Ketua Forum Penyadaran Dharma, Dr. I Gde Sudibya
MDA Tidak Perlu Melakukan Pemihakan Terhadap Pro-Kontra Ajaran HK

Dr. I Gde Sudibya

Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali semestinya tidak perlu melakukan pemihakan terhadap pro-kontra soal ajaran Hare Krisna (HK) yang viral di medsos dan direspon demo damai masyarakat Hindu Bali.

Menurutnya, kalau pun MDA menilai ada keresahan dari sebagian krama Bali terhadap aktivitas HK, ini bisa dijadikan bahan masukan oleh MDA dalam dialog dengan PHDI Pusat. Di sisi lain, kasus ini bisa dijadikan masukan bagi MDA dan juga pengurus Desa Adat di setiap desa, dalam penyusunan program pendidikan dan pembinaan umat seperti pasramam kilat dan sejenisnya, lebih berfokus ke penguatan craddha (keyakinan) krama di samping aktivitas pembinaan lainnya. Demikian pernyataan Dr. I Gde Sudibya yang juga ekonom, pengamat ekonomi politik tinggal di Tajun, Buleleng.
Menurut Sudibya, semestinya semua pihak mentaati keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat sebagai Majelis Tertinggi Umat Hindu. Karena masalah keyakinan ini merupakan kewenangan PHDI Pusat (bukan di tangan PHDI Bali). Kalau ada perbedaan pendapat dan ketidakpuasan, didialogkan melalui forum PHDI Pusat termasuk hal-hal yang berhubungan dengan teologi. Semestinya MDA, jika memandang perlu, ikut aktif dalam dialog ini.
“Mari kita membangun dialog berbagi kebenaran dengan penuh ketulusan untuk kepentingan kita bersama dan masa depan kita bersama. Wujudkan vairagya ( ketidakterikatan kehidupan ) dalam realitas, tidak semata-mata glossory, keindahan kata-kata dalam kamus yang jauh tinggi mengawang- awang”, ajaknya dengan penuh damai.
Dengan terbitnya Keputusan Bersama PHDI Bali dan MDA tentang pelarangan kegiatan sampradaya non-dresta Bali, saya dapat disampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Kebebasan beragama warga negara dijamin konstitusi, sehingga pembatasan ini bisa ditafsirkan bertentangan dengan konstitusi, sehingga bisa ditafsirkan batal demi hukum.
2. Ketentuan dalam UU Otonomi Daerah ( pasca reformasi ), agama adalah bidang yang tidak didesentralisasikan, tetap merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, sehingga permasalahan ini semestinya ditangani oleh Kementrian Agama cq. Dirjen Bimas Hindu, melalui konsultasi PHDI Pusat, dengan catatan tidak keluar dari koridor kebebasan beragama yang diatur dalam konstitusi.
3. Keputusan Bersama ini sudah memasuki ranah teologi, sampradaya Non Dresta Bali, dan juga Dresta Bali, sudah semestinya PHDI Pusat dalam Pesamuan Agungnya dan atau Mahasabha, melakukan pembahasan dan kemudian memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan teologi Hindu dengan melibatkan para teolog Hindu dari semua perguruan tinggi Hindu di Indonesia.
4. Marilah kita bersama membangun dialog, berbagi kebenaran ( meparo dharma ), berbagi pengetahuan yang sangat mulia ( ananta dana ), karena dalam perjalanan sejarah manusia, keterbukaan berkelanjutan termasuk melalui dialog konstruktif, akan dapat menghindarkan kita dari risiko keterpurukan peradaban akibat dari ketertutupan diri dan kenyamanan tradisi ( yang untuk sebagian seharusnya sudah mesti kita tinggalkan ).
5. Musuh bersama kita sekarang adalah pandemi Covid-19 dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi. Sudah semestinya kita bersama bersikap jengah, bekerjasama yang lebih me-taksu untuk melawan musuh bersama yakni Covid-19. Kearifan mengajarkan kita : “Pakibeh meraga guru “ yang artinya krisis akibat pandemi adalah guru kehidupan, mari kita bersatu dan bangkit bersama melawan kekuatan virus. Semoga pikiran-pikiran positif datang dari segala arah. (*)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email