Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tertanggal 16 Desember 2020 tentang pembatasan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya non-dresta Bali menuai polemik di kalangan umat Hindu, baik di Bali maupun di luar Bali. Anehnya, SKB itu telah diterbitkan tanpa disertai oleh naskah/kajian akademik. Bagaimana maksud dan tujuan dikeluarkannya SKB ini dan seperti apa tanggapan para tokoh Hindu, berikut laporannya.
Bendesa Agung MDA Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet menjelaskan maksud dan tujuan SKB. Beliau mengatakan, pelarangan sampradaya non – dresta Bali bukan berarti anti sampradaya asing. Pada dasarnya aliran-aliran keagamaan yang mengandung perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar (sangat berbeda) dilarang untuk disebarkan di kalangan umat yang sudah beragama. Pembinaan Agama mesti dilakukan dari, oleh dan untuk agama dan atau kepercayaan yang sama. Kalau tatanan keagamaan sangat berbeda, maka sangat dilarang untuk disebarkan. “Kesalahan penyebaran inilah yang dilakukan oleh Sampradaya-sampradaya asing tersebut. Karena yang sangat mendasar, theologinya sangat berbeda : Tidak menyembah Kawitan berarti juga tidak ada upacara Pitra Yadnya, tidak percaya kepada Sang Panca Maha Butha, dan kekuatan Butha lainnya, sehingga tidak ada Upacara Bhuta Yadnya ( Caru)” paparnya.
Penglingsir Sukahet mengajukan beberapa pertanyaan kunci untuk menguji Sampradaya Non Dresta Bali, atau bukan Hindu Bali sebagai berikut :
1. Apakah mereka menyembah Kawitan, apakah Kawitan juga diyakini sebagai Bhatara ? Apakah mereka melaksanakan upacara Pitra Yadnya ?
2. Apakah mereka punya Merajan/ Sanggah untuk memuja Ida Bhatara Kawitan ?
3. Apakah tempat sucinya adalah Pura seperti di Bali, baik di rumahnya atau secara kolektif ?
4. Apakah mereka melaksanakan masegeh dan Mecaru yang sesungguhnya, dengan korban suci binatang yang sungguh dikorbankan/disembelih?
5. Apakah mereka mengenal atau menyembah semua Ista Dewata yang tertera dalam Weda, dan yakin bahwa Ista Dewata itu adalah manifestasi Ida Sang Hyang Widhi ? Apakah menyembah dengan nama Tuhan yang sama dan Ista Dewata yang sama dengan Hindu Bali ? Atau Hindu Dharma atau Hindu Nusantara ?
6. Apa saja pegangan kitab sucinya. Apakah meyakini Catur Weda, Weda Smerti, Itihasa, Purana dan semua Pancami Weda ?
Itulah bahan pertanyaan untuk menguji apakah sebuah aliran atau Ashram tetap menganut Hindu Bali atau Hindu Dresta Bali atau tidak. “Kalau 1 unsur saja tidak dianutnya, maka mereka bukan Hindu Bali atau bukan Hindu Dresta Bali, dan ini mesti dilarang penyebarannya di Bali” tegas Penglingsir Sukahet.
Beliau mengajak, dalam berdebat jangan bias memperdebatkan perbedaan. Karena perbedaannya sudah jelas. Perbedaan bukanlah masalah inti dari pelarangan sampradaya Non Dresta Bali. “Kita menghormati perbedaan, dan kita tidak peduli apa pun keyakinan aliran itu. Sampradaya yang semuanya dari India itu adalah sangat baik dan sangat luhur di India, namun pasti sangat tidak cocok untuk dikembangkan di Bali atau pun di Indonesia” imbuhnya.
Menurutnya, yang menjadi kesalahan mereka (para pengikut) Sampradaya Non dresta Bali kenapa mereka dilarang karena : (1). Mereka menyebarkan paham dan atau tatanan keagamaan yang sangat berbeda ditengah-tengah umat yang sudah beragama; (2). Mereka telah mendiskreditkan Agama Hindu Bali atau Dresta Bali, Adat Bali, Desa Adat di Bali dan Upacara Hindu Bali; (3). Memanipulasi buku buku agama ajaran Hindu Bali dan atau Hindu Dharma; (4). Diyakini kemudian bahwa mereka ingin mengganti Agama Hindu Bali, Budaya Bali, melenyapkan Desa Adat dari Bumi Bali. Menurut Penglingsir Sukahet, itulah yang sangat berbahaya.
Tujuan dari pelarangan aktivitas Sampradaya di Bali menurutnya adalah agar : (1). Tetap terjaganya etika antar agama dan atau antar keyakinan yang berbeda; (2). Untuk tetap terpeliharanya kerukunan, ketertiban, kedamaian dan keamanan di Bali; (3). Sebisa bisanya menyadarkan Krama Hindu Bali yang terpapar oleh Sampradaya Asing, untuk sadar dan kembali kepada Agama Leluhur yang adiluhur yaitu Agama Hindu Bali yang merupakan bagian dari Hindu Dharma. Kembali kepada Agama jatidiri Krama Umat Hindu Bali; (4). Yang sangat penting juga adalah untuk melestarikan Agama Hindu Bali untuk tetap ajeg dan dominan di Bali, karena Agama Hindu Bali adalah Jiwa Pramananya Adat, Budaya dan Lingkungan alam Bali
Dengan demikian, kata Penglingsir Sukahet, kita di Bali menolak dikembangkannya sampradaya asing yang pasti berimplikasi kepada kelestarian Adat dan Budaya Bali yang adiluhur dan adiluhung. “Pelarangan ini jangan pernah diartikan sebagai anti budaya asing, apakah itu budaya India, China atau pun Arab dan lainnya. Adat dan Budaya Bali yang adiluhung di Bali, Adat dan budaya Papua adiluhung di Papua, adat dan budaya Aceh adiluhung di Aceh. Tetapi akan menjadi tidak baik bila dipaksakan untuk dikembangkan di daerah-daerah lain yang sudah mempunyai adat dan budaya yang adiluhung juga. Masyarakat dan Krama Bali sangat menghormati dan memuliakan semua agama dan keyakinan yang ada, sekali pun itu sangat berbeda. Juga sangat menghormati bahkan juga kagum dengan budaya-budaya asing. Tetapi tetap tidak mengijinkan kalau budaya-budaya asing itu sengaja disebarkan dan dikembangkan di Bali yang tujuannya untuk menggeser atau bahkan menggantikan budaya dan adat Bali yang sudah ajeg di Bali, bahkan menjadi kekaguman dunia. Jadi, pelarangan Sampradaya Asing jangan pernah diplesetkan sebagai anti budaya asing mana pun. Menurutnya, perbedaan itu indah dan adalah keniscayaan, namun tidak boleh ingin menjajah dan atau menggantikan yang satu terhadap yang lain.
Munculnya SKB yang ditandatangani Ketua PHDI, Prof. Dr. Drs. IGN Sudiana, M.Si dan Bendesa Agung MDA Provinsi Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet itu selain tanpa disertai naskah akademik, juga telah menuai pro-kontra di kalangan tokoh Hindu baik di Bali maupun luar Bali. Bagaimana reaksi para tokoh Hindu.
Salah satu tokoh Hindu, I Made Astana menyayangkan keluarnya SKB tersebut. Ia menilai, antara Parisada dan MDA jelas kaplingnya berbeda. “Yang satu urusan agama, yang satu urusan adat Bali, kok Bendesa Agung MDA ngurus masalah Agama Hindu?” demikian ia mempertanyakan. Ia pun mempertanyakan, apakah pendapat/pandangan Bendesa Agung ini pendapat pribadi atau keputusan MDA ? Apakah keputusan itu sudah diambil melalui suatu rapat atau paruman agung MDA?
Tokoh lain, Dr. I Made Pria Dharsana, A.H, M.Hum, seorang notaris di Kuta Badung, Bali menilai aneh jika SKB itu bermaksud memurnikan adat Bali dalam pelaksanaan upacara Agama Hindu di Bali padahal Hindu punya Catur Marga yakni empat jalan melaksanakan Dharma. Menurut Pria Dharsana, salah satu dari Catur Marga bisa dijalankan. “Bagi saya, SKB itu hanya permakluman saja apabila tidak dibarengi oleh sikap resmi pemerintah” ujarnya.
Turunnya SKB yang melibatkan PHDI Bali, menurut dosen STAH Dharma Sentana Palu, Sulawesi Tengah, I Ketut Suparta, disebabkan oleh beberapa hal : (1). Ada kegagalan majelis tertinggi umat Hindu (PHDI) dalam hal mensosialisasikan visi misi organisasi. Artinya PHDI belum mampu mempertemukan pemahaman yang benar tentang Agama Hindu, sehingga masih ada sudut pandang yang ambigu dari MDA Provinsi Bali tentang Agama Hindu; (2) Adat dan agama dalam lingkup formal hukum di Indonesia memiliki kedudukan yang berbeda. Ketika hukum adat mendominasi agama, maka akan ada konflik/kasus. Kata dia, mengapa di Jawa tidak terlalu diributkan tentang Sampradaya, karena mungkin Sampradaya di Jawa dianggap memperkuat agama. (memang ini butuh penelitian). Untuk itu, menurut Supartha, perlu diambil langkah-langkah nyata untuk mensosialisasikan visi misi PHDI di seluruh Indonesia dan mempertemukannya dengan visi misi Majelis Dsa Adat di Bali agar sejalan.
Suparta kemudian menugurai visi PHDI yakni terwujudnya masyarakat Hindu Dharma Indonesia yang sejahtera dan bahagia (Jagadhita dan Mokhsa) bersumber dari pustaka suci Veda. Sedangkan misi PHDI adalah : (a). Meningkatkan perilaku dalam pelaksanaan keyakinan dan filsafat (tattva), etika (susila), dan ritual (acara) Hindu dalam kehidupan beragama yang modern; (b). Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membangun sumberdaya manusia yang maju, unggul, mandiri, berbudaya berdasarkan Dharma; (c). Menumbuhkembangkan wawasan, solidaritas, dan keharmonisan internal dan eksternal; (d). Pelestarian nilai-nilai budaya Hindu berdasarkan Veda; (e). Pelaksanaan upacara dan upakara yang disesuaikan dengan kemampuan umat Hindu.
Sedangkan visi Majelis Desa Adat (MDA) adalah melangkah bersama mewujudkan Desa Adat yang bermartabat, mandiri, dan berkebudayaan Berlandaskan Tri Hita Karana dalam satu payung Langit Adat Bali. Visi tersebut diwujudkan melalui misi sebagai berikut : (a). Memelihara, menjaga, dan melestarikan alam, tempat suci, serta kawasan suci; (b). Menjaga ketertiban, kebersihan, kelestarian, dan kesucian alam Bali; (c). Meningkatkan dan mengembangkan sumber daya Krama Desa baik kuantitas maupun kualitas; (d). Meningkatkan dan mengembangkan perekonomian adat untuk kesejahteraan Krama Desa; (e). Meningkatkan dan menguatkan tata kelola Desa Adat; dan (f). Menggali dan mengembangkan adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal Bali.
Mencermati visi dan misi kedua lembaga, Suparta memperkirakan, sepertinya tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing lembaga belum dipahami, terlebih lagi belum dipahaminya visi misi masing-masing yang begitu agung dan indah, baik visi misi PHDI maupun Majelis Desa Adat.
Dewa Ngurah, seorang tokoh Hindu mengkritisi pernyataan “Hindu Bali Tak Kenal Sampradaya”. Dewa Ngurah curiga bahwa pernyataan ini adalah pandapat pribadi di panggung belakang. Ia mengajak kita untuk menyikapi fakta ini dengan menggunakan teori Dramaturgi dari Erving Goffman, dalam tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi, yaitu : mengerti berbagai hal karena pengalaman, karena ada pertukaran simbol-simbol kelompok sosial, struktur sosial tercipta karena interaksi. Menurut Goffman, kehidupan sosial terbagi dalam dua hal yaitu : front region/ panggung depan, merujuk pada peristiwa sosial yang menunjuk pada peran formalnya dan back region / panggung belakang merujuk pada peristiwa yang memungkinkan mempersiapkan peran formalnya. Dari teori tersebut, ia mengajak kita melakukan pendekatan secara filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis bahwa Majels Tertinggi umat Hindu (PHDI) bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Hindu dengan keyakinan, komitmen dan kesetiaan yang tinggi terhadap ajaran Agama Hindu (AD Pasal. 8 huruf. a). Secara sosiologis, PHDI berkewajiban mengayomi setiap sampradaya yang berbentuk organisasi, forum, lembaga, badan dan yayasan yang bernafaskan Hindu yang mendaftar ke Parisada Hindu Dharma Indonesia (lihat AD Pasal.41) dan secara yuridis, tata urutan peraturan PHDI adalah : Tap/Keputusan Mahasabha, Bhisama, Keputusan Pesamuhan Agung, Peraturan Organisasi, Keputusan Sabha Pandita, Keputusan Pengurus Harian PHDI Pusat dan seterusnya (lihat ART Pasal. 21).
Menanggapi pernyataan “Hindu Bali Tak Kenal Sampradaya”, maka Dewa Ngurah mengajukan pertanyaan, apakah umat Hindu di Bali tidak mengakui PHDI ? “Kalau yang dimaksud Sampradaya yang tidak bernafaskan Hindu, boleh jadi. Tetapi sebaiknya perlu lebih bijak dalam membuat pernyataan” paparnya. Dewa Ngurah mengutip wewenang Pengurus Harian PHDI Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam AD PHDI Pasal.20 ayat (2) huruf “b”, disebutkan : melaksanakan dan menindaklanjuti Ketetapan/Keputusan Mahasabha, Bhisama, Keputusan Pesamuhan Agung, Ketetapan/Keputusan Lokasabha, Keputusan Pesamuhan Madya dan Keputusan Organisasi. Pada pasal 20 huruf “h” disebutkan : mengambil keputusan yang bersifat operasional dalam melaksanakan kebijakan PHDI di daerahnya. Secara implisit, PHDI Provinsi tidak boleh mengambil keputusan yang menyimpang dari Anggaran Dasar. (*)