Oleh : Dr. I Wayan Suja, M.Si, Singaraja
Sebelum keluarnya peraturan, apalagi dalam bentuk keputusan bersama dua organisasi besar semacam PHDI dan MDA, seharusnya ada Naskah Akademik yang dijadikan dasar keluarnya Keputusan Bersama tersebut.
Karena tidak ada naskah akademik yang bisa kita kaji secara ilmiah, maka kita tidak tahu apakah SKB tersebut berdasarkan bukti empiris di lapangan dan ada kajian sastranya, atau hanya opini, model perdebatan di medsos. Yang menarik, saya memikirkan isi Keputusan Bersama tersebut sangat berseberangan antara menimbang dan memutuskan. Menimbangnya, mengakui hak beragama dan memeluk keyakinan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tetapi dalam memutuskannya justru melarang sampradaya non-dresta Bali untuk melakukan kegiatan di tempat-tempat umum dan di wewidangan desa adat. Selain itu, kegiatan sampradaya non-dresta Bali harus diawasi, dipantau, dan dievaluasi karena tidak sejalan dengan ajaran Hindu Bali. Yang lebih menarik Keputusan Bersama itu dilengkapi dengan ancaman sanksi bagi penganut, pengurus dan simpatisan sampradaya non-dresta Bali yang tidak mentaati Keputusan Bersama tersebut. Mereka diancam dengan sanksi hukum positif dan/atau Hukum Adat di masing-masing Desa Adat.
Dalam Keputusan Bersama itu hanya Hare Krishna saja yang disebutkan secara eksplisit, sedangkan yang lain disebut sampradaya non-dresta Bali. Istilah sampradaya non-Dresta Bali cakupannya apa saja? Ida Pengelingsir Agung memberikan penjelasan di medsos berkaitan dengan Keputusan Bersama PHDI dan MDA. Walaupun belum jelas, apakah itu pendapat pribadi atau pendapat dua organisasi besar yang sama-sama kita hormati. Beliau menyatakan bahwa kesalahan sampradaya-sampradaya asing tersebut adalah telah menyebarkan tatanan keagamaan yang sangat berbeda dengan dresta Bali karena didasari oleh teologi yang sangat berbeda. Menurutnya, mereka tidak menyembah kawitan, yang berarti juga tidak ada upacara Pitra Yadnya. Beliau juga menyatakan bahwa sampradaya-sampradaya non-dresta Bali itu tidak percaya Sang Panca Maha Bhuta sehingga tidak ada Upacara Bhuta Yadnya (Caru). Pernyataan beliau tersebut memunculkan pertanyaan.
Pertama, teologi yang mendasari dresta Bali itu apa? Brahmavidya dalam ajaran Hindu berawal dari ungkapan Rgveda I.1964.46, “Ekam sad vipra bahudha vadanti.” Tuhan itu satu, hanya orang-orang bijaksana menyebut dengan banyak nama. Artinya, Tuhan itu tetap satu, walaupun diberi nama-nama berbeda oleh penyembah-Nya. Sayangnya, orang-orang yang belum bijaksana suka mempertentangkan nama-nama suci Tuhan Yang Maha Tunggal itu. Dalam Vedanta, ajaran Brahmavidya digolongkan menjadi dvaita, visista-dvaita, dan advaita. Teologi mana yang beliau maksudkan dianut oleh Hindu Dresta Bali dan yang mana oleh Sampradaya Non-Dresta Bali? Seharusnya, ketiga pandangan tersebut jangan sampai dipertentangkan karena hal itu sangat tergantung pada kedewasaan kita dalam ber-Tuhan. Masyarakat awam memandang Tuhan dan makhluk terpisah, dvaita. Untuk mewujudkan baktinya, Tuhan dibuat lambang mulai dari patung, pretima, banten, dan berbagai simbol lainnya. Sejalan dengan pencarian spiritualnya, penyembah akan menyadari bahwa Tuhan tidak hanya ada di sana, di langit, tetapi juga ada di sini, di dalam hatinya. Apakah proses pencarian dan penghayatan umat mesti dinilai benar dan salah? Saya pikir, tidak benar jika kita memandang teologi Hindu tunggal, sebagaimana dianut oleh umat agama lain.
Kedua, sampradaya mana yang beliau maksudkan tidak memuja leluhur (tidak ada Pitra Yajna) dan juga tidak melakukan Bhuta Yajna? Pernyataan beliau ini terlalu general, sampradaya non-dresta Bali mana yang beliau maksudkan? Mereka yang menerima otoritas Veda secara utuh, tidak mungkin akan bersikap demikian, karena kitab Smrti jelas sudah mengajarkan tentang Panca Yajna. Mereka yang belajar Veda tidak hanya akan memuja leluhur dan orang tuanya yang sudah meninggal, tetapi juga semasih hidupnya. Veda jelas menyebutkan kedua orang tua adalah perwujudan “Dewa” yang ada di rumah masing-masing. Matru deva bhava, pitru deva bhava. Demikian juga dengan Bhuta Yajna, tidak hanya dilakukan dengan ritual, tetapi diwujudkan dengan tindakan nyata, seperti memungut sampah plastik, menanam pohon, mengatasi pemanasan global dengan hidup vegetarian, termasuk juga mengatasi pencemaran dengan membuat dan menebar eco-enzyme. Dan yang terpenting adalah tidak lupa melakukan “Nyarunin Karang Awak” agar bisa mengendalikan diri dan tidak merasa paling benar.
Ketiga, beliau mempertanyakan apakah mereka mengenal atau menyembah semua Ista Dewata yang tertera dalam Weda, dan yakin bahwa Ista Dewata itu adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi? Apakah menyembah dengan Nama Tuhan yang sama dan Ista Dewata yang sama dengan Hindu Bali? Atau Hindu Dharma, atau Hindu Nusantara? Pertanyaan ini bisa disederhanakan, apakah para pengikut sampradaya non-Dresta Bali masih ingat sembahyang ke Kawitan dan juga ke kahyangan Tiga? Saya justru ingin balik bertanya, menurut hasil pengamatan beliau, siapa-siapa saja orangnya yang tidak melakukan hal itu? Kepada merekalah semestinya diambil tindakan. Jika organisasinya yang menyimpang, maka organisasi itulah yang harus dibina, bukan dibinasakan oleh PHDI (bukan oleh MDA). Sesana manut linggih, linggih manut sesana. Terus bagaimana dengan umat Hindu yang memuja Ratu Laut Selatan, atau memuja Dewi Kwan Im? Apakah itu sesuai dengan Dresta Hindu Bali? Para pengikut Veda tidak akan lupa dengan nasihat dalam Ramayana tentang sosok Prabu Dasarata, yang senantiasa mempelajari Veda dan tidak lupa melakukan Pitra Puja.
Keempat, beliau menanyakan apa saja pegangan kitab suci kelompok yang beliau label sampradaya non-dreta Bali? Apakah meyakini Catur Weda, Weda Smerti, Itihasa, Purana dan semua Pancami Weda? Ini pertanyaan yang sangat menarik dan perlu dipertanyakan balik. Apakah Hindu Dresta Bali menerima otoritas Veda secara penuh? Bagaimana kedudukan Veda dan Adat? Jika tidak menerima otoritas Veda, apakah masih layak menyebut diri Hindu? Jika menerima Veda, mestinya Vedalah dijadikan acuan. Rsi Canakya menasetkan, Sāstra-pûtam vaded-vākyam manah pûtam samācaret (CN 10.2). Artinya, sesuaikan dulu dengan sastra (Veda) barulah kemudian Anda bicara. Jangan mengambil keputusan terlebih dulu, penelitiannya nyusul. Setidaknya, jangan melakukan generalisasi dari kasus-kasus yang belum tentu representatif untuk mewakili populasi yang belum terdefinisikan. Jika Hindu Dresta Bali mengakui otoritas Veda, sesuai dengan Hukum Hindu (Manavadharmasastra, II.6), seharusnya memposisikan tradisi di bawah Sruti dan Smrti. Selain itu, jika Sarasamuscaya masih diakui di Bali sebagai tuntunan hidup, maka tugas para pemimpin Bali (Ksatria) yang beragama Hindu adalah mempelajari Veda dan mengamalkan. Sarasamuscaya 58 menyerukan kunêng ulaha sang ksatriya, umajya Sang Hyang Veda, nitya agnihotra. Selanjutnya, dalam sloka 177 disebutkan, untuk mempelajari Veda, laksanakanlah agnihotra (agnihotraphala Veda). Dua sloka dalam Sarasamuscaya tersebut jelas keterkaitan antara belajar Veda dan melaksanakan agnihotra, yang semestinya dilakukan oleh pemimpin, bukan sebaliknya melarang atau melabelnya dengan sampradaya Non-Dresta Bali. Atau ini memang ciri Kali Yuga sebagaimana disampaikan pada Parasara Dharmasastra 1.32?
Kelima, Ida Pengelingsir Agung meyakini bahwa sampradaya Non-Dresta Bali memiliki keinginan mengganti Agama Hindu Bali, Budaya Bali, melenyapkan Desa Adat dari Bumi Bali dan itu sangat berbahaya. Jika keyakinan beliau itu benar, maka saya setuju bahwa itu memang sangat-sangat berbahaya. Tetapi, apakah data yang beliau miliki untuk mengambil simpulan, sudah valid? Saya meragukan validitasnya! Jangan-jangan ini hanya stereotipe, dan pandangannya bisa menjadi fitnah! Kecintaan beliau terhadap Bali, belum tentu lebih besar dibandingkan mereka yang dilabelnya sebagai perongrong Bali. Hasil pengamatan terbatas saya dari bergaul dengan teman-teman yang mewadahi diri dalam kelompok belajar Veda, mereka adalah orang-orang yang haus akan tattwa Hindu, haus akan nilai-nilai susila Hindu, yang selama ini tidak mereka dapatkan dari PHDI atau MDA. Beruntung mereka bergabung dalam kelompok belajar Veda sehingga bisa memperkuat pemahamannya akan ajaran Hindu yang mereka warisi secara turun temurun dengan pendekatan mula keto. Sebagian di antara mereka ada juga orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri dari konversi agama lain. Dalam penghayatan saya, kelompok belajar Veda justru adalah “Ibu Asuh” bagi sebagian umat Hindu yang tidak diberikan pelajaran suci oleh “orang tuanya.”
Om Tat Sat