanatana Hindu Dharma yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan, mengapresiasi kebhinekaan dan tetap berfokus para Hyang Tunggal adanya!

*Penulis lebih dari 180 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org), YouTube Channel AnandAshramIndonesia dan AnandKrishnaIndo)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email